Kekuasaan Majapahit: Mengukir Kejayaan Nusantara Abadi
Di jantung kepulauan Nusantara, sebuah peradaban agung pernah berdiri kokoh, menancapkan pengaruhnya dari ujung barat hingga timur. Itulah Majapahit, sebuah kemaharajaan yang bukan sekadar entitas politik, melainkan juga simbol dari puncak pencapaian budaya, ekonomi, dan spiritual masyarakat di kawasan ini. Kisahnya adalah narasi tentang ambisi, kebijaksanaan, keberanian, dan pada akhirnya, pelajaran tentang siklus kekuasaan yang tak lekang oleh waktu. Keberadaannya memberikan cetak biru bagi identitas kolektif yang kini kita kenal sebagai Indonesia, sebuah warisan yang tak ternilai harganya.
Kemaharajaan ini muncul dari puing-puing konflik dan gejolak, sebuah permulaan yang penuh tantangan namun diakhiri dengan gemuruh kemenangan. Dari tanah Jawa, ia meluas, merajut berbagai suku, kepercayaan, dan tradisi menjadi satu kesatuan yang kohesif, di bawah panji-panji persatuan yang visioner. Kisah Majapahit adalah epik tentang bagaimana sebuah visi tunggal dapat mengubah lanskap geografi menjadi sebuah kemaharajaan yang diakui dan dihormati di seantero Asia Tenggara, bahkan melampauinya. Ia adalah bukti bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada kekuatan militer, tetapi juga pada kemampuan untuk mengatur, menginspirasi, dan mempertahankan tatanan sosial yang adil dan makmur.
Akar dan Pembentukan: Benih Kekuatan di Tanah Jawa
Lahirnya Majapahit tak lepas dari dinamika politik yang bergejolak di penghujung abad ketiga belas Masehi. Kerajaan Singasari, pendahulu Majapahit, tengah berada di puncak kejayaan namun dihantam oleh intrik internal yang menyebabkan keruntuhannya secara dramatis. Peristiwa tragis ini, yang dipicu oleh pemberontakan dari dalam, menciptakan kekosongan kekuasaan dan kekacauan. Di tengah kekacauan itulah, Raden Wijaya, seorang menantu raja Singasari terakhir, muncul sebagai sosok yang tak hanya mampu bertahan, melainkan juga memiliki visi untuk membangun kembali tatanan yang baru dan lebih besar.
Raden Wijaya adalah seorang strategis ulung. Ia berhasil memanfaatkan invasi armada besar dari negeri seberang yang datang untuk menuntut balas atas penghinaan yang dialami utusan mereka. Dengan kecerdasan dan kelincahan politiknya, ia berpura-pura tunduk kepada pasukan asing tersebut. Namun, setelah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya di Jawa dengan bantuan kekuatan eksternal itu, ia kemudian dengan cerdik membalikkan keadaan, menyerang pasukan asing yang sedang lengah, dan mengusir mereka dari bumi Nusantara. Peristiwa-peristiwa krusial ini menjadi titik balik, fondasi bagi berdirinya sebuah kerajaan baru yang diberi nama Majapahit, yang konon namanya diambil dari buah maja yang rasanya pahit, tumbuh di lokasi awal permukiman mereka.
Pada masa awal pembentukannya, Majapahit adalah kerajaan yang harus berjuang keras untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya. Ancaman datang dari berbagai penjuru, baik dari sisa-sisa kekuatan lama maupun dari pemberontakan-pemberontakan lokal yang menolak tunduk. Namun, dengan kepemimpinan yang kuat dan dukungan dari para pengikut setia, Raden Wijaya berhasil mengatasi semua rintangan tersebut. Ia membangun sistem administrasi awal, memperkuat pertahanan, dan menanamkan dasar-dasar hukum yang akan menjadi pondasi bagi stabilitas kerajaan di masa mendatang. Visi besarnya bukan hanya sekadar mendirikan kerajaan, melainkan menciptakan sebuah entitas yang mampu mempersatukan berbagai elemen masyarakat dan menjadi pusat peradaban di kawasan.
Strategi Konsolidasi dan Perkembangan Awal
Setelah kemaharajaan Majapahit berhasil didirikan, tantangan terbesar berikutnya adalah bagaimana menjaga stabilitas internal dan mengamankan wilayah yang baru dikuasai. Raden Wijaya menunjukkan keahliannya dalam diplomasi dan militer. Ia tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga membangun aliansi strategis melalui perkawinan politik dengan putri-putri penguasa lokal yang berpotensi menjadi ancaman. Langkah ini sangat efektif dalam mengurangi friksi dan menyatukan berbagai faksi di bawah panji Majapahit.
Pada masa awal, sistem pemerintahan perlahan mulai terbentuk. Meskipun masih sederhana, dasar-dasar administrasi yang kuat diletakkan untuk memastikan bahwa perintah raja dapat dilaksanakan di seluruh wilayah kekuasaan. Pejabat-pejabat yang cakap ditunjuk untuk mengurus berbagai sektor, mulai dari pertahanan hingga pengumpulan pajak. Kebijakan ini penting untuk menopang kerajaan yang baru lahir dan mempersiapkannya untuk ekspansi di masa depan. Pengembangan infrastruktur dasar seperti jalan dan pelabuhan juga mulai diperhatikan, meskipun dalam skala yang lebih kecil, demi kelancaran perdagangan dan pergerakan pasukan.
Pendidikan dan agama juga mendapat perhatian. Meskipun Hindu-Buddha adalah agama utama, Majapahit dikenal dengan toleransinya terhadap berbagai kepercayaan. Ini membantu menciptakan kohesi sosial di antara penduduk yang beragam. Kesenian dan sastra mulai berkembang, menjadi sarana untuk menyampaikan ajaran moral dan juga mengabadikan sejarah serta legenda yang menjadi bagian dari identitas kerajaan. Semua elemen ini berkontribusi pada penciptaan fondasi yang kokoh, yang kelak akan memungkinkan Majapahit mencapai puncak kejayaannya.
Era Kejayaan: Peluasan Kekuasaan dan Stabilitas Internal
Setelah fondasi yang kokoh diletakkan oleh para pendahulu, Majapahit memasuki babak baru yang penuh gemilang, sebuah era yang akan dikenal sebagai puncak kejayaan kemaharajaan. Periode ini ditandai oleh stabilitas politik yang luar biasa, pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan ekspansi wilayah yang ambisius, menjadikannya kekuatan dominan di seluruh Nusantara. Nama-nama besar seperti Gajah Mada dan Hayam Wuruk menjadi pilar utama yang mengukir lembaran emas sejarah Majapahit, membawa kerajaan ini ke puncak hegemoni regional.
Gajah Mada, seorang Mahapatih yang legendaris, adalah arsitek utama di balik ekspansi teritorial Majapahit. Dengan kecerdasan strategis, keberanian militer, dan kemampuan politik yang tak tertandingi, ia memulai proyek ambisius untuk mempersatukan Nusantara di bawah payung Majapahit. Sumpah Palapa yang diucapkannya bukan sekadar deklarasi pribadi, melainkan sebuah pernyataan politik yang monumental, menunjukkan tekad bulat untuk menaklukkan atau menjalin aliansi dengan berbagai kerajaan dan entitas politik di kepulauan ini. Dari semenanjung Melayu hingga ujung timur kepulauan, pengaruh Majapahit meluas, membentuk sebuah jaringan kekuasaan yang belum pernah ada sebelumnya.
Di bawah kepemimpinan raja Hayam Wuruk, yang memerintah setelah Gajah Mada, Majapahit mencapai puncak keemasannya. Sang raja yang bijaksana ini bukan hanya seorang pemimpin militer, tetapi juga seorang patron seni, budaya, dan ilmu pengetahuan. Bersama Gajah Mada, ia menciptakan sebuah era di mana hukum dan ketertiban ditegakkan dengan adil, perdagangan berkembang pesat, dan kehidupan spiritual masyarakat mencapai harmoni. Kemaharajaan ini menjadi pusat peradaban yang menarik para pedagang, seniman, dan pemikir dari seluruh penjuru Asia, memperkaya khazanah budaya dan intelektualnya.
Sumpah Palapa dan Unifikasi Nusantara
Sumpah Palapa adalah sebuah janji suci yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada, sebuah deklarasi yang mencerminkan tekadnya untuk mempersatukan Nusantara. Sumpah ini diucapkan pada sebuah upacara penting, di mana Gajah Mada bersumpah untuk tidak menikmati palapa (yang diinterpretasikan sebagai rempah-rempah atau kenikmatan duniawi) sebelum seluruh kepulauan di bawah pengaruh Majapahit. Ini bukan sekadar sumpah personal, melainkan manifestasi dari visi politik yang jauh ke depan, yang bertujuan untuk menciptakan sebuah entitas geo-politik yang kohesif.
Implementasi dari Sumpah Palapa melibatkan serangkaian ekspedisi militer dan juga upaya diplomatik yang cerdik. Majapahit mengirimkan armada laut yang kuat untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang menolak tunduk, sementara pada saat yang sama, menjalin hubungan persahabatan dengan entitas-entitas yang bersedia mengakui hegemoni Majapahit. Kekuatan maritim Majapahit memainkan peran krusial dalam proyek unifikasi ini, memungkinkan kontrol atas jalur-jalur perdagangan vital dan memproyeksikan kekuatan ke wilayah-wilayah yang jauh.
Dampak dari Sumpah Palapa sangat mendalam. Dalam beberapa dekade, sebagian besar wilayah kepulauan yang kini dikenal sebagai Indonesia, serta beberapa bagian dari Semenanjung Malaya dan Filipina bagian selatan, berada dalam lingkaran pengaruh Majapahit. Ini tidak berarti seluruh wilayah tersebut dicaplok menjadi bagian integral dari kerajaan, melainkan banyak di antaranya menjadi negara-negara bawahan yang membayar upeti atau menjalin hubungan vassal dengan Majapahit. Jaringan kekuasaan yang luas ini tidak hanya memperkaya Majapahit secara ekonomi, tetapi juga menciptakan rasa persatuan dan identitas bersama yang melintasi batas-batas etnis dan geografis.
Kepemimpinan Hayam Wuruk: Puncak Kebesaran
Raja Hayam Wuruk, yang sering disebut sebagai raja yang paling gemilang dalam sejarah Majapahit, memerintah pada masa kemaharajaan mencapai titik tertinggi kekuasaannya. Di bawah pemerintahannya, Majapahit bukan hanya menjadi kekuatan militer yang ditakuti, tetapi juga sebuah pusat kebudayaan dan pengetahuan yang sangat maju. Kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya, yang sering kali merupakan kelanjutan dari visi Gajah Mada, memastikan bahwa stabilitas internal terjaga, dan kemakmuran dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyatnya.
Hayam Wuruk adalah seorang pemimpin yang visioner. Ia sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, pembangunan infrastruktur, serta kemajuan seni dan sastra. Di masa pemerintahannya, banyak candi dan bangunan suci diperbaiki atau dibangun, menunjukkan kekayaan spiritual dan material kerajaan. Ia juga dikenal karena sering melakukan perjalanan keliling wilayah kekuasaannya untuk melihat langsung kondisi rakyatnya dan memastikan bahwa pemerintahan berjalan dengan baik. Ini menunjukkan kedekatannya dengan rakyat dan komitmennya terhadap tata kelola yang baik.
Catatan sejarah, seperti yang diabadikan dalam karya-karya sastra agung pada masa itu, menggambarkan Majapahit sebagai sebuah kerajaan yang makmur, dengan kota-kota yang ramai, pertanian yang subur, dan perdagangan yang hidup. Hubungan diplomatik terjalin dengan banyak kerajaan di luar Nusantara, menunjukkan posisi Majapahit sebagai kekuatan regional yang dihormati. Era Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah bukti bagaimana sinergi antara seorang raja yang bijaksana dan seorang mahapatih yang cakap dapat membawa sebuah bangsa mencapai puncaknya.
Sistem Pemerintahan dan Administrasi: Pilar Kemaharajaan
Untuk dapat mengelola sebuah kemaharajaan yang begitu luas dan kompleks seperti Majapahit, diperlukan sebuah sistem pemerintahan dan administrasi yang sangat terstruktur dan efisien. Majapahit dikenal memiliki tata kelola yang canggih untuk masanya, yang memungkinkannya menjaga ketertiban, menarik pajak, mengelola sumber daya, dan memobilisasi kekuatan jika diperlukan. Struktur ini dirancang untuk memastikan bahwa kekuasaan pusat dapat menjangkau hingga ke unit-unit terkecil dalam masyarakat.
Di puncak hierarki adalah sang Raja, yang dianggap sebagai titisan dewa dan memiliki otoritas tertinggi. Raja dibantu oleh sebuah dewan penasihat yang terdiri dari para bangsawan tinggi, yang disebut Rakryan Mahamantri Hino, Rakryan Mahamantri Sirikan, dan Rakryan Mahamantri I Halu. Namun, figur paling berpengaruh setelah raja adalah Rakryan Mahapatih, atau sering disebut Patih Amangkubhumi, yang bertindak sebagai perdana menteri dan pelaksana urusan pemerintahan sehari-hari. Gajah Mada adalah contoh paling cemerlang dari peran seorang Mahapatih yang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar.
Di bawah pemerintahan pusat, terdapat struktur administrasi yang berlapis. Wilayah Majapahit dibagi menjadi beberapa bagian, yang dikelola oleh pejabat-pejabat kerajaan. Ada juga pembagian berdasarkan status sosial dan fungsi, dengan adanya pejabat yang mengurus urusan keagamaan (Dharmadyaksa), keuangan, peradilan, dan militer. Sistem ini memungkinkan Majapahit untuk menjaga kontrol atas wilayahnya yang luas dan beragam, sambil tetap memberikan otonomi tertentu kepada penguasa lokal yang setia.
Struktur Hierarki dan Pejabat Tinggi
Struktur pemerintahan Majapahit sangat hierarkis, dengan raja sebagai pusat kekuasaan. Raja memiliki otoritas mutlak, namun dalam praktiknya, ia dikelilingi oleh para pejabat tinggi yang membantu dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Selain Rakryan Mahamantri yang merupakan kerabat dekat raja, ada pula Bhayangkara yang bertugas sebagai pengawal pribadi raja dan penjaga keamanan istana, seringkali memiliki peran penting dalam politik internal.
Para pejabat tinggi lainnya termasuk Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan yang bertindak sebagai kepala departemen atau menteri, mengelola berbagai aspek kehidupan kerajaan. Urusan keagamaan dipegang oleh Dharmadyaksa, yang terbagi menjadi dua: Dharmadyaksa ring Kasogatan untuk Buddha dan Dharmadyaksa ring Kasaiwan untuk Hindu Siwa. Ini menunjukkan pentingnya peran agama dalam kehidupan kerajaan dan masyarakat Majapahit, serta upaya untuk menjaga harmoni di antara kedua kepercayaan utama tersebut.
Di tingkat provinsi atau wilayah yang lebih besar, terdapat para Bhre atau penguasa daerah yang seringkali adalah anggota keluarga kerajaan. Mereka bertanggung jawab atas administrasi lokal, pengumpulan pajak, dan menjaga ketertiban di wilayah mereka. Meskipun memiliki otonomi, mereka tetap tunduk pada kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit. Sistem ini memastikan bahwa kekuasaan tidak terlalu terpusat, namun tetap ada kontrol yang kuat dari pusat.
Hukum dan Peradilan: Kutaramanawa
Majapahit memiliki sistem hukum yang terstruktur, yang salah satu naskah pentingnya adalah Kutaramanawa. Hukum ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari hukum pidana, perdata, hingga tata cara administrasi. Keberadaan kodifikasi hukum ini menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi dan upaya kerajaan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan teratur. Kutaramanawa diyakini menjadi dasar bagi banyak keputusan hukum dan peradilan pada masa itu.
Sistem peradilan dijalankan oleh berbagai tingkatan pejabat, mulai dari tingkat desa hingga pengadilan kerajaan. Raja sendiri memiliki peran sebagai hakim tertinggi, atau setidaknya sebagai penentu keputusan akhir dalam kasus-kasus penting. Para hakim (disebut juga dharmasastra atau dharmakarana) bertanggung jawab untuk menafsirkan hukum dan memutuskan perkara berdasarkan bukti dan saksi. Proses peradilan ini dirancang untuk memastikan keadilan bagi semua pihak, meskipun tentu saja, status sosial seringkali memainkan peran dalam implementasinya.
Penegakan hukum juga menjadi bagian integral dari sistem pemerintahan. Pasukan keamanan dan pejabat lokal bertanggung jawab untuk memastikan bahwa hukum ditaati dan para pelanggar dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Adanya sistem hukum yang jelas dan terstruktur ini adalah salah satu faktor kunci yang memungkinkan Majapahit untuk menjaga stabilitas dan ketertiban di wilayahnya yang luas, serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perdagangan dan perkembangan sosial.
Militer dan Pertahanan: Penjaga Kedaulatan
Untuk mempertahankan wilayahnya yang luas dan menegakkan hegemoni, Majapahit memiliki kekuatan militer yang tangguh dan terorganisir. Angkatan darat dan angkatan laut Majapahit adalah kekuatan yang sangat disegani di seluruh Nusantara. Pasukan darat terdiri dari infanteri, kavaleri, dan gajah perang, yang terlatih dengan baik dan dilengkapi dengan berbagai senjata tradisional seperti keris, tombak, panah, dan pedang. Para prajurit berasal dari berbagai lapisan masyarakat, dan kesetiaan mereka kepada raja adalah faktor kunci kekuatan militer Majapahit.
Angkatan laut Majapahit juga sangat vital, mengingat karakter kepulauan wilayah kekuasaannya. Kapal-kapal perang yang kuat, mampu mengarungi lautan luas, digunakan untuk ekspedisi militer, patroli jalur perdagangan, dan menjaga keamanan maritim. Keberadaan angkatan laut yang kuat memungkinkan Majapahit untuk memproyeksikan kekuatannya ke pulau-pulau yang jauh, mengendalikan arus perdagangan, dan melindungi wilayah dari ancaman luar. Banyak catatan sejarah dan penemuan arkeologi menunjukkan kemajuan teknologi perkapalan Majapahit.
Selain kekuatan tempur, sistem pertahanan Majapahit juga melibatkan pembangunan benteng-benteng dan pos-pos pengawasan strategis di sepanjang jalur-jalur penting dan perbatasan wilayah. Pelatihan militer dilakukan secara teratur untuk memastikan kesiapan tempur pasukan. Para panglima perang, seperti Gajah Mada, adalah ahli strategi yang brilian, mampu memimpin pasukan dalam berbagai kampanye militer yang sukses, memperluas wilayah kekuasaan dan mempertahankan kedaulatan Majapahit dari ancaman internal maupun eksternal.
Ekonomi dan Perdagangan: Denyut Nadi Kemakmuran
Kemakmuran Majapahit tidak hanya berasal dari kekuatan militer dan administrasi yang efektif, tetapi juga didorong oleh sistem ekonomi yang berkembang pesat. Majapahit adalah sebuah kemaharajaan agraris yang kuat, dengan pertanian sebagai tulang punggung utama, namun juga memiliki jaringan perdagangan maritim yang sangat luas dan kompleks. Posisi geografisnya yang strategis di jalur perdagangan antara Asia Timur dan Asia Barat menjadikannya pusat ekonomi yang penting di kawasan.
Sektor pertanian sangat dominan. Tanah Jawa yang subur menghasilkan surplus padi yang melimpah, memungkinkan Majapahit untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan pangannya sendiri tetapi juga mengekspornya ke wilayah lain. Selain padi, berbagai rempah-rempah, hasil hutan, dan komoditas pertanian lainnya juga dibudidayakan. Sistem irigasi yang canggih, yang telah dikembangkan sejak era kerajaan-kerajaan sebelumnya, ditingkatkan dan dikelola dengan baik untuk memaksimalkan hasil pertanian. Petani adalah bagian terbesar dari populasi, dan kesejahteraan mereka sangat vital bagi stabilitas ekonomi kerajaan.
Di samping pertanian, perdagangan maritim adalah mesin ekonomi Majapahit yang lainnya. Pelabuhan-pelabuhan strategis di sepanjang pesisir Jawa menjadi pusat aktivitas perdagangan yang ramai. Kapal-kapal dari berbagai bangsa, seperti Tiongkok, India, dan Arab, berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Majapahit, membawa barang dagangan dari seluruh dunia. Majapahit sendiri mengekspor hasil bumi seperti rempah-rempah, emas, perak, kayu, dan kerajinan tangan, serta mengimpor sutra, keramik, porselen, dan barang-barang mewah lainnya. Sistem perdagangan ini tidak hanya membawa kekayaan materi, tetapi juga pertukaran budaya dan teknologi yang signifikan.
Jalur Perdagangan dan Pelabuhan Utama
Majapahit memiliki kendali atas jalur perdagangan maritim yang vital di Nusantara, yang membentang dari Selat Malaka, Laut Jawa, hingga ke timur. Posisi ini memberikannya keuntungan besar dalam mengumpulkan pajak dan bea masuk dari kapal-kapal yang melintas. Pelabuhan-pelabuhan seperti Hujung Galuh (di dekat Surabaya), Tuban, Gresik, dan bahkan beberapa pelabuhan di pesisir utara Jawa lainnya, menjadi simpul-simpul ekonomi yang sangat aktif. Di sinilah terjadi interaksi antara pedagang lokal dan pedagang asing, menciptakan melting pot budaya yang kaya.
Para pedagang Majapahit sendiri juga sangat aktif, tidak hanya menunggu kedatangan pedagang asing, tetapi juga melakukan ekspedisi perdagangan ke berbagai wilayah, termasuk ke Semenanjung Melayu, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan bahkan lebih jauh ke timur. Mereka membawa komoditas-komoditas unggulan Majapahit dan menukarnya dengan barang-barang yang dibutuhkan atau bernilai tinggi dari daerah lain. Jaringan perdagangan ini tidak hanya memperkaya kas kerajaan dan para saudagar, tetapi juga menyebarkan pengaruh budaya Majapahit ke seluruh pelosok Nusantara.
Pajak dan bea cukai yang dikenakan pada aktivitas perdagangan menjadi salah satu sumber pendapatan utama kerajaan. Sistem ini dikelola dengan baik untuk memastikan penerimaan yang stabil. Selain itu, keamanan jalur perdagangan juga menjadi prioritas. Angkatan laut Majapahit bertugas melindungi kapal-kapal dagang dari bajak laut dan memastikan kelancaran arus barang. Stabilitas politik dan keamanan yang diciptakan oleh Majapahit merupakan faktor kunci yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran perdagangan di kawasan.
Mata Uang dan Sistem Pajak
Untuk memfasilitasi perdagangan dan aktivitas ekonomi lainnya, Majapahit menggunakan berbagai jenis mata uang. Selain barter, koin-koin dari logam mulia seperti emas dan perak, serta koin tembaga atau perunggu dari Tiongkok (yang dikenal sebagai 'gobog') sering digunakan. Kehadiran berbagai jenis mata uang menunjukkan dinamika ekonomi yang kompleks dan terhubung dengan jaringan perdagangan internasional.
Sistem perpajakan Majapahit juga terstruktur. Pajak dikenakan pada hasil pertanian, aktivitas perdagangan, dan juga pada berbagai jenis industri kerajinan. Selain itu, kerajaan juga menerima upeti dari wilayah-wilayah bawahan atau negara-negara vassal sebagai bentuk pengakuan atas hegemoni Majapahit. Sistem pajak ini dirancang untuk menopang biaya administrasi kerajaan, pemeliharaan militer, pembangunan infrastruktur, dan kegiatan keagamaan.
Meskipun sistem pajaknya ketat, ada juga kebijakan yang mendukung para petani dan pedagang, seperti perlindungan hukum dan pembangunan infrastruktur yang menunjang aktivitas ekonomi. Keseimbangan antara pengumpulan pajak dan pemberian insentif ekonomi adalah kunci untuk menjaga kemakmuran dan stabilitas sosial di Majapahit. Sistem ekonomi yang kuat ini merupakan salah satu pilar utama yang memungkinkan Majapahit mencapai puncak kekuasaannya dan mempertahankan hegemoni selama beberapa generasi.
Kehidupan Sosial dan Budaya: Harmoni Hindu-Buddha
Selain kehebatan politik dan ekonomi, Majapahit juga merupakan pusat peradaban yang kaya akan kehidupan sosial dan budaya. Masyarakat Majapahit memiliki struktur yang teratur, dengan nilai-nilai budaya yang kuat dan toleransi beragama yang menonjol untuk masanya. Seni, sastra, dan arsitektur mencapai puncak keemasannya, mencerminkan kekayaan intelektual dan spiritual masyarakat kala itu.
Struktur sosial Majapahit secara umum mengikuti sistem kasta yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu, meskipun tidak sekaku di India. Ada kelompok Brahmana (pemuka agama), Ksatria (bangsawan dan militer), Waisya (pedagang dan petani kaya), dan Sudra (rakyat biasa, petani, pekerja). Namun, ada mobilitas sosial dan interaksi yang lebih cair antara kelompok-kelompok ini, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Posisi seseorang dalam masyarakat seringkali juga dipengaruhi oleh kekayaan, jabatan, dan keberanian di medan perang.
Aspek paling menonjol dari kehidupan budaya Majapahit adalah sinkretisme antara agama Hindu dan Buddha. Kedua agama ini hidup berdampingan secara harmonis, bahkan seringkali dipuja dalam satu kompleks candi atau dianggap sebagai jalan menuju tujuan spiritual yang sama. Konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu", telah ada dan dipraktikkan secara nyata dalam kehidupan keagamaan Majapahit, jauh sebelum menjadi semboyan negara modern. Para Dharmadyaksa dari kedua aliran agama ini bahkan bekerja sama dalam dewan penasihat raja.
Seni dan Sastra: Cermin Peradaban
Masa Majapahit adalah masa keemasan bagi perkembangan seni dan sastra di Nusantara. Banyak karya sastra agung lahir pada periode ini, yang tidak hanya menjadi sumber informasi sejarah tetapi juga warisan budaya yang tak ternilai. Salah satu karya paling terkenal adalah Kakawin Nagarakertagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Naskah ini adalah sebuah mahakarya yang menggambarkan secara detail kehidupan di Majapahit, silsilah raja-raja, wilayah kekuasaan, dan kehidupan keagamaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Nagarakertagama adalah jendela penting untuk memahami kebesaran Majapahit.
Selain Nagarakertagama, ada juga Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular. Karya ini terkenal karena memuat frasa "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa", yang menjadi dasar semboyan negara modern. Sutasoma adalah sebuah epos yang mengajarkan nilai-nilai toleransi, persatuan, dan kebaikan universal, menunjukkan tingkat pemikiran filosofis yang maju pada masa itu. Karya-karya sastra lain seperti Pararaton juga memberikan gambaran tentang sejarah dan tokoh-tokoh penting di Majapahit.
Seni pahat, ukir, dan patung juga berkembang pesat. Candi-candi yang dibangun pada masa Majapahit, seperti Candi Penataran, menunjukkan keindahan arsitektur dan keahlian seniman dalam mengolah batu menjadi karya seni yang megah. Relief-relief pada candi-candi tersebut seringkali menggambarkan kisah-kisah epik dari Ramayana dan Mahabharata, serta kehidupan sehari-hari masyarakat. Seni pertunjukan seperti wayang juga telah ada dan menjadi bagian integral dari kehidupan budaya, berfungsi sebagai hiburan sekaligus media penyampaian pesan moral dan keagamaan.
Arsitektur Megah dan Candi-candi Suci
Bukti fisik dari keagungan Majapahit dapat dilihat dari peninggalan arsitekturnya yang megah, terutama candi-candi dan struktur bangunan lainnya. Meskipun banyak bangunan di ibu kota Majapahit (Trowulan) dibangun dari bata merah yang kurang tahan terhadap waktu dibandingkan batu andesit, penemuan-penemuan arkeologi memberikan gambaran tentang kota yang terencana dengan baik, lengkap dengan istana, tempat ibadah, pasar, dan sistem irigasi.
Salah satu kompleks candi paling penting yang terkait dengan Majapahit adalah Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur. Candi ini merupakan kompleks keagamaan yang luas, dibangun secara bertahap selama beberapa generasi dan menjadi pusat pemujaan penting bagi para raja Majapahit. Relief-reliefnya yang detail menceritakan kisah-kisah dari mitologi Hindu-Buddha dan juga menampilkan berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa itu, menjadikannya sumber informasi yang berharga tentang budaya Majapahit.
Selain candi Hindu-Buddha, Majapahit juga memiliki bangunan-bangunan lain yang menunjukkan kemajuan arsitektur, seperti gapura-gapura megah (misalnya Gapura Bajang Ratu dan Wringin Lawang), kolam-kolam besar (seperti Kolam Segaran yang dipercaya berfungsi sebagai penampung air atau tempat jamuan kenegaraan), serta sistem saluran air yang canggih. Semua peninggalan ini adalah saksi bisu dari tingginya peradaban Majapahit dan keahlian para perajin serta insinyurnya.
Puncak Hegemoni: Nusantara dalam Genggaman
Pada puncaknya, kekuasaan Majapahit melampaui batas-batas pulau Jawa, merangkul sebagian besar kepulauan Nusantara dalam jaringannya. Periode ini adalah manifestasi nyata dari visi unifikasi yang diimpikan oleh para pemimpinnya. Majapahit bukan hanya sebuah kerajaan, melainkan sebuah kemaharajaan yang kuat, di mana pengaruhnya dirasakan dari ujung barat hingga ujung timur, bahkan meluas ke luar wilayah kepulauan.
Wilayah kekuasaan Majapahit, seperti yang digambarkan dalam naskah-naskah kuno, mencakup pulau-pulau besar seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga kepulauan di timur seperti Maluku, serta bagian-bagian dari Semenanjung Melayu. Tentu, tingkat kontrol dan hubungan antara pusat dengan wilayah-wilayah ini bervariasi. Beberapa wilayah mungkin dikuasai secara langsung, sementara yang lain adalah negara-negara bawahan yang membayar upeti dan mengakui kedaulatan Majapahit, atau sekadar menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan.
Keberhasilan Majapahit dalam membangun hegemoni ini didukung oleh kekuatan militer yang superior, jaringan intelijen yang efisien, dan diplomasi yang cerdik. Para penguasa lokal di wilayah-wilayah taklukan seringkali tetap diizinkan untuk memerintah asalkan mereka setia kepada Majapahit dan memenuhi kewajiban upeti. Pendekatan ini memungkinkan Majapahit untuk mengelola kekuasaan tanpa harus menduduki seluruh wilayah secara fisik, sebuah strategi yang efektif untuk mengelola kemaharajaan yang luas.
Hubungan dengan Kerajaan Bawahan dan Mitra Dagang
Majapahit menjalin berbagai jenis hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain. Ada wilayah-wilayah yang secara langsung menjadi bagian dari kerajaan inti, diatur oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk dari pusat. Namun, sebagian besar wilayah di luar Jawa adalah daerah-daerah Mitreka Satata (negara sahabat) atau negara-negara bawahan yang mengakui supremasi Majapahit. Hubungan ini dipertahankan melalui diplomasi, pernikahan politik, dan kadang-kadang, demonstrasi kekuatan militer.
Negara-negara bawahan diwajibkan untuk mengirimkan upeti secara berkala ke Majapahit, yang seringkali berupa komoditas berharga dari wilayah mereka, seperti rempah-rempah, hasil hutan, atau barang tambang. Sebagai imbalannya, Majapahit memberikan perlindungan militer dan stabilitas politik, yang penting bagi kelangsungan perdagangan dan kemakmuran lokal. Jaringan ini menciptakan sebuah sistem ekonomi terintegrasi yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat dalam lingkaran kekuasaan Majapahit.
Selain hubungan politik, Majapahit juga aktif menjalin hubungan dagang dengan banyak kerajaan di luar Nusantara. Catatan dari sumber-sumber Tiongkok dan India seringkali menyebutkan tentang utusan dan pedagang Majapahit yang datang ke pelabuhan mereka. Ini menunjukkan bahwa Majapahit tidak hanya berorientasi ke dalam (Nusantara), tetapi juga memiliki pandangan global, menjadikannya pemain penting dalam perdagangan Asia pada masa itu. Pengaruh budaya Majapahit pun menyebar bersamaan dengan jalur perdagangan ini, meninggalkan jejak di berbagai belahan kepulauan.
Ekspedisi Militer dan Diplomasi
Untuk mencapai dan mempertahankan puncak hegemoni, Majapahit seringkali melakukan ekspedisi militer yang terencana dengan baik. Armada laut yang kuat dan pasukan darat yang terlatih dikerahkan untuk menundukkan wilayah-wilayah yang menolak tunduk atau untuk meredakan pemberontakan. Ekspedisi-ekspedisi ini seringkali dipimpin oleh panglima-panglima ulung yang memiliki pemahaman mendalam tentang geografi dan strategi militer di kepulauan ini.
Namun, Majapahit juga tidak selalu mengandalkan kekuatan fisik. Diplomasi adalah alat yang sangat penting dalam membangun dan menjaga jaringan kekuasaan. Utusan-utusan dikirim ke berbagai kerajaan untuk menjalin hubungan persahabatan, menegosiasikan perjanjian, atau meminta pengakuan atas supremasi Majapahit. Pernikahan politik antara anggota keluarga kerajaan Majapahit dengan bangsawan dari kerajaan lain juga sering dilakukan sebagai cara untuk memperkuat ikatan dan mencegah konflik.
Pendekatan campuran antara kekuatan militer dan diplomasi yang cerdik ini adalah kunci keberhasilan Majapahit dalam membangun kemaharajaan yang luas dan bertahan selama beberapa generasi. Hal ini memungkinkan Majapahit untuk mencapai sebuah periode stabilitas dan kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya di Nusantara, meninggalkan warisan yang mendalam bagi generasi-generasi berikutnya.
Tanda-Tanda Kemunduran: Retakan di Dinding Kekuasaan
Meskipun Majapahit telah mencapai puncak kejayaan dan mengukir namanya dalam sejarah sebagai salah satu kemaharajaan terbesar di Nusantara, seperti halnya setiap peradaban besar, ia pun tak luput dari siklus kemunduran. Setelah masa keemasan yang panjang, tanda-tanda keretakan mulai muncul, perlahan mengikis pondasi kekuasaan yang telah dibangun dengan susah payah. Faktor-faktor internal dan eksternal secara bertahap melemahkan pusat Majapahit, membuka jalan bagi perubahan drastis di masa depan.
Salah satu penyebab utama kemunduran internal adalah masalah suksesi dan perebutan takhta. Setelah era Hayam Wuruk, tidak ada lagi pemimpin sekuat dan sevisioner dirinya yang mampu menyatukan berbagai faksi dalam keluarga kerajaan dan para bangsawan. Perebutan kekuasaan seringkali berujung pada perang saudara, yang paling terkenal adalah Perang Paregreg. Konflik internal ini tidak hanya menguras sumber daya militer dan ekonomi, tetapi juga merusak persatuan dan kepercayaan terhadap otoritas pusat.
Melemahnya kekuasaan pusat juga memicu pemberontakan dan pemisahan diri di wilayah-wilayah bawahan. Dengan pusat yang sibuk dengan konflik internal, pengawasan terhadap daerah-daerah terluar menjadi longgar. Para penguasa lokal melihat kesempatan untuk melepaskan diri dari hegemoni Majapahit, atau setidaknya mengurangi tingkat ketergantungan mereka. Proses desentralisasi kekuasaan ini secara bertahap mengurangi luas wilayah kekuasaan Majapahit yang sesungguhnya dan juga mengurangi aliran upeti ke ibu kota.
Faktor Internal: Konflik Suksesi dan Perang Saudara
Setelah wafatnya raja agung dan Mahapatih yang cakap, Majapahit kehilangan dua pilarnya yang paling kuat. Generasi penerus tidak memiliki karisma atau kemampuan politik yang setara untuk menjaga stabilitas yang telah dibangun. Perebutan hak atas takhta menjadi masalah yang sering muncul, terutama karena adanya beberapa garis keturunan yang merasa berhak. Ini menciptakan ketidakpastian politik dan memecah belah elit kerajaan.
Perang Paregreg adalah contoh paling dramatis dari konflik internal ini. Ini adalah perang saudara yang berlangsung selama beberapa waktu antara dua pihak yang sama-sama berasal dari keluarga kerajaan. Perang ini tidak hanya menyebabkan kehancuran fisik di beberapa wilayah, tetapi juga kehancuran moral dan kepercayaan. Para bangsawan dan rakyat biasa menderita akibat konflik ini, dan ini semakin melemahkan legitimasi kekuasaan pusat. Kekuatan militer yang seharusnya digunakan untuk menjaga kedaulatan dari luar, justru terkuras dalam pertempuran antar saudara.
Selain perang saudara, intrik politik di istana juga menjadi faktor. Kekuatan-kekuatan regional dan faksi-faksi bangsawan saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh di lingkungan istana. Hal ini seringkali berujung pada korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan ketidakadilan, yang pada gilirannya menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan. Stabilitas yang menjadi ciri khas Majapahit di masa jayanya, perlahan-lahan terkikis oleh gejolak internal ini.
Faktor Eksternal: Munculnya Kekuatan Baru dan Pergeseran Perdagangan
Di saat Majapahit disibukkan dengan masalah internalnya, lanskap politik dan ekonomi di Nusantara mulai berubah. Kekuatan-kekuatan baru, terutama kesultanan-kesultanan Islam di pesisir utara Jawa dan di berbagai wilayah kepulauan lainnya, mulai muncul dan berkembang. Kesultanan-kesultanan ini tumbuh makmur berkat perdagangan maritim dan menyebarkan pengaruh agama Islam yang menarik banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat.
Pergeseran jalur perdagangan juga menjadi tantangan signifikan. Dengan munculnya kekuatan maritim baru dan perubahan preferensi rute dagang, pelabuhan-pelabuhan Majapahit tidak lagi menjadi satu-satunya atau yang paling dominan. Ini mengurangi pendapatan pajak dan bea cukai yang menjadi salah satu sumber kekayaan kerajaan. Perlahan, Majapahit kehilangan kendali mutlak atas jaringan perdagangan yang sebelumnya telah menopang kemakmurannya.
Penyebaran agama Islam juga memainkan peran dalam pergeseran kekuasaan. Meskipun Majapahit dikenal dengan toleransi beragama, pertumbuhan pesat kesultanan-kesultanan Islam yang memiliki basis massa yang kuat dan jaringan perdagangan yang mandiri, secara bertahap mengikis loyalitas dan integrasi wilayah-wilayah yang sebelumnya tunduk pada Majapahit. Kombinasi dari konflik internal dan tekanan eksternal ini menciptakan kondisi yang rentan bagi kemaharajaan Majapahit.
Akhir Sebuah Era: Senja Kemaharajaan
Kemunduran yang bertahap akhirnya mencapai titik kritis, mengantarkan Majapahit menuju senja kekuasaannya. Proses ini bukanlah kehancuran yang tiba-tiba, melainkan serangkaian peristiwa yang melemahkan inti kerajaan hingga akhirnya tidak mampu lagi mempertahankan eksistensinya sebagai kemaharajaan yang dominan. Puing-puing kekuasaan Majapahit akan menjadi fondasi bagi munculnya kekuatan-kekuatan baru, mengubah peta politik dan budaya Nusantara secara fundamental.
Pelemahan kontrol pusat semakin parah seiring berjalannya waktu. Para penguasa di daerah-daerah semakin berani untuk bertindak independen, tidak lagi mengirimkan upeti atau mematuhi perintah dari ibu kota. Beberapa di antaranya bahkan secara terbuka menyatakan kemerdekaannya atau bergabung dengan aliansi-aliansi baru. Fragmentasi politik ini sangat merugikan Majapahit, karena ia kehilangan sumber daya, tenaga kerja, dan legitimasi untuk mengklaim sebagai penguasa seluruh Nusantara.
Penurunan ekonomi yang menyertai melemahnya perdagangan dan kekalahan dalam perang saudara semakin mempercepat proses ini. Kas kerajaan menipis, dan kemampuan untuk membiayai pasukan atau mempertahankan infrastruktur pun berkurang drastis. Rakyat yang menderita akibat konflik dan kesulitan ekonomi cenderung kehilangan kepercayaan pada penguasa mereka, membuat mereka lebih rentan terhadap pengaruh kekuatan-kekuatan baru yang menawarkan alternatif.
Melemahnya Pusat Kendali dan Fragmentasi
Melemahnya pusat kendali Majapahit adalah proses yang kompleks, ditandai oleh kurangnya kepemimpinan yang kuat dan kohesif. Setelah serangkaian raja yang kurang cakap atau terlibat dalam intrik internal, kemampuan Majapahit untuk memproyeksikan kekuasaannya ke seluruh Nusantara menurun drastis. Institusi-institusi pemerintahan yang dulunya efektif menjadi kurang efisien, dan korupsi mungkin juga merajalela di beberapa tingkatan.
Fragmentasi wilayah terjadi ketika berbagai daerah, baik yang jauh maupun yang lebih dekat, mulai memisahkan diri. Beberapa bangsawan di daerah memutuskan untuk mendirikan kerajaan mereka sendiri, atau setidaknya mempraktikkan otonomi yang sangat tinggi. Contoh paling menonjol adalah munculnya Demak sebagai kekuatan baru di pesisir utara Jawa, yang secara bertahap menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah pengaruh Majapahit. Proses ini menciptakan sebuah mozaik kekuatan-kekuatan regional yang saling bersaing, menggantikan hegemoni tunggal Majapahit.
Penyebaran agama Islam juga berkontribusi pada fragmentasi ini. Banyak penguasa lokal yang memeluk Islam dan mendirikan kesultanan-kesultanan Islam. Identitas keagamaan baru ini seringkali menjadi dasar bagi legitimasi politik yang baru, dan mereka tidak lagi melihat Majapahit yang berbasis Hindu-Buddha sebagai pusat kekuasaan yang relevan. Perubahan demografi dan ideologi ini secara fundamental mengubah tatanan politik di Nusantara.
Munculnya Kesultanan Islam dan Transformasi Nusantara
Keruntuhan Majapahit tidak berarti hilangnya peradaban, melainkan sebuah transformasi besar dalam sejarah Nusantara. Di tempat Majapahit yang melemah, munculah kesultanan-kesultanan Islam yang baru, yang dengan cepat mengisi kekosongan kekuasaan. Kesultanan Demak sering dianggap sebagai pewaris langsung dari kekuasaan Majapahit di Jawa, meskipun dengan basis ideologi dan agama yang berbeda.
Kesultanan-kesultanan ini, yang banyak di antaranya berlokasi di pesisir, mengendalikan jalur perdagangan maritim yang vital. Mereka membangun kekuatan ekonomi dan militer mereka sendiri, serta menyebarkan agama Islam dengan cara yang damai melalui perdagangan dan dakwah, maupun melalui penaklukan militer. Transformasi ini mengubah wajah Nusantara, dari kemaharajaan besar yang berbasis daratan dan Hindu-Buddha, menjadi jaringan kesultanan-kesultanan maritim yang berbasis Islam.
Meskipun Majapahit secara politik runtuh, warisan budayanya tidak hilang begitu saja. Banyak elemen budaya, seni, dan bahkan sistem pemerintahan Majapahit yang diserap dan diadaptasi oleh kesultanan-kesultanan penerusnya. Ini menunjukkan bahwa sejarah adalah sebuah kontinum, di mana setiap peradaban besar meninggalkan jejak yang tak terhapuskan, membentuk peradaban-peradaban berikutnya. Majapahit, pada akhirnya, telah menyelesaikan perannya dalam membentuk identitas Nusantara.
Warisan Abadi: Cahaya Majapahit di Masa Kini
Meskipun kemaharajaan Majapahit telah lama runtuh dan hilang dari panggung kekuasaan politik, jejaknya tidak pernah pudar. Warisannya tetap hidup dan bernafas dalam setiap aspek kehidupan modern di Indonesia, menjadi fondasi bagi identitas bangsa dan inspirasi bagi para penerus. Majapahit bukan sekadar halaman dalam buku sejarah, melainkan jiwa yang terus membimbing dan mengingatkan akan kebesaran masa lalu serta potensi masa depan.
Salah satu warisan terbesar Majapahit adalah konsep persatuan dan kesatuan Nusantara. Visi unifikasi yang diusung oleh Gajah Mada dan Hayam Wuruk, meskipun dalam konteks kemaharajaan, telah menanamkan benih kesadaran akan identitas bersama di antara berbagai suku dan pulau. Konsep Bhinneka Tunggal Ika dari Mpu Tantular, yang digali kembali oleh para pendiri bangsa, menjadi semboyan negara, mengingatkan kita bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan perbedaan dapat hidup berdampingan dalam harmoni. Ini adalah bukti nyata bahwa gagasan Majapahit tentang persatuan tetap relevan hingga saat ini.
Di bidang kebudayaan, pengaruh Majapahit sangat mendalam. Seni tari, musik (gamelan), sastra (termasuk wiracarita dan kisah-kisah tradisional), dan seni pertunjukan seperti wayang, banyak di antaranya berakar dari tradisi yang berkembang pada masa Majapahit. Arsitektur, ukiran, dan filosofi hidup yang terkandung dalam peninggalan-peninggalan mereka masih dipelajari dan dihormati. Bahkan bahasa, dengan banyak serapan dari bahasa Sansekerta dan Kawi yang populer di era Majapahit, masih memiliki jejaknya dalam bahasa Indonesia modern.
Pilar Identitas Kebangsaan
Majapahit seringkali disebut sebagai salah satu pilar utama identitas kebangsaan Indonesia. Ini karena kemaharajaan tersebut mampu menciptakan sebuah entitas politik dan budaya yang mencakup sebagian besar wilayah yang kini menjadi Indonesia modern. Narasi tentang Majapahit sebagai pemersatu bangsa menjadi landasan penting dalam membangun rasa kebanggaan dan kesadaran kolektif.
Para pendiri bangsa modern secara sadar merujuk pada kebesaran Majapahit sebagai inspirasi. Mereka melihat kembali masa lalu yang gemilang ini untuk menemukan dasar ideologis bagi sebuah negara yang beragam namun bersatu. Simbol-simbol Majapahit, seperti lambang Garuda dan konsep Bhinneka Tunggal Ika, diadopsi dan diberi makna baru, menjadi bagian integral dari identitas nasional.
Kisah Majapahit juga mengajarkan tentang pentingnya kepemimpinan yang kuat, strategi yang cerdik, dan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat. Pelajaran-pelajaran ini relevan bagi setiap generasi yang ingin membangun dan mempertahankan sebuah bangsa yang besar dan bermartabat. Majapahit, dengan segala keagungan dan keruntuhannya, adalah cermin yang merefleksikan perjalanan panjang bangsa ini menuju kemerdekaan dan persatuan.
Pengaruh dalam Seni, Bahasa, dan Hukum
Dalam bidang seni, warisan Majapahit tak terhingga. Gamelan, musik tradisional Jawa dan Bali, diyakini telah berkembang pesat pada masa Majapahit. Berbagai bentuk tari klasik, wayang kulit, dan ukiran kayu atau batu yang rumit, banyak di antaranya mengikuti pola dan tema yang sudah ada sejak era Majapahit. Karya sastra seperti Nagarakertagama dan Sutasoma tetap menjadi sumber studi penting dan inspirasi bagi seniman dan penulis modern.
Bahasa Indonesia, meskipun berbasis Melayu, memiliki banyak kata serapan dari bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan Sansekerta yang populer pada masa Majapahit. Istilah-istilah seperti "raja", "negara", "perdana", "istana", dan "pusaka" adalah contoh kecil dari pengaruh linguistik ini. Ini menunjukkan bagaimana bahasa juga menjadi wadah transmisi budaya dan warisan dari satu era ke era berikutnya.
Dalam hukum, meskipun sistem hukum modern Indonesia banyak dipengaruhi oleh hukum Barat, beberapa prinsip keadilan dan tata kelola yang ada dalam naskah-naskah hukum Majapahit seperti Kutaramanawa, mungkin telah membentuk dasar bagi pemahaman tentang hukum dan ketertiban di masyarakat. Warisan ini mungkin tidak selalu terlihat secara langsung, tetapi telah menyatu dalam cara pandang dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat Indonesia.
Secara keseluruhan, Majapahit adalah sebuah epik tentang pencapaian manusia di Nusantara. Sebuah kisah tentang bagaimana sebuah kerajaan, lahir dari kekacauan, mampu tumbuh menjadi kemaharajaan agung yang mempersatukan beragam budaya dan wilayah, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah. Kekuasaan Majapahit adalah bukti bahwa visi, kepemimpinan, dan kerja keras dapat mengukir peradaban yang gemilang, dan warisannya terus menjadi sumber inspirasi bagi bangsa ini hingga kini, mengingatkan akan potensi besar yang selalu ada dalam semangat persatuan dan kemajuan.