Kitab Pararaton, sebuah naskah kuno yang berharga dan menjadi salah satu warisan literatur Jawa yang paling signifikan, adalah sumber utama yang menceritakan tentang dinamika sejarah kerajaan-kerajaan besar di tanah Jawa bagian timur. Terutama, ia menuturkan kisah awal mula Kerajaan Singhasari yang penuh gejolak, dan kemudian melanjutkannya dengan rentetan peristiwa penting yang mengarah pada berdirinya Kerajaan Majapahit, serta periode keemasannya hingga masa-masa kemundurannya. Naskah ini bukan sekadar catatan kronologis yang kering, melainkan sebuah narasi yang kaya akan detail dramatis, intrik politik yang kompleks, serta sentuhan mitologis dan spiritual yang membentuk pemahaman kita akan asal-usul kekuasaan, legitimasi raja, dan takdir dalam pandangan masyarakat Jawa masa lampau. Pararaton, secara harfiah berarti "Kitab Para Raja" atau "Kitab Raja-Raja", sesuai dengan isinya yang menyoroti kehidupan, perjuangan, dan sepak terjang para pemimpin yang membentuk peradaban besar di Nusantara.
Berbeda dengan beberapa sumber sejarah lain yang mungkin lebih formal atau berorientasi pada data administratif dan pujian resmi, Pararaton menonjolkan sisi personal dari para tokoh, motif di balik setiap tindakan mereka, serta akibat-akibat dari keputusan-keputusan penting yang diambil. Ia menceritakan tentang bagaimana takdir, ramalan-ramalan gaib, dan bahkan kutukan seringkali memainkan peran krusial dalam mengubah jalan sejarah sebuah kerajaan dan nasib para penguasanya. Kisah-kisah yang disajikan seringkali bersifat anekdotis dan penuh dengan drama kemanusiaan, menjadikan teks ini hidup dan sangat menarik untuk dipelajari. Bagi siapa pun yang ingin memahami akar budaya, politik, dan bahkan filsafat kekuasaan Jawa, menyelami isi Pararaton adalah sebuah keharusan. Ini karena ia menyajikan pandangan mendalam tentang bagaimana masyarakat Jawa memandang kekuasaan, legitimasi seorang raja, dan peran unsur-unsur supranatural dalam kehidupan mereka.
Kitab Pararaton memberikan gambaran yang unik tentang siklus kekuasaan di Jawa. Dari seorang yang bukan siapa-siapa yang merintis sebuah dinasti, hingga seorang kaisar yang menyatukan seluruh Nusantara, lalu meredup karena intrik dan perpecahan internal, semua diceritakan dengan gaya yang khas. Naskah ini menjadi jembatan penting untuk memahami transisi budaya dan politik di tanah Jawa, dari era kerajaan Hindu-Buddha yang kuat hingga fase-fase selanjutnya. Pentingnya Pararaton tidak hanya terletak pada informasinya yang bersifat historis, melainkan juga pada nilai sastranya yang memukau, di mana setiap narasi dibumbui dengan konflik batin, ambisi yang membara, dan konsekuensi tak terhindarkan dari setiap tindakan.
Kelahiran dan Kebangkitan Ken Arok: Sang Pendiri Dinasti yang Legendaris
Sebagian besar bagian awal Kitab Pararaton menceritakan tentang kisah hidup Ken Arok, figur legendaris yang menjadi pendiri Kerajaan Singhasari. Kisahnya dimulai dengan asal-usul yang misterius dan diwarnai oleh ramalan-ramalan gaib yang menunjukkan takdirnya yang luar biasa. Pararaton menggambarkan Ken Arok bukan dari garis keturunan bangsawan atau lingkungan istana, melainkan seorang yang lahir dari latar belakang yang sangat sederhana, bahkan dianggap rendah atau jelata. Ia digambarkan sebagai anak yang dibuang, kemudian diasuh oleh seorang pencuri bernama Gandring, lalu berpindah tangan ke seorang punggawa bernama Bango Samparan. Kehidupan awalnya penuh dengan petualangan dan pelanggaran hukum, membangun reputasinya sebagai sosok yang berani namun juga licik. Namun, sejak kelahirannya, ia telah diramalkan memiliki takdir besar, sebuah tanda bahwa ia ditakdirkan untuk menjadi seorang penguasa yang luar biasa dan mengubah jalannya sejarah.
Pada awalnya, Ken Arok dikenal sebagai seorang pemuda pemberontak dengan reputasi yang kurang baik di wilayah Tumapel. Ia menghabiskan masa mudanya di kalangan para penjahat dan perampok, namun dengan kecerdasan, karisma, dan keberaniannya yang di atas rata-rata, ia berhasil menarik perhatian beberapa tokoh berpengaruh. Salah satu tokoh penting yang melihat potensi luar biasa dalam diri Ken Arok adalah seorang brahmana bernama Lohgawe. Lohgawe, dengan kebijaksanaannya, meyakini bahwa Ken Arok adalah titisan Dewa Wisnu dan ditakdirkan untuk memerintah tanah Jawa. Keyakinan dan bimbingan dari Lohgawe memberikan legitimasi spiritual bagi Ken Arok, mengubahnya dari seorang penjahat menjadi sosok yang dipercaya memiliki mandat ilahi untuk memimpin. Berkat dukungan dan bimbingan spiritual Lohgawe, Ken Arok mulai menapaki jalan menuju kekuasaan, sebuah perjalanan yang diwarnai oleh darah dan intrik.
Kisah Ken Arok semakin mendebarkan ketika ia berhasil masuk ke dalam lingkaran kekuasaan di Tumapel, sebuah wilayah di bawah kendali Akuwu (penguasa daerah) Tunggul Ametung. Dengan cepat, Ken Arok mendapatkan kepercayaan dari Tunggul Ametung dan menjadi salah satu punggawanya yang paling diandalkan. Namun, takdir rupanya mempertemukan Ken Arok dengan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung yang terkenal akan kecantikannya dan keagungan auranya. Pararaton menceritakan tentang Ken Dedes yang memancarkan prabha atau aura keagungan yang luar biasa, sebuah tanda bahwa siapa pun yang menjadi suaminya akan menjadi penguasa di tanah Jawa. Kisah tentang Ken Dedes ini menjadi titik balik penting yang memicu ambisi Ken Arok.
Simbol Bintang Penuntun atau Takdir Agung.
Gairah Ken Arok terhadap Ken Dedes, yang diperkuat oleh ramalan tentang aura kekuasaan sang istri Akuwu, mendorongnya pada tindakan drastis dan penuh risiko. Ia memutuskan untuk menyingkirkan Tunggul Ametung. Untuk melancarkan rencananya, Ken Arok memesan sebilah keris sakti kepada seorang pandai besi yang sangat terkenal dan memiliki kekuatan supranatural, bernama Mpu Gandring. Pararaton menceritakan secara detail proses pembuatan keris yang tidak tuntas sesuai perjanjian waktu yang ditentukan. Mpu Gandring merasa dihina dan dikhianati karena Ken Arok mengambil keris itu secara paksa sebelum selesai sempurna, yang kemudian berujung pada kutukan mengerikan dari Mpu Gandring. Ia meramalkan bahwa keris itu akan membunuh tujuh raja secara berurutan, termasuk dirinya sendiri dan keturunannya yang terlibat dalam keris tersebut. Kutukan ini akan menjadi benang merah tragis dalam sejarah Singhasari.
Dengan keris sakti Mpu Gandring yang belum sempurna namun penuh kutukan, Ken Arok melancarkan aksinya. Ia membunuh Tunggul Ametung secara licik, lalu menyalahkan pengawal Tunggul Ametung, Kebo Ijo, dengan menuduh Kebo Ijo yang memiliki keris tersebut. Setelah berhasil menguasai Tumapel dan mempersunting Ken Dedes, Ken Arok tidak berhenti di situ. Ambisinya jauh lebih besar. Ia kemudian memberontak terhadap kekuasaan Kediri, yang saat itu dipimpin oleh Raja Kertajaya. Kertajaya sendiri digambarkan sebagai raja yang angkuh dan cenderung sewenang-wenang terhadap kaum brahmana, yang kemudian berbalik mendukung Ken Arok.
Perang besar pun meletus antara Ken Arok dan Raja Kertajaya. Dengan dukungan para brahmana yang membelot dari Kediri, serta kekuatan militernya yang tangguh, Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya. Raja Kediri pun wafat, dan Ken Arok kemudian mendirikan kerajaannya sendiri yang disebut Singhasari. Momen ini menandai awal mula sebuah dinasti baru yang akan membentuk wajah sejarah Jawa selama berabad-abad, sebuah dinasti yang lahir dari intrik, kekerasan, namun juga dengan dukungan spiritual dan visi seorang pemimpin. Ken Arok, sang pendiri, bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi, dan ia memerintah dengan kekuasaan penuh, meskipun bayang-bayang kutukan keris Mpu Gandring selalu mengintai.
Kisah awal Ken Arok dalam Pararaton adalah cerminan dari keyakinan Jawa tentang takdir, karma, dan legitimasi kekuasaan yang bisa datang dari mana saja, bahkan dari luar garis kebangsawanan tradisional. Narasi ini memberikan gambaran tentang betapa kompleksnya intrik politik dan personal yang mendasari pembentukan sebuah kerajaan baru, di mana ambisi, cinta, kekuatan spiritual, dan konsekuensi tindakan saling berkelindan erat, menciptakan sebuah saga yang tak terlupakan dalam sejarah Jawa.
Intrik dan Penerus di Singhasari: Lingkaran Kutukan dan Balas Dendam
Setelah Ken Arok mendirikan Kerajaan Singhasari dengan gemilang, Kitab Pararaton tidak berhenti pada keberhasilan sang pendiri. Ia melanjutkan narasi dengan menceritakan bagaimana kutukan keris Mpu Gandring mulai merenggut nyawa para penguasa di Singhasari, menciptakan lingkaran balas dendam yang tak berkesudahan di antara para pewaris takhta. Kisah-kisah ini menceritakan tentang pergantian kekuasaan yang penuh darah, menunjukkan betapa rapuhnya stabilitas politik meskipun sebuah kerajaan telah didirikan dengan fondasi yang kuat. Setiap raja yang naik takhta tampaknya membawa serta beban sejarah dan dendam dari generasi sebelumnya.
Penerus Ken Arok yang pertama adalah Anusapati, putra Ken Dedes dari pernikahannya dengan Tunggul Ametung. Pararaton menceritakan bahwa Anusapati tumbuh besar tanpa mengetahui bahwa ayah kandungnya adalah Tunggul Ametung, dan bahwa Ken Arok adalah pembunuh ayahnya. Kehidupan Anusapati di istana diwarnai oleh ketegangan tersembunyi. Namun, ketika kebenaran pahit itu akhirnya terungkap, api dendam membakar hati Anusapati. Ia pun merencanakan balas dendam dengan menggunakan keris yang sama, keris Mpu Gandring, yang telah menewaskan ayah kandungnya, Tunggul Ametung, dan kemudian menewaskan Ken Arok. Dengan keris itu, Anusapati berhasil membunuh Ken Arok dalam sebuah pertempuran sengit dan merebut takhta Singhasari. Tindakannya ini menunjukkan bahwa lingkaran kekerasan dan balas dendam yang telah diramalkan oleh Mpu Gandring telah dimulai.
Kekuasaan Anusapati di Singhasari ternyata tidak berlangsung lama. Ia sendiri menjadi korban dari lingkaran kutukan dan balas dendam yang sama. Tohjaya, putra kandung Ken Arok dari Ken Umang (istri kedua Ken Arok), tumbuh dengan mengetahui bahwa Anusapati adalah pembunuh ayahnya. Pararaton menceritakan tentang bagaimana Tohjaya yang berambisi, mencari kesempatan untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Ia menunggu waktu yang tepat, merencanakan dengan cermat, dan akhirnya, ia berhasil membunuh Anusapati. Tohjaya kemudian merebut takhta Singhasari. Namun, takhta yang diperoleh Tohjaya pun tak bertahan lama. Kekuasaan yang dibangun di atas dasar dendam dan kekerasan menunjukkan betapa tidak stabilnya pemerintahan di Singhasari pada masa itu, di mana setiap pergantian takhta hampir selalu diwarnai oleh pertumpahan darah.
Simbol Mahkota yang Berdarah atau Konflik Kekuasaan.
Pergolakan di Singhasari terus berlanjut tanpa henti. Tohjaya akhirnya tumbang oleh pemberontakan yang dipimpin oleh Ranggawuni (yang kemudian bergelar Raja Vishnuvardhana) dan Mahesa Cempaka. Keduanya adalah keturunan dari Ken Arok dan Tunggul Ametung, yang bersatu untuk mengakhiri kekuasaan Tohjaya yang berdarah. Ranggawuni adalah putra Anusapati, sedangkan Mahesa Cempaka adalah cucu Ken Arok dari Mahesa Wonga Teleng. Pemerintahan Ranggawuni yang kemudian diikuti dengan penunjukan Mahesa Cempaka sebagai raja muda atau penguasa pendamping, menandai periode singkat stabilitas di Singhasari. Mereka berusaha keras untuk menyatukan kembali faksi-faksi yang saling bertikai dan membawa ketenangan bagi kerajaan, mencoba mengakhiri lingkaran balas dendam yang telah berlangsung selama beberapa generasi.
Raja terbesar dan terakhir dari Singhasari yang diceritakan secara mendalam dalam Pararaton adalah Kertanagara, putra dari Raja Vishnuvardhana. Kertanagara adalah raja yang visioner dan ambisius. Ia tidak hanya ingin mempertahankan kekuasaan Singhasari tetapi juga berambisi untuk memperluas pengaruhnya ke seluruh Nusantara, sebuah cita-cita besar yang dikenal sebagai Cakrawala Mandala Dwipantara. Pararaton menceritakan tentang berbagai ekspedisi militer yang dilancarkan Kertanagara, termasuk ekspedisi Pamalayu yang bertujuan menundukkan Kerajaan Melayu di Sumatra dan menjalin persahabatan dengan mereka untuk membendung pengaruh kerajaan asing dari utara. Ia juga menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain dan dikenal sebagai penguasa yang berwawasan luas, serta memiliki kecenderungan spiritual yang kuat, bahkan dikaitkan dengan ajaran Tantrayana.
Namun, ambisi Kertanagara yang besar ini juga membawanya pada malapetaka. Dalam upayanya memperluas pengaruh dan mempersiapkan pertahanan dari ancaman eksternal yang jauh, ia mengabaikan keamanan internal kerajaannya. Ini diperparah dengan penolakannya secara terang-terangan dan menghina utusan dari bangsa Mongol yang dipimpin oleh Kubilai Khan, yang datang meminta Singhasari untuk tunduk sebagai negara bawahan. Penolakan Kertanagara dengan cara merusak wajah utusan tersebut, memicu kemarahan besar Kubilai Khan, yang berjanji akan mengirimkan pasukan besar untuk menghukum Singhasari. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Jayakatwang, Adipati Kediri yang masih memiliki dendam lama terhadap Singhasari yang telah meruntuhkan kerajaannya terdahulu. Pararaton menceritakan bagaimana Jayakatwang dengan cerdik menyerang Singhasari saat sebagian besar pasukan Kertanagara sedang berada di luar Jawa untuk ekspedisi.
Kisah tentang kejatuhan Singhasari sangat tragis dan dramatis. Kertanagara, yang sedang khusyuk dalam upacara keagamaan bersama para pembesar istana, diserang secara mendadak oleh pasukan Jayakatwang. Dengan pasukan utama yang jauh di luar ibu kota, pertahanan Singhasari runtuh dengan cepat. Raja Kertanagara dan beberapa pembesarnya wafat dalam serangan tersebut. Kejatuhan Singhasari ini menandai berakhirnya sebuah era yang penuh dengan ambisi besar dan intrik berdarah, namun juga membuka lembaran baru dalam sejarah Jawa dengan munculnya kerajaan yang lebih besar dan lebih kuat, yaitu Majapahit. Pararaton dengan jelas menggambarkan transisi ini, di mana sebuah dinasti besar tumbang untuk memberi jalan bagi lahirnya sebuah imperium baru, sebuah siklus kehancuran dan kelahiran kembali yang terus berulang dalam sejarah.
Lahirnya Majapahit: Dari Puing Kehancuran Menuju Kejayaan Baru
Setelah kejatuhan tragis Singhasari, Kitab Pararaton menceritakan tentang sebuah periode kekacauan yang mendahului lahirnya Majapahit, sebuah kerajaan yang kelak akan menjadi salah satu imperium terbesar di Nusantara. Tokoh sentral dalam babak penting ini adalah Raden Wijaya, menantu Raja Kertanagara yang berhasil lolos dari serangan Jayakatwang. Kisahnya adalah tentang ketahanan, strategi cerdik, dan kemampuan luar biasa untuk bangkit dari kehancuran yang total. Ia harus memulai segalanya dari nol, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang tercerai-berai.
Raden Wijaya, yang kini menjadi buronan setelah wafatnya Kertanagara dan jatuhnya Singhasari, tidak menyerah pada nasib yang tampaknya suram. Pararaton menceritakan tentang perjalanannya mencari perlindungan dan menyusun kekuatan kembali. Dengan bantuan beberapa pengikut setia yang masih tersisa, termasuk para tokoh seperti Arya Wiraraja, Ranggalawe, Nambi, dan Kuti, ia berhasil mendapatkan sebidang tanah di sebuah hutan di wilayah Trowulan. Hutan tersebut banyak ditumbuhi pohon maja. Saat mendirikan permukiman baru, salah satu pengikutnya merasakan buah maja yang sangat pahit, dan dari situlah nama "Majapahit" konon berasal. Tempat ini kemudian menjadi cikal bakal ibu kota kerajaan yang megah di kemudian hari, sebuah awal yang sederhana untuk sebuah imperium besar.
Kesempatan emas bagi Raden Wijaya datang ketika pasukan Mongol, di bawah pimpinan Jenderal Ike Mese dan kawan-kawan, tiba di Jawa. Mereka datang dengan kekuatan armada dan tentara yang sangat besar, dikirim langsung oleh Kaisar Kubilai Khan, yang marah atas perlakuan Kertanagara terhadap utusannya. Pasukan Mongol datang untuk menghukum Singhasari, namun mereka menemukan bahwa Jayakatwanglah yang kini berkuasa setelah meruntuhkan Singhasari. Pararaton menceritakan dengan cermat bagaimana Raden Wijaya melihat ini sebagai peluang strategis yang tak terduga. Ia berpura-pura tunduk dan bersekutu dengan pasukan Mongol, menawarkan bantuan dalam menumpas Jayakatwang, musuh bersama mereka.
Simbol Strategi dan Kekuatan Baru.
Aliansi sementara ini terbukti sangat efektif. Bersama pasukan Mongol yang perkasa, Raden Wijaya berhasil mengalahkan Jayakatwang dan merebut kembali kekuasaan atas wilayah bekas Singhasari. Namun, kepintaran dan kecerdikan Raden Wijaya tidak berhenti di situ. Setelah Jayakatwang tumbang dan pasukannya tercerai-berai, ia dengan cerdik membalikkan keadaan. Pararaton menceritakan bagaimana Raden Wijaya memanfaatkan kelengahan pasukan Mongol, yang merasa tugasnya telah selesai dan kini rentan karena berencana kembali ke negeri asalnya. Dengan cepat, ia menyerang pasukan Mongol yang sedang berpawai kemenangan, mengejutkan mereka, dan berhasil mengusir mereka dari tanah Jawa. Ini adalah puncak kecerdasan politik dan militer Raden Wijaya, yang berhasil menyingkirkan dua musuh besar dalam satu waktu.
Setelah berhasil mengusir pasukan asing dan mengamankan posisinya, Raden Wijaya pun memproklamirkan berdirinya Kerajaan Majapahit pada sebuah hari yang penuh makna. Momen ini menandai babak baru dalam sejarah Jawa, di mana sebuah kerajaan baru yang lahir dari kehancuran Singhasari kini berdiri kokoh, dengan ambisi yang lebih besar dari pendahulunya. Raden Wijaya bergelar Raja Kertarajasa Jayawardhana. Namun, Pararaton juga menceritakan bahwa masa-masa awal Majapahit tidaklah selalu mulus. Banyak pemberontakan dan tantangan yang harus dihadapi oleh Raden Wijaya untuk mengonsolidasikan kekuasaannya dan membangun fondasi kerajaan yang stabil.
Beberapa pemberontakan awal yang dicatat dalam Pararaton meliputi pemberontakan Ronggo Lawe, Nambi, dan Kuti. Ronggo Lawe, seorang pengikut setia yang merasa kurang dihargai, memberontak karena merasa diabaikan dalam pembagian jabatan. Nambi, seorang patih yang berpengaruh, juga kemudian memberontak, memicu konflik yang cukup besar. Pemberontakan Kuti bahkan berhasil menguasai ibu kota Majapahit untuk sementara waktu, memaksa Raja Jayanagara (penerus Raden Wijaya) melarikan diri. Pemberontakan-pemberontakan ini menunjukkan betapa sulitnya menyatukan berbagai faksi dan mantan pengikut Singhasari di bawah panji kerajaan baru. Raden Wijaya harus berjuang keras untuk menegakkan otoritasnya, mengatasi intrik di kalangan istana, dan membangun fondasi yang kuat bagi Majapahit, menunjukkan bahwa membangun sebuah imperium membutuhkan lebih dari sekadar kemenangan militer.
Pararaton secara gamblang menyajikan gambaran tentang perjuangan Raden Wijaya dari seorang pelarian menjadi pendiri sebuah kerajaan besar. Narasi ini penuh dengan liku-liku, dari kehancuran Singhasari, strategi licik, hingga konsolidasi kekuasaan melalui penumpasan pemberontakan. Babak ini adalah fondasi bagi era keemasan Majapahit yang akan datang, sebuah bukti bahwa bahkan dari puing-puing kehancuran pun dapat lahir sebuah imperium yang perkasa, asalkan ada kepemimpinan yang cerdik dan determinasi yang kuat. Kisah ini mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati tidak hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga kecerdasan dalam memanfaatkan situasi politik.
Awal Majapahit dan Era Gajah Mada: Sang Arsitek Imperium Nusantara
Setelah era Raden Wijaya yang penuh perjuangan dalam mendirikan Majapahit, Kitab Pararaton menceritakan tentang masa-masa awal Majapahit yang masih penuh dengan tantangan dan gejolak internal. Pada periode inilah figur-figur penting mulai muncul untuk membentuk jalan cerita kerajaan ini menuju puncak kejayaan. Salah satu figur paling monumental yang diceritakan secara detail dan memiliki pengaruh tak tertandingi adalah Gajah Mada, sang mahapatih yang kelak menjadi arsitek di balik ekspansi besar Majapahit hingga menjadi imperium yang disegani di seluruh Nusantara.
Pemerintahan Jayanagara, putra Raden Wijaya, adalah masa yang tidak mudah dan cenderung kurang stabil. Pararaton menceritakan tentang bagaimana Jayanagara menghadapi berbagai intrik istana dan serangkaian pemberontakan yang terus-menerus mengancam stabilitas kerajaan. Ia dikenal sebagai raja yang kurang populer di kalangan rakyat maupun bangsawan, dan menghadapi banyak tekanan politik. Periode ini menggambarkan fase konsolidasi Majapahit yang penuh dengan gejolak, di mana kekuasaan masih rapuh dan perlu pemimpin yang sangat kuat untuk mengarahkannya pada jalan yang benar. Bahkan, Jayanagara wafat dalam sebuah intrik internal yang tragis.
Momen penting dalam narasi Pararaton selanjutnya adalah saat Tribhuwana Tunggadewi, putri Raden Wijaya dan adik tiri Jayanagara, naik takhta. Ia adalah seorang raja perempuan yang berani, cerdas, dan cakap, yang mampu membawa Majapahit melewati masa-masa sulit pasca-kematian Jayanagara dan serangkaian pemberontakan. Di bawah pemerintahannya, Majapahit mulai menemukan kembali pijakannya dan mempersiapkan diri untuk ekspansi yang lebih besar. Kepemimpinan Tribhuwana Tunggadewi seringkali disoroti karena ketegasan dan keberaniannya dalam menghadapi tantangan internal dan eksternal, menegakkan kembali otoritas pusat yang sempat goyah.
Simbol benteng kerajaan atau kekuasaan yang kokoh.
Di era pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi inilah muncul sosok Gajah Mada, yang akan mengubah wajah Majapahit selamanya. Pararaton menceritakan asal-usul Gajah Mada yang tidak terlalu jelas, namun ia dengan cepat menunjukkan kecerdasan, kesetiaan, dan kemampuan militernya yang luar biasa. Karirnya menanjak pesat, dari seorang panglima Pasukan Bhayangkara yang berhasil menumpas pemberontakan Kuti di masa Jayanagara, menjadi seorang mahapatih yang sangat berpengaruh di bawah Tribhuwana Tunggadewi. Ia adalah seorang ahli strategi militer dan politik yang ulung, dengan visi yang jauh ke depan.
Kisah Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada adalah salah satu bagian paling terkenal dalam Pararaton, dan juga dalam sejarah Indonesia secara umum. Pararaton menceritakan bahwa Sumpah Palapa adalah ikrar Gajah Mada untuk tidak akan menikmati rempah-rempah atau makanan lezat (palapa) sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Ikrar ini bukan sekadar janji biasa, melainkan sebuah deklarasi ambisi politik dan spiritual yang luar biasa besar, menunjukkan tekad bulat seorang pemimpin untuk mewujudkan cita-cita persatuan. Sumpah ini mencerminkan tekad Gajah Mada untuk mengubah Majapahit dari sebuah kerajaan regional menjadi sebuah imperium maritim yang tak tertandingi, sebuah kerajaan yang menguasai seluruh kepulauan.
Dengan ambisi dan strateginya yang brilian, Gajah Mada mulai melancarkan berbagai ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Pararaton menceritakan tentang penaklukan Bali yang sangat sengit, Lombok, Sunda, serta berbagai wilayah lain di Sumatra, Kalimantan, hingga ke bagian timur kepulauan seperti Maluku. Gajah Mada tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ulung, tetapi juga sebagai administrator yang cerdas, yang mampu mengorganisir wilayah-wilayah yang ditaklukkan agar tetap setia kepada Majapahit dan terintegrasi dalam sistem kerajaan. Ia menerapkan strategi diplomasi dan perkawinan politik di samping kekuatan militer.
Peran Gajah Mada sangat krusial dalam membentuk identitas Majapahit sebagai kekuatan dominan di Nusantara. Ia bukan hanya seorang panglima yang memimpin pasukan di medan perang, tetapi juga seorang negarawan yang merancang visi besar untuk kerajaan dan melaksanakan misi penyatuan dengan ketekunan yang luar biasa. Pararaton dengan jelas menyoroti bagaimana kepemimpinan Gajah Mada, di bawah naungan Tribhuwana Tunggadewi, telah meletakkan dasar bagi masa keemasan Majapahit yang akan segera tiba. Kisah-kisah tentang kegigihan, kecerdasan, dan dedikasi Gajah Mada adalah inti dari narasi tentang kebangkitan Majapahit sebagai imperium maritim yang jaya. Kontribusinya dalam membangun struktur pemerintahan dan militer yang kuat menjadi fondasi kokoh bagi kekuasaan Majapahit yang tak tertandingi.
Keemasan Majapahit di Bawah Hayam Wuruk dan Gajah Mada: Imperium Gemilang
Kitab Pararaton menceritakan bahwa puncak kejayaan Kerajaan Majapahit tercapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, yang bergelar Sri Rajasanagara. Namun, kebesaran Majapahit pada periode ini tidak dapat dilepaskan dari peran kolaborasi yang luar biasa dan sinergis antara Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Kisah mereka adalah duet kepemimpinan yang harmonis antara seorang raja yang berwibawa dan visioner dengan seorang mahapatih yang cakap dan setia, mengantarkan Majapahit pada puncak keemasan dan menjadi sebuah imperium yang dihormati serta disegani di seluruh Nusantara dan Asia Tenggara.
Hayam Wuruk adalah cucu dari Raden Wijaya, pendiri Majapahit, dan putra dari Tribhuwana Tunggadewi. Pararaton menggambarkan Hayam Wuruk sebagai raja yang bijaksana, berpendidikan tinggi, dan memiliki pandangan yang luas terhadap berbagai aspek kehidupan, dari politik, agama, hingga kesenian. Ia bukan hanya seorang pemimpin politik dan militer, tetapi juga seorang pelindung seni, budaya, dan agama yang sangat dihormati. Di bawah kepemimpinannya, Majapahit mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang, dari ekonomi yang makmur, perdagangan yang ramai, hingga pembangunan infrastruktur yang megah. Stabilitas internal dan kemakmuran adalah ciri utama pemerintahannya, menjadikan Majapahit sebagai pusat peradaban yang gemilang.
Kolaborasi antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah kunci sukses Majapahit dalam mencapai masa keemasan ini. Gajah Mada, dengan pengalamannya yang luas dalam urusan militer dan administrasi, menjadi tangan kanan Hayam Wuruk yang sangat diandalkan. Ia adalah otak di balik strategi ekspansi dan stabilisasi kerajaan. Pararaton menceritakan bagaimana Gajah Mada melanjutkan proyek penyatuan Nusantara yang telah ia ikrarkan melalui Sumpah Palapa. Dengan dukungan penuh dari raja, ekspedisi-ekspedisi militer dilancarkan ke berbagai pelosok kepulauan, memperluas wilayah kekuasaan Majapahit hingga mencakup sebagian besar kepulauan Indonesia masa kini, termasuk sebagian Semenanjung Malaya dan Filipina bagian selatan.
Simbol Matahari Majapahit, lambang keemasan dan pusat kekuasaan.
Meskipun Pararaton tidak secara rinci mengulas peristiwa Bubat dengan kedalaman yang sama seperti sumber lain, ia tetap menjadi bagian penting dari konteks narasi Majapahit secara umum. Peristiwa tragis ini, yang melibatkan pasukan Majapahit dan rombongan Kerajaan Sunda, menunjukkan kompleksitas hubungan antar kerajaan pada masa itu, di mana ambisi kekuasaan dan kesalahpahaman diplomatik dapat berujung pada tragedi besar. Peristiwa ini seringkali dijadikan pelajaran tentang diplomasi, strategi, dan batasan-batasan kekuasaan. Kisah ini, meski diceritakan singkat dalam Pararaton, adalah sebuah pengingat akan harga yang harus dibayar dalam upaya penyatuan wilayah.
Di bawah Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Majapahit mencapai puncak kekuasaan sebagai imperium maritim yang menguasai jalur perdagangan penting di Asia Tenggara. Pararaton menceritakan tentang bagaimana kapal-kapal Majapahit berlayar ke berbagai penjuru, membawa komoditas perdagangan dan menyebarkan pengaruh kebudayaan Jawa. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai, menarik pedagang dari berbagai belahan dunia seperti Tiongkok, India, dan Timur Tengah. Kemakmuran ekonomi mendukung perkembangan budaya dan agama, dengan banyak candi dan karya sastra yang agung diciptakan pada masa itu, mencerminkan kejayaan intelektual dan artistik.
Struktur pemerintahan Majapahit juga menjadi sangat terorganisir di bawah arahan Gajah Mada. Ia membangun sistem administrasi yang efisien untuk mengelola wilayah yang luas, memastikan pengumpulan pajak yang lancar, dan menjaga ketertiban serta keamanan di seluruh wilayah kekuasaan. Berbagai pejabat dan punggawa istana bekerja secara sinergis untuk menjalankan roda pemerintahan, mulai dari urusan militer, peradilan, hingga urusan keagamaan. Hal ini menjadikan Majapahit sebagai model kerajaan yang maju dan terstruktur pada masanya, sebuah bukti nyata dari kehebatan manajemen Gajah Mada.
Kisah keemasan Majapahit dalam Pararaton adalah cerminan dari cita-cita kesatuan Nusantara yang tidak hanya terwujud secara militer, tetapi juga kultural dan ekonomi. Ia menggambarkan periode di mana Jawa menjadi pusat gravitasi politik dan budaya di Asia Tenggara. Masa ini adalah puncak dari segala perjuangan dan intrik yang telah diceritakan sejak awal berdirinya Singhasari, menunjukkan bahwa visi besar, kepemimpinan yang kuat, dan kolaborasi yang efektif dapat membawa sebuah bangsa menuju kemakmuran dan kehormatan yang luar biasa di panggung dunia. Kisah ini tetap menjadi inspirasi tentang bagaimana sebuah bangsa dapat mencapai puncak kejayaannya.
Senja Kekuasaan: Kemunduran dan Disintegrasi Majapahit
Setiap kejayaan, betapapun megahnya, pasti memiliki akhir, dan Kitab Pararaton juga menceritakan tentang periode senja kekuasaan Majapahit, sebuah fase di mana imperium yang dahulu megah itu mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran dan disintegrasi. Setelah wafatnya dua pilar utama yang membawa Majapahit ke puncak kejayaan, yaitu Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk, kerajaan ini perlahan-lahan kehilangan kekuatan dan kesatuannya. Majapahit memasuki era yang penuh dengan konflik internal, perebutan kekuasaan, dan tekanan eksternal yang semakin intens.
Wafatnya Gajah Mada adalah titik balik yang sangat signifikan bagi Majapahit. Pararaton menceritakan bahwa setelah Gajah Mada tiada, tidak ada lagi figur mahapatih yang memiliki kapasitas, karisma, dan pengaruh sebesar dirinya untuk menyatukan berbagai faksi di istana dan menjaga stabilitas kerajaan yang begitu luas. Hayam Wuruk, meskipun masih berkuasa, kesulitan menemukan pengganti yang sepadan dengan Gajah Mada, dan ini mulai menciptakan kekosongan kepemimpinan yang krusial. Kehilangan otak dan tangan kanan kerajaan ini secara efektif mengurangi kemampuan Majapahit untuk mengelola wilayah jajahannya dan menghadapi tantangan baru.
Beberapa waktu setelah Gajah Mada, Raja Hayam Wuruk juga wafat. Kehilangan dua tokoh sentral ini secara berurutan memicu krisis suksesi yang parah dan berkepanjangan. Pararaton menceritakan tentang perebutan takhta yang terjadi di kalangan keturunan Hayam Wuruk, terutama antara Bhre Wirabhumi (putra dari selir Hayam Wuruk) dan Wikramawardhana (menantu dan keponakan Hayam Wuruk). Konflik internal ini memuncak dalam sebuah perang saudara yang dikenal sebagai Perang Paregreg, yang secara harfiah berarti "perang selang-seling" atau "perang bertahap" yang merusak.
Simbol Kerajaan yang terpecah atau Konflik Internal.
Perang Paregreg, yang digambarkan dalam Pararaton sebagai konflik yang berkepanjangan dan sangat melelahkan, sangat merugikan Majapahit. Perang saudara ini tidak hanya menguras sumber daya militer dan ekonomi kerajaan, tetapi juga memecah belah kesetiaan para bangsawan dan rakyat. Wilayah-wilayah bawahan mulai melihat peluang untuk melepaskan diri dari kontrol pusat, dan otoritas pusat Majapahit semakin melemah secara signifikan. Konflik ini adalah pukulan telak yang membuat Majapahit tidak pernah pulih sepenuhnya ke kondisi kejayaan sebelumnya, meninggalkan luka yang dalam dalam struktur kekuasaan.
Selain intrik internal, Pararaton juga secara implisit menceritakan tentang munculnya kekuatan-kekuatan baru di pesisir utara Jawa. Kekuatan-kekuatan ini, yang didominasi oleh pengaruh Islam dan pusat-pusat perdagangan yang berkembang pesat, mulai menyaingi kekuatan Majapahit yang berbasis agraris di pedalaman. Meskipun Pararaton tidak secara eksplisit membahas penyebaran agama secara mendalam, ia memberikan petunjuk tentang pergeseran kekuatan politik dan ekonomi yang terjadi di Jawa, di mana kota-kota pelabuhan yang baru tumbuh menjadi pusat-pusat kekuatan yang otonom.
Fragmentasi kekuasaan dan melemahnya pengaruh pusat Majapahit terus berlanjut tanpa bisa dibendung. Banyak wilayah yang sebelumnya berada di bawah kendali kuat Majapahit mulai mendeklarasikan kemerdekaan mereka atau beralih kesetiaan kepada kekuatan-kekuatan lokal yang lebih dominan di daerah masing-masing. Pararaton mencatat serangkaian pergantian raja-raja yang silih berganti, seringkali disertai dengan intrik dan konflik yang berkelanjutan di dalam istana. Setiap pergantian takhta tampaknya semakin mengikis fondasi imperium, menjadikannya semakin rapuh dan rentan terhadap tekanan dari luar.
Akhir Kerajaan Majapahit, meskipun tidak dijelaskan secara dramatis dalam Pararaton seperti kisah awal Singhasari yang penuh darah, ditandai oleh melemahnya kekuasaan politik, disintegrasi wilayahnya yang luas, dan berpindahnya pusat gravitasi ekonomi dan politik. Kerajaan yang dahulu perkasa ini pada akhirnya menyusut menjadi sebuah kekuatan regional yang kecil sebelum akhirnya lenyap dari panggung sejarah. Pararaton, sebagai catatan para raja, secara efektif mendokumentasikan keseluruhan siklus ini, dari kemunculan yang spektakuler hingga keruntuhan yang bertahap, memberikan gambaran yang lengkap tentang naik turunnya sebuah peradaban besar.
Kisah kemunduran Majapahit dalam Pararaton adalah pelajaran berharga tentang siklus kekuasaan dan imperium. Ia menceritakan bagaimana meskipun sebuah imperium dibangun dengan fondasi yang sangat kuat dan kepemimpinan yang cemerlang, intrik internal, perebutan kekuasaan, dan kegagalan adaptasi terhadap perubahan zaman dapat menjadi penyebab utama keruntuhan. Naskah ini memberikan perspektif yang unik tentang bagaimana para leluhur melihat akhir dari sebuah era keemasan, sebuah pengingat bahwa keabadian kekuasaan hanyalah ilusi belaka.
Pararaton Sebagai Sumber Sejarah dan Karya Sastra yang Berharga
Kitab Pararaton tidak hanya menceritakan tentang serangkaian peristiwa sejarah dan pergantian kekuasaan di Jawa, tetapi juga merupakan sebuah dokumen budaya yang sangat penting dan kompleks. Peran dan karakternya sebagai sumber sejarah seringkali menjadi bahan perdebatan yang intens di kalangan sejarawan karena sifatnya yang unik. Ia secara gamblang memadukan fakta-fakta historis dengan unsur-unsur mitos, legenda, dan cerita rakyat yang mendalam. Pararaton berdiri sebagai sebuah cermin yang merefleksikan cara pandang masyarakat Jawa kuno tentang masa lampau mereka, tentang asal-usul kekuasaan, dan tentang takdir yang melingkupi kehidupan para raja.
Salah satu karakteristik utama Pararaton yang membedakannya dari naskah lain adalah gaya naratifnya yang lebih personal, dramatis, dan anekdotis. Berbeda dengan Nagarakretagama yang ditulis pada masa keemasan Majapahit oleh Mpu Prapanca, yang cenderung formal, berorientasi pada pujian terhadap raja, dan lebih terstruktur secara kronologis serta berfokus pada silsilah dan pencapaian resmi kerajaan, Pararaton lebih berfokus pada drama manusiawi. Ia menyelami intrik-intrik istana, balas dendam pribadi, kisah cinta terlarang, pengkhianatan, dan takdir-takdir tragis yang melilit para tokoh utama. Gaya ini membuat Pararaton lebih mudah diakses dan lebih menarik secara emosional bagi pembaca.
Pararaton secara eksplisit menceritakan tentang adanya unsur-unsur mitos, legenda, dan ramalan yang kuat dalam pembentukan dan perkembangan sejarah. Kisah Ken Arok yang lahir dengan tanda-tanda khusus yang menunjukkan takdir agungnya, kutukan keris Mpu Gandring yang merenggut nyawa tujuh raja secara berurutan, atau aura Ken Dedes yang menjanjikan kekuasaan bagi suaminya, adalah contoh-contoh bagaimana elemen supranatural diintegrasikan ke dalam narasi sejarah. Hal ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat Jawa pada masa itu, dunia spiritual dan dunia nyata saling berkelindan erat dan secara fundamental mempengaruhi jalannya peristiwa-peristiwa besar. Konsep karma dan takdir sangat kental dalam setiap alur cerita.
Simbol Kitab atau Naskah Kuno.
Meskipun demikian, nilai historis Pararaton tidak dapat diremehkan sama sekali. Meskipun ada perdebatan tentang keakuratan detail tertentu atau penanggalan yang tidak konsisten dibandingkan dengan sumber-sumber lain, ia tetap memberikan kerangka kronologis dan nama-nama tokoh penting yang sebagian besar terkonfirmasi oleh sumber-sumber lain, seperti prasasti atau catatan dari luar Jawa. Pararaton menceritakan tentang garis suksesi raja-raja, konflik-konflik besar yang mengubah arah sejarah, dan pembentukan kerajaan, yang semuanya sangat berharga untuk rekonstruksi sejarah Jawa kuno. Ia melengkapi potongan-potongan teka-teki sejarah yang mungkin tidak ditemukan dalam sumber lain.
Sebagai sebuah karya sastra, Pararaton adalah sebuah epik yang luar biasa. Ia mampu menarik pembaca dengan alur cerita yang dramatis, karakter yang kompleks dengan motivasi yang mendalam, dan konflik yang mendalam antara individu dan takdir. Kisah-kisah tentang cinta yang rumit, pengkhianatan yang keji, ambisi yang membara, dan lingkaran balas dendam membuatnya hidup dan relevan sepanjang masa. Gaya bahasanya yang kadang lugas namun puitis juga menjadikannya salah satu permata sastra klasik Jawa, memberikan kekayaan ekspresi dan makna. Ia bukan sekadar deretan fakta, melainkan sebuah saga yang mengalirkan emosi, filosofi, dan pelajaran moral.
Warisan Pararaton dalam historiografi dan kebudayaan Indonesia sangatlah besar. Ia tidak hanya menjadi rujukan primer bagi para sejarawan, tetapi juga menginspirasi banyak karya sastra modern, pertunjukan seni tradisional, dan bahkan turut membentuk identitas nasional. Pemahaman kita tentang Singhasari dan Majapahit, dua kerajaan paling berpengaruh di masa lampau, akan jauh berkurang tanpa adanya catatan yang kaya dan penuh warna seperti yang disajikan oleh Pararaton. Naskah ini adalah fondasi bagi banyak cerita rakyat dan legenda yang masih hidup hingga kini.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai sumber sejarah, Pararaton tetap menjadi jembatan penting yang menghubungkan kita dengan masa lalu yang penuh misteri. Ia menceritakan tentang peradaban yang dibangun oleh para leluhur, perjuangan mereka yang heroik, impian mereka yang agung, dan bagaimana mereka melihat serta memahami dunia di sekitar mereka. Naskah ini mengajarkan kita bahwa sejarah tidak hanya tentang fakta kering dan angka-angka, tetapi juga tentang kisah-kisah manusia yang abadi, yang terus beresonansi melalui zaman.
Refleksi Atas Kisah-Kisah Leluhur dari Pararaton: Pelajaran Abadi
Setelah menyelami berbagai narasi yang terkandung dalam Kitab Pararaton, kita dapat menarik banyak pelajaran dan refleksi mendalam mengenai sifat kekuasaan, ambisi manusia yang tak terbatas, dan takdir yang selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah. Pararaton menceritakan tentang bagaimana fondasi sebuah peradaban dibangun melalui darah dan intrik, namun juga melalui visi yang jauh ke depan dan kepemimpinan yang luar biasa. Kisah-kisah ini bukan hanya catatan masa lalu yang telah berlalu, melainkan juga cermin bagi masa kini dan masa depan, menawarkan wawasan tentang sifat dasar manusia dan dinamika sosial.
Kisah Ken Arok, sang pendiri Singhasari, mengajarkan kita tentang kekuatan ambisi dan keberanian untuk mengubah takdir. Dari seorang yang diremehkan dan berlatar belakang sederhana, ia mampu meruntuhkan tatanan lama dan mendirikan dinasti baru yang perkasa. Namun, kisah ini juga mengingatkan kita bahwa kekuasaan yang diperoleh melalui kekerasan, pengkhianatan, dan pelanggaran janji seringkali membawa konsekuensi yang tak terduga, seperti lingkaran balas dendam yang merenggut nyawa para penerusnya di Singhasari. Ini adalah gambaran jelas tentang konsep karma politik dan bahwa setiap tindakan memiliki akibat.
Transisi dari Kerajaan Singhasari yang runtuh ke Kerajaan Majapahit yang baru lahir, yang dipelopori oleh Raden Wijaya, menceritakan tentang pentingnya strategi, kecerdikan, dan kemampuan adaptasi yang tinggi dalam menghadapi kehancuran total. Kemampuannya untuk melihat peluang dalam kekacauan, bersekutu dengan musuh untuk menumpas musuh yang lain, kemudian membalikkan keadaan untuk mengusir sekutu, adalah contoh kecerdasan politik tingkat tinggi yang jarang ditemukan. Majapahit lahir dari abu kehancuran, menunjukkan bahwa inovasi, ketahanan, dan kecerdikan adalah kunci untuk bertahan dan berkembang, bahkan di tengah situasi yang paling genting sekalipun.
Era keemasan di bawah kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk, yang merupakan puncak kejayaan Majapahit, memberikan pelajaran berharga tentang kolaborasi kepemimpinan yang efektif. Pararaton menceritakan tentang bagaimana visi besar seorang mahapatih yang diimbangi oleh kearifan, kebijaksanaan, dan dukungan penuh dari seorang raja dapat mengantarkan sebuah bangsa pada kemakmuran, kestabilan, dan pengaruh yang tak tertandingi. Sumpah Palapa Gajah Mada adalah manifestasi dari semangat persatuan yang melampaui batas-batas wilayah, sebuah cita-cita untuk menyatukan Nusantara yang tetap relevan hingga saat ini sebagai fondasi kebangsaan.
Namun, Pararaton juga menceritakan tentang kerapuhan kekuasaan dan sifat fana dari setiap imperium. Kisah kemunduran Majapahit setelah wafatnya para pemimpin besar, konflik internal yang mematikan seperti Perang Paregreg, dan munculnya kekuatan-kekuatan baru di pesisir, menunjukkan bahwa tidak ada kerajaan yang abadi. Perpecahan dari dalam istana dan masyarakat seringkali terbukti lebih mematikan daripada ancaman dari luar. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa persatuan, integritas, dan kemampuan untuk beradaptasi adalah fondasi terpenting sebuah bangsa untuk terus bertahan dan berkembang.
Secara keseluruhan, Kitab Pararaton menceritakan tentang sebuah spektrum luas pengalaman manusia dalam konteks politik dan kekuasaan di Jawa kuno. Ia adalah cerminan dari keyakinan budaya, nilai-nilai, dan pemahaman leluhur tentang alam semesta, di mana takdir, karma, dan campur tangan ilahi memainkan peran penting. Baik sebagai sumber sejarah yang kaya atau sebagai karya sastra yang memukau, nilai Pararaton tak lekang oleh waktu. Ia mengundang kita untuk terus merenungkan makna sejarah dan pelajaran yang dapat kita petik dari perjalanan panjang para raja dan pahlawan di masa lampau, mengajarkan kita tentang siklus kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali.
Dengan segala kompleksitas dan kedalamannya, Pararaton tetap menjadi salah satu permata warisan intelektual dan spiritual bangsa Indonesia. Kisah-kisah yang terkandung di dalamnya terus hidup, tidak hanya di lembaran naskah kuno yang berdebu, tetapi juga dalam memori kolektif, cerita rakyat, dan identitas kebudayaan Jawa dan Indonesia secara luas. Memahami Pararaton berarti memahami salah satu akar terdalam dari peradaban Jawa, dan oleh karenanya, juga peradaban Indonesia yang kaya akan sejarah.
Naskah ini mengajarkan bahwa meskipun ada perbedaan detail dengan sumber lain atau kontroversi interpretasi, keindahan dan kekuatan narasi Pararaton terletak pada kemampuannya untuk mengabadikan semangat zaman, emosi para tokoh yang kompleks, dan nilai-nilai yang membentuk masyarakat pada masanya. Ia adalah sebuah jendela ke masa lalu yang menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana kekuasaan dicari dengan berbagai cara, dipertahankan dengan segala upaya, dan pada akhirnya hilang, meninggalkan warisan yang abadi bagi generasi setelahnya untuk dipelajari dan direnungkan. Setiap kisahnya adalah mosaik yang membentuk gambaran besar sejarah Jawa.