TRITURA: Gema Tiga Tuntutan Rakyat yang Mengubah Sejarah

Ilustrasi Tiga Pilar Tuntutan Rakyat Sebuah gambar SVG yang melambangkan tiga pilar Tritura sebagai fondasi perubahan.

Dalam lipatan sejarah sebuah bangsa, terkadang muncul momen-momen krusial yang definisinya terangkum dalam satu kata atau akronim. Kata itu bukan sekadar rangkaian huruf, melainkan representasi dari denyut nadi masyarakat, puncak dari keresahan kolektif, dan awal dari sebuah perubahan fundamental. Salah satu akronim paling monumental dalam perjalanan bangsa Indonesia adalah Tritura, singkatan dari Tiga Tuntutan Rakyat. Jauh melampaui definisinya yang sederhana, Tritura adalah manifestasi dari keberanian, idealisme, dan kekuatan gelombang gerakan sosial yang dimotori oleh kaum muda terpelajar.

Tritura bukanlah sebuah peristiwa yang muncul dari ruang hampa. Ia adalah muara dari berbagai aliran masalah yang telah lama menggenang: krisis ekonomi yang mencekik, ketidakstabilan politik yang membingungkan, serta kegelisahan sosial yang meluas pasca sebuah peristiwa besar yang mengguncang sendi-sendi kebangsaan. Suara-suara yang pada awalnya terdengar lirih dari kampus-kampus, kemudian menyatu menjadi paduan suara raksasa di jalanan, menuntut perubahan yang esensial demi kelangsungan hidup bangsa. Tiga tuntutan yang diusung menjadi cerminan dari akar permasalahan yang dirasakan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat pada masa itu.

Konteks Sejarah: Bara dalam Sekam Politik dan Ekonomi

Untuk memahami kekuatan di balik Tritura, kita perlu menyelami kondisi bangsa pada pertengahan dekade enam puluhan. Saat itu, negara berada dalam sebuah fase politik yang penuh gejolak. Kekuasaan terpusat sangat kuat, diwarnai oleh pertarungan ideologi yang tajam antara berbagai faksi politik. Situasi ini menciptakan ketidakpastian yang merambat hingga ke sendi kehidupan masyarakat paling bawah. Konstelasi politik yang rumit ini membuat pemerintah seolah lebih sibuk mengurus manuver-manuver politik tingkat tinggi daripada mengatasi persoalan perut rakyat.

Di sisi ekonomi, kondisinya jauh lebih parah. Hiperinflasi menjadi monster yang melahap nilai mata uang. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tak terkendali dari hari ke hari. Gaji seorang pegawai negeri atau buruh bisa jadi tak ada artinya lagi keesokan harinya. Gambaran antrean panjang untuk mendapatkan beras, minyak, atau gula menjadi pemandangan sehari-hari. Rakyat menjerit dalam diam, terhimpit oleh beban ekonomi yang terasa mustahil untuk ditanggung. Kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi terkikis habis. Kesenjangan antara retorika politik yang berapi-api dengan kenyataan pahit di dapur rakyat semakin melebar.

Puncak dari akumulasi ketegangan ini adalah sebuah peristiwa berdarah di akhir September yang dikenal sebagai Gerakan 30 September. Peristiwa ini tidak hanya memakan korban jiwa dari kalangan petinggi militer, tetapi juga menciptakan guncangan politik dahsyat. Kepercayaan publik terhadap rezim yang berkuasa runtuh. Muncul kekosongan kepemimpinan dan ketidakjelasan arah bangsa. Dalam suasana yang penuh ketakutan dan kebingungan inilah, elemen masyarakat yang selama ini relatif diam mulai bergerak. Mahasiswa dan pelajar, yang dianggap sebagai kelompok intelektual dengan idealisme murni, merasa terpanggil untuk menyuarakan hati nurani rakyat. Mereka melihat bahwa jika tidak ada yang bertindak, bangsa ini akan terjerumus ke dalam jurang kehancuran yang lebih dalam.

Membedah Tiga Tuntutan: Suara Hati Nurani Bangsa

Tritura bukanlah sekadar slogan kosong. Setiap tuntutannya memiliki dasar, logika, dan urgensi yang kuat, mencerminkan analisis tajam para aktivis muda terhadap akar permasalahan bangsa. Ketiga tuntutan ini saling berkaitan, membentuk sebuah platform reformasi yang komprehensif.

Tuntutan Pertama: Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)

Tuntutan ini menjadi yang paling keras dan paling emosional. Pasca-insiden Gerakan 30 September, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi afiliasinya dituding sebagai dalang utama di balik peristiwa tersebut. Sentimen anti-komunis yang sebelumnya sudah ada, meledak menjadi kemarahan publik yang meluas. Bagi para demonstran, eksistensi PKI dianggap sebagai sumber utama instabilitas politik dan ancaman laten terhadap ideologi negara. Mereka berpandangan bahwa selama partai ini masih eksis secara legal, potensi konflik horizontal dan kekacauan politik akan terus ada.

Pembubaran yang dituntut bukan hanya sekadar pelarangan partai secara formal. Tuntutan ini meluas pada pembubaran seluruh organisasi massa yang bernaung di bawahnya. Logika di baliknya adalah untuk membersihkan seluruh elemen yang dianggap bertanggung jawab atas krisis nasional hingga ke akarnya. Tuntutan ini memiliki dimensi politis yang sangat kuat, karena secara langsung menantang salah satu pilar kekuatan politik rezim saat itu. Dengan menyuarakan tuntutan ini, gerakan mahasiswa menempatkan diri mereka dalam posisi berhadapan langsung dengan kekuasaan yang ada.

Tuntutan Kedua: Rombak Kabinet Dwikora dari Unsur-Unsur G30S/PKI

Tuntutan kedua ini merupakan kelanjutan logis dari tuntutan pertama, namun dengan fokus pada struktur pemerintahan. Kabinet Dwikora, yang saat itu menjabat, dianggap oleh para demonstran telah gagal total dalam menjalankan fungsinya. Lebih dari itu, kabinet ini juga dituding telah disusupi oleh individu-individu yang bersimpati atau bahkan terlibat dengan gerakan yang dituding mendalangi insiden berdarah akhir September. Kepercayaan publik terhadap para menteri berada di titik nol.

Kata "rombak" atau "retul" menyiratkan sebuah permintaan untuk pembersihan total. Gerakan mahasiswa menginginkan sebuah kabinet yang diisi oleh figur-figur yang bersih, kompeten, dan memiliki integritas. Mereka mendambakan pemerintahan yang mampu bekerja secara profesional untuk mengatasi krisis ekonomi, bukan kabinet yang sibuk berpolitik dan melayani kepentingan kelompok tertentu. Tuntutan ini adalah sebuah mosi tidak percaya terhadap seluruh jajaran eksekutif. Ini adalah seruan agar pemerintah diisi oleh teknokrat dan tokoh-tokoh yang benar-benar bisa bekerja, bukan sekadar simbol politik. Permintaan ini menyentuh langsung jantung kekuasaan dan menuntut adanya akuntabilitas dari para pemimpin.

Tuntutan Ketiga: Turunkan Harga / Perbaikan Ekonomi

Jika dua tuntutan pertama bersifat sangat politis, tuntutan ketiga adalah jembatan yang menghubungkan gerakan intelektual mahasiswa dengan penderitaan nyata rakyat jelata. Tuntutan "turunkan harga" adalah bahasa yang paling mudah dipahami oleh semua orang, dari tukang becak, petani, hingga ibu rumah tangga. Ini adalah teriakan kolektif melawan himpitan ekonomi yang sudah tak tertahankan. Hiperinflasi telah membuat daya beli masyarakat hancur lebur. Harga beras, sebagai contoh, bisa naik beberapa kali lipat dalam hitungan minggu.

"Bagi kami, perjuangan di jalanan bukan hanya soal ideologi, tapi soal periuk nasi jutaan rakyat yang kosong. Saat harga tak terkendali, saat itulah negara telah gagal."

Tuntutan ini memberikan legitimasi moral yang luar biasa bagi gerakan mahasiswa. Mereka tidak lagi dilihat sebagai sekelompok elit yang memperjuangkan isu-isu abstrak, melainkan sebagai penyambung lidah rakyat. Setiap kali mereka turun ke jalan meneriakkan "turunkan harga", mereka membawa serta aspirasi dari jutaan keluarga yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Tuntutan ini adalah bukti bahwa gerakan Tritura berakar kuat pada realitas sosial dan ekonomi masyarakat, menjadikannya sebuah gerakan rakyat yang sejati. Ini adalah fondasi yang membuat gerakan ini begitu masif dan mendapat dukungan luas.

Gerakan Jalanan: Parlemen Baru Milik Rakyat

Menghadapi pemerintahan yang dianggap tuli terhadap aspirasi, para mahasiswa dan pelajar memindahkan arena perjuangan mereka dari ruang-ruang diskusi ke jalan raya. Jalanan ibu kota dan kota-kota besar lainnya berubah menjadi "parlemen jalanan". Di sinilah suara rakyat yang sesungguhnya didengungkan dengan lantang, tanpa filter birokrasi. Demonstrasi, rapat akbar, dan long march menjadi pemandangan sehari-hari. Spanduk dan poster dengan tulisan-tulisan tangan yang berisi kritik pedas dan tuntutan jelas bertebaran di mana-mana.

Motor penggerak utama dari gelombang aksi ini adalah berbagai kesatuan aksi yang terbentuk secara spontan. Yang paling terkenal adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang kemudian disusul oleh Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), serta kesatuan-kesatuan aksi lainnya dari berbagai elemen masyarakat seperti buruh (KABI), sarjana (KASI), dan wanita (KAWI). Solidaritas antar-elemen gerakan ini menjadi kekuatan yang luar biasa. Mereka berbagi sumber daya, mengoordinasikan aksi, dan saling melindungi. Energi kolektif ini menciptakan sebuah tekanan politik yang tidak bisa lagi diabaikan oleh istana.

Namun, perjuangan ini tidaklah tanpa risiko. Para aktivis harus berhadapan dengan aparat keamanan yang represif. Bentrokan fisik seringkali tak terhindarkan. Banyak dari mereka yang ditangkap, diintimidasi, bahkan menjadi korban kekerasan. Puncak dari pengorbanan ini adalah gugurnya seorang mahasiswa bernama Arief Rachman Hakim, yang tertembak saat melakukan aksi di depan istana. Kematiannya tidak memadamkan api perjuangan, sebaliknya, justru menyulutnya menjadi lebih besar. Ia diangkat menjadi "Pahlawan Ampera" (Amanat Penderitaan Rakyat), dan kematiannya menjadi simbol dari harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah perubahan. Peristiwa tragis ini semakin membulatkan tekad para mahasiswa bahwa perjuangan mereka harus berhasil, apa pun taruhannya.

Dampak dan Warisan Abadi Tritura

Tekanan yang terus-menerus dari gerakan massa yang dimotori oleh mahasiswa akhirnya mencapai puncaknya. Gelombang demonstrasi yang tak kunjung surut membuat situasi politik negara menjadi semakin tidak menentu. Dalam kondisi yang genting ini, sebuah surat perintah dikeluarkan pada bulan Maret, yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Surat ini memberikan mandat kepada seorang jenderal tinggi angkatan darat untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna memulihkan keamanan dan ketertiban. Momen ini secara de facto menjadi titik balik perpindahan kekuasaan.

Dengan mandat tersebut, langkah-langkah strategis untuk memenuhi tuntutan Tritura mulai diambil. PKI beserta organisasi-organisasi massanya secara resmi dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Kabinet Dwikora pun dirombak secara besar-besaran, dengan menyingkirkan menteri-menteri yang dianggap bermasalah dan menggantinya dengan figur-figur baru yang lebih dipercaya. Secara bertahap, kebijakan ekonomi baru juga mulai dirancang untuk menstabilkan harga dan mengendalikan inflasi. Era yang dikenal sebagai Orde Lama berakhir, dan sebuah babak baru yang disebut Orde Baru dimulai.

Warisan Tritura jauh melampaui pencapaian tiga tuntutannya. Peristiwa ini mengukuhkan posisi mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) dan kekuatan moral (moral force) dalam panggung politik Indonesia. Peran ini akan terus mereka mainkan dalam dekade-dekade berikutnya, termasuk dalam gerakan reformasi besar beberapa dekade kemudian. Tritura menjadi cetak biru bagi gerakan-gerakan protes di masa depan, sebuah referensi sejarah tentang bagaimana kekuatan rakyat yang terorganisir mampu menantang dan meruntuhkan kekuasaan yang mapan.

Generasi aktivis yang terlibat dalam gerakan Tritura, yang kemudian dikenal sebagai Angkatan ‘66, banyak yang menjadi tokoh-tokoh penting di kemudian hari, baik di pemerintahan, dunia usaha, maupun masyarakat sipil. Pengalaman mereka di "parlemen jalanan" membentuk karakter dan pandangan mereka tentang politik dan kebangsaan. Namun, sejarah juga mencatat adanya perdebatan kritis mengenai warisan Tritura. Sebagian pihak berpendapat bahwa semangat reformasi yang diusung oleh Tritura pada akhirnya dibajak oleh rezim baru yang kemudian berkuasa selama puluhan tahun dengan corak yang otoriter. Idealisme awal untuk menciptakan tatanan yang lebih demokratis dan adil seolah tidak sepenuhnya terwujud.

Refleksi: Relevansi Semangat Tritura di Masa Kini

Meskipun konteks zaman telah berubah drastis, semangat yang terkandung dalam Tiga Tuntutan Rakyat tetap relevan hingga hari ini. Tuntutan untuk memiliki pemerintahan yang bersih dari elemen-elemen yang merusak, tuntutan untuk adanya kabinet yang diisi oleh orang-orang kompeten dan berintegritas, serta tuntutan untuk kebijakan ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat, adalah isu-isu abadi dalam kehidupan berbangsa.

Gema Tritura mengingatkan kita tentang pentingnya keberanian untuk bersuara ketika negara berjalan ke arah yang salah. Ia adalah pelajaran berharga tentang kekuatan solidaritas dan pentingnya peran kaum muda terpelajar sebagai penjaga akal sehat dan hati nurani bangsa. Di era modern di mana perjuangan mungkin tidak lagi dilakukan melalui long march di jalanan, melainkan melalui diskursus di media digital dan gerakan sosial kreatif, esensi Tritura tetap sama: sebuah panggilan untuk memastikan bahwa pemerintah bekerja untuk rakyat, bukan sebaliknya. Semangat untuk mengawasi kekuasaan, menuntut akuntabilitas, dan memperjuangkan keadilan sosial adalah warisan terpenting dari Tritura yang harus terus dijaga dan dihidupkan oleh setiap generasi.