Ketika hubungan kerja berakhir, baik karena pengunduran diri, pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan, atau karena sebab-sebab lain, salah satu hal krusial yang perlu dipahami oleh pekerja adalah hak atas uang pesangon. Uang pesangon bukan sekadar uang "perpisahan", melainkan bentuk kompensasi atas masa kerja dan dedikasi seorang karyawan kepada perusahaan. Memahami seluk-beluk uang pesangon—mulai dari dasar hukum, siapa yang berhak, bagaimana perhitungannya, hingga bagaimana mengelolanya dengan bijak—adalah kunci untuk memastikan hak-hak Anda terpenuhi dan mempersiapkan masa depan finansial yang lebih stabil. Artikel ini akan mengupas tuntas semua aspek penting mengenai uang pesangon di Indonesia, termasuk perubahan-perubahan regulasi terbaru yang berlaku.
Uang pesangon adalah pembayaran yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja (PHK). Ini adalah salah satu bentuk kompensasi atas pengabdian dan kontribusi pekerja selama masa kerjanya di perusahaan. Konsep ini bertujuan untuk memberikan jaring pengaman finansial bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan, membantu mereka menghadapi masa transisi sebelum mendapatkan pekerjaan baru atau memulai usaha mandiri.
Penting untuk diingat bahwa uang pesangon berbeda dengan upah atau gaji yang diterima secara rutin. Uang pesangon hanya diberikan satu kali ketika hubungan kerja berakhir dan besarannya dihitung berdasarkan masa kerja serta alasan pemutusan hubungan kerja tersebut. Selain uang pesangon, pekerja juga bisa berhak atas komponen lain seperti Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dan Uang Penggantian Hak (UPH), yang akan kita bahas lebih lanjut.
Pengaturan mengenai uang pesangon di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan signifikan, terutama dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan peraturan pelaksanaannya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35).
Sebelum adanya UU Cipta Kerja, dasar hukum utama yang mengatur pesangon adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Dalam UU ini, formula perhitungan pesangon cenderung lebih besar untuk beberapa jenis PHK dibandingkan dengan regulasi terbaru.
UU Ketenagakerjaan mengatur secara rinci jenis-jenis PHK dan berapa kali ketentuan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang harus dibayarkan. Misalnya, PHK karena efisiensi bisa mendapatkan 2 kali ketentuan uang pesangon.
UU Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan kunci dalam UU Ketenagakerjaan, termasuk skema perhitungan pesangon. Tujuan utama perubahan ini adalah untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dengan mengurangi beban biaya PHK bagi perusahaan, sekaligus tetap memastikan hak-hak dasar pekerja terpenuhi.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun adalah turunan dari UU Cipta Kerja yang secara spesifik mengatur detail mengenai perhitungan pesangon. Perubahan mendasar yang paling terasa adalah penyesuaian faktor pengali untuk Uang Pesangon (UP) dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) untuk berbagai alasan PHK. Hampir semua jenis PHK kini mendapatkan 0,5 kali atau 1 kali ketentuan uang pesangon, tidak lagi ada yang 2 kali ketentuan.
Tidak semua jenis pemutusan hubungan kerja atau pengakhiran hubungan kerja otomatis memberikan hak atas uang pesangon. Hak ini sangat tergantung pada penyebab PHK dan jenis perjanjian kerja. Berikut adalah beberapa skenario umum:
Pekerja dengan status karyawan tetap (PKWTT) adalah kelompok yang paling sering berhak atas uang pesangon, UPMK, dan UPH jika mengalami PHK, selama alasan PHK tersebut sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Pekerja dengan status karyawan kontrak (PKWT) pada umumnya tidak berhak atas uang pesangon jika kontrak berakhir sesuai jangka waktunya. Namun, ada pengecualian:
Hak atas uang pesangon timbul dari berbagai alasan PHK yang diatur dalam undang-undang, antara lain:
Beberapa kondisi tidak memberikan hak atas uang pesangon, meskipun hubungan kerja berakhir:
Dalam perhitungan uang pesangon, terdapat tiga komponen utama yang bisa diterima oleh pekerja, tergantung pada alasan PHK:
Besaran Uang Pesangon (UP) dihitung berdasarkan masa kerja pekerja, dengan ketentuan sebagai berikut:
| Masa Kerja | Besaran Uang Pesangon (dalam bulan upah) |
|---|---|
| Kurang dari 1 tahun | 1 bulan upah |
| 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun | 2 bulan upah |
| 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun | 3 bulan upah |
| 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun | 4 bulan upah |
| 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun | 5 bulan upah |
| 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun | 6 bulan upah |
| 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun | 7 bulan upah |
| 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun | 8 bulan upah |
| 8 tahun atau lebih | 9 bulan upah |
Ketentuan ini adalah dasar perhitungan. Untuk alasan PHK tertentu, jumlah ini akan dikalikan dengan faktor pengali yang diatur dalam PP 35.
Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) diberikan kepada pekerja yang memiliki masa kerja lebih panjang, sebagai bentuk apresiasi. Besaran UPMK dihitung berdasarkan masa kerja sebagai berikut:
| Masa Kerja | Besaran UPMK (dalam bulan upah) |
|---|---|
| 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun | 2 bulan upah |
| 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun | 3 bulan upah |
| 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun | 4 bulan upah |
| 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun | 5 bulan upah |
| 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun | 6 bulan upah |
| 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun | 7 bulan upah |
| 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun | 8 bulan upah |
| 24 tahun atau lebih | 10 bulan upah |
Uang Penggantian Hak (UPH) adalah hak-hak lain yang seharusnya diterima pekerja tetapi belum diambil atau dibayarkan. Komponen UPH biasanya meliputi:
Upah yang dijadikan dasar perhitungan pesangon adalah upah pokok ditambah tunjangan tetap. Tunjangan tidak tetap (misalnya tunjangan transportasi atau makan yang dihitung berdasarkan kehadiran) tidak termasuk dalam komponen upah untuk perhitungan pesangon.
Jika upah dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah sebulan dihitung dari rata-rata 12 bulan terakhir. Jika masa kerja kurang dari 12 bulan, maka rata-rata upah selama masa kerja tersebut.
Mari kita lihat beberapa contoh perhitungan berdasarkan berbagai skenario PHK, dengan asumsi upah pokok + tunjangan tetap = Rp 5.000.000 per bulan.
Skenario: Pekerja A mengundurkan diri dengan baik-baik setelah masa kerja 6 tahun 3 bulan.
Perhitungan:
Total yang diterima: Rp 1.200.000 (hanya UPH)
Skenario: Pekerja B di-PHK karena perusahaan tutup akibat merugi setelah masa kerja 7 tahun 8 bulan.
Perhitungan:
Total yang diterima: Rp 40.000.000 (UP) + Rp 15.000.000 (UPMK) + Rp 2.400.000 (UPH Cuti) + Rp 8.250.000 (UPH Lain) = Rp 65.650.000
Skenario: Pekerja C di-PHK karena memasuki usia pensiun setelah masa kerja 15 tahun 1 bulan.
Perhitungan:
Total yang diterima: Rp 45.000.000 (UP) + Rp 30.000.000 (UPMK) + Rp 2.400.000 (UPH Cuti) + Rp 11.250.000 (UPH Lain) = Rp 88.650.000
Skenario: Pekerja D di-PHK karena sakit berkepanjangan (lebih dari 12 bulan) dan tidak dapat bekerja setelah masa kerja 4 tahun 6 bulan.
Perhitungan:
Total yang diterima: Rp 50.000.000 (UP) + Rp 10.000.000 (UPMK) + Rp 2.000.000 (UPH Cuti) + Rp 9.000.000 (UPH Lain) = Rp 71.000.000
Sayangnya, tidak jarang terjadi kasus di mana perusahaan enggan atau menunda pembayaran uang pesangon yang menjadi hak pekerja. Jika Anda menghadapi situasi ini, ada beberapa langkah hukum yang bisa Anda tempuh:
Langkah pertama adalah melakukan perundingan secara bipartit, yaitu antara pekerja atau serikat pekerja dengan pihak perusahaan. Cobalah untuk mencapai kesepakatan secara kekeluargaan. Perundingan ini wajib dilakukan dan harus dicatat dalam risalah perundingan.
Jika perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan, Anda bisa mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan ke Dinas Tenaga Kerja setempat. Dinas Tenaga Kerja akan menunjuk seorang mediator atau konsiliator untuk membantu menyelesaikan perselisihan secara tripartit (melibatkan pihak ketiga).
Jika mediasi atau konsiliasi tidak berhasil mencapai kesepakatan, salah satu pihak (pekerja atau perusahaan) dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang berada di lingkungan Pengadilan Negeri. Ini adalah jalur hukum terakhir untuk mendapatkan keputusan yang mengikat secara hukum.
Proses di PHI bisa memakan waktu dan biaya, oleh karena itu, penting untuk mempersiapkan bukti-bukti yang kuat, seperti surat perjanjian kerja, slip gaji, surat peringatan (jika ada), surat PHK, dan risalah perundingan bipartit/mediasi.
Jika Anda adalah anggota serikat pekerja/buruh, manfaatkan keberadaan serikat Anda. Serikat pekerja memiliki peran penting dalam membela hak-hak anggotanya dan dapat memberikan advokasi serta pendampingan hukum selama proses penyelesaian perselisihan.
Menerima uang pesangon, terutama dalam jumlah besar, bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ini adalah modal untuk memulai fase baru dalam hidup. Di sisi lain, tanpa pengelolaan yang tepat, uang tersebut bisa habis dengan cepat. Berikut adalah panduan untuk mengelola uang pesangon Anda dengan bijak:
Sebelum melakukan hal lain, pastikan Anda memiliki dana darurat yang cukup untuk menutupi biaya hidup Anda dan keluarga selama minimal 6-12 bulan ke depan. Ini sangat penting karena Anda mungkin akan membutuhkan waktu untuk mendapatkan pekerjaan baru atau membangun bisnis.
Setelah dana darurat terpenuhi, pikirkan langkah selanjutnya:
Terima uang pesangon seringkali datang bersamaan dengan emosi yang campur aduk—lega, cemas, atau bahkan euforia. Hindari membuat keputusan finansial besar secara impulsif seperti membeli barang mewah, berlibur mahal, atau mengambil investasi berisiko tinggi tanpa analisis. Beri diri Anda waktu untuk berpikir jernih dan mencari saran dari ahli keuangan.
Disiplin dalam mengelola keuangan sangat penting saat Anda berada di antara pekerjaan. Buat anggaran bulanan yang ketat dan lacak setiap pengeluaran. Ini akan membantu Anda mengontrol dana dan memastikan uang pesangon bertahan lebih lama.
Uang pesangon yang diterima oleh pekerja juga memiliki implikasi pajak penghasilan (PPh Pasal 21). Pemerintah telah mengatur tarif PPh 21 atas uang pesangon, uang tebusan pensiun, dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/PMK.03/2010, tarif PPh 21 final atas uang pesangon yang dibayarkan sekaligus adalah sebagai berikut:
| Penghasilan Bruto (dibayarkan sekaligus) | Tarif PPh 21 Final |
|---|---|
| Rp 0 s.d. Rp 50.000.000 | 0% |
| Di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 100.000.000 | 5% |
| Di atas Rp 100.000.000 s.d. Rp 500.000.000 | 15% |
| Di atas Rp 500.000.000 | 25% |
Pajak ini bersifat final, artinya setelah pajak dipotong, penghasilan tersebut tidak digabungkan lagi dengan penghasilan lain untuk perhitungan PPh tahunan Anda.
Misalkan total uang pesangon yang diterima adalah Rp 150.000.000.
Total PPh 21 yang dipotong: Rp 0 + Rp 2.500.000 + Rp 7.500.000 = Rp 10.000.000.
Perusahaan wajib memotong PPh 21 ini sebelum membayarkan uang pesangon kepada Anda.
Banyak informasi yang salah atau belum diperbarui mengenai uang pesangon yang beredar di masyarakat. Berikut adalah beberapa mitos dan kesalahpahaman umum:
Fakta: Seperti yang dijelaskan sebelumnya, besaran pesangon sangat tergantung pada alasan PHK. Beberapa jenis PHK mendapatkan 1 kali ketentuan UP, sebagian 0,5 kali, dan ada pula yang tidak mendapatkan UP sama sekali (hanya UPH atau pisah). Bahkan, PHK karena kesalahan berat yang terbukti secara hukum tidak memberikan hak atas UP dan UPMK.
Fakta: Uang pisah adalah kompensasi yang bisa diberikan kepada pekerja yang mengundurkan diri, namun besarannya tidak diatur secara baku oleh undang-undang. Uang pisah ini sepenuhnya tergantung pada ketentuan yang ada dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Jika tidak diatur, perusahaan tidak wajib memberikannya. Pekerja yang mengundurkan diri hanya wajib mendapatkan UPH sesuai UU.
Fakta: Uang pesangon adalah jaring pengaman finansial sementara untuk membantu pekerja di masa transisi. Jumlahnya terbatas dan bisa cepat habis jika tidak dikelola dengan bijak. Ini bukan pengganti pendapatan jangka panjang dan harus digunakan secara strategis untuk mencari pekerjaan baru, memulai usaha, atau berinvestasi.
Fakta: Besarannya diatur oleh undang-undang (UU Cipta Kerja dan PP 35). Perusahaan wajib mengikuti ketentuan tersebut. Meskipun Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau PKB bisa mengatur ketentuan yang lebih baik dari undang-undang, tidak boleh mengatur yang lebih rendah.
Fakta: Jika kontrak berakhir sesuai waktunya, pekerja kontrak memang tidak mendapatkan uang pesangon atau UPMK. Namun, mereka berhak atas uang kompensasi PKWT yang diatur dalam PP 35, serta UPH jika ada cuti yang belum diambil atau hak-hak lain yang diatur dalam perjanjian. Jika kontrak diakhiri sebelum waktunya oleh perusahaan, pekerja kontrak berhak atas ganti rugi sebesar upah hingga batas waktu berakhirnya kontrak.
Uang pesangon adalah hak fundamental pekerja yang diatur oleh undang-undang. Memahami secara mendalam tentang hak ini, mulai dari dasar hukum, komponen perhitungan, hingga cara mengelolanya, adalah esensial bagi setiap individu yang terlibat dalam hubungan kerja. Perubahan regulasi melalui UU Cipta Kerja dan PP 35 membawa penyesuaian yang perlu dicermati, dan baik pekerja maupun pengusaha memiliki tanggung jawab untuk mematuhi ketentuan yang berlaku.
Bagi pekerja, uang pesangon dapat menjadi jembatan menuju masa depan yang baru, baik itu melalui pekerjaan lain, memulai usaha, atau investasi. Pengelolaan yang bijak dan perencanaan keuangan yang matang adalah kunci untuk memaksimalkan manfaat dari uang pesangon yang diterima. Jangan biarkan uang ini habis begitu saja tanpa arah yang jelas.
Bagi pengusaha, membayar uang pesangon sesuai ketentuan adalah bagian dari kewajiban hukum dan etika bisnis. Memastikan proses PHK berjalan sesuai prosedur dan hak-hak pekerja terpenuhi adalah investasi dalam reputasi perusahaan dan menjaga hubungan industrial yang harmonis. Dengan pemahaman yang komprehensif ini, diharapkan baik pekerja maupun pengusaha dapat menghadapi setiap akhir hubungan kerja dengan solusi yang adil dan saling menguntungkan.