Pendahuluan: Menguak Jejak Untal
Dalam khazanah kebudayaan Jawa, sistem pengukuran tanah tidak hanya sekadar angka atau deretan satuan modern seperti hektar atau meter persegi. Lebih dari itu, ia adalah cerminan dari filosofi hidup, struktur sosial, dan hubungan mendalam antara manusia dengan alam dan leluhur. Salah satu satuan yang memegang peranan krusial dalam sejarah pengukuran tanah tradisional Jawa adalah Untal. Kata ini mungkin terdengar asing bagi sebagian generasi kini, namun bagi masyarakat Jawa di masa lalu, terutama di pedesaan, Untal adalah satuan yang sangat akrab dan memiliki relevansi tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
Untal bukan hanya sekadar ukuran luas. Ia adalah penanda kepemilikan, dasar perhitungan pajak, penentu status sosial, bahkan acuan dalam upacara adat dan pewarisan. Keberadaannya mengakar kuat dalam sistem agraria kerajaan-kerajaan Jawa kuno hingga masa kolonial, dan jejaknya masih dapat ditemukan dalam beberapa komunitas adat hingga saat ini. Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam makna, sejarah, perhitungan, serta relevansi Untal dalam konteks budaya dan modernisasi.
Memahami Untal berarti memahami sebagian dari jiwa masyarakat Jawa. Ia membuka jendela ke masa lalu, mengungkapkan bagaimana nenek moyang kita mengatur sumber daya paling fundamental—tanah—dengan kearifan lokal yang mendalam. Dari perkebunan hingga sawah, dari pekarangan rumah hingga tanah persembahan, Untal selalu hadir sebagai bahasa universal dalam transaksi dan manajemen agraria tradisional. Mari kita jelajahi dimensi-dimensi Untal, sebuah warisan tak benda yang kaya akan makna dan sejarah.
Akar Sejarah dan Konteks Sosiokultural Untal
Asal-usul dan Perkembangan di Era Kerajaan
Untal, seperti banyak sistem pengukuran tradisional lainnya, tidak muncul begitu saja. Ia adalah hasil evolusi panjang dari kebutuhan masyarakat agraria Jawa untuk mengelola lahan mereka secara efektif. Asal-usulnya dapat ditelusuri kembali ke masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, seperti Mataram Kuno, Kediri, Singasari, hingga Majapahit. Pada masa itu, tanah adalah sumber daya utama dan fondasi ekonomi kerajaan, sekaligus penentu status sosial dan politik.
Dokumen-dokumen kuno, seperti prasasti dan naskah-naskah lontar, meskipun jarang secara eksplisit menyebut "Untal" dengan nama tersebut, seringkali mencatat sistem pengukuran yang berjenjang dan berbasis pada panjang jangkauan tangan, langkah kaki, atau alat sederhana lainnya. Satuan-satuan seperti "tumbak" (panjang) atau "bau" (luas) sudah dikenal jauh sebelum istilah Untal menjadi lebih populer di era pasca-Majapahit dan kerajaan Mataram Islam. Untal kemungkinan besar berkembang sebagai konsolidasi dari satuan-satuan yang lebih kecil ini, menjadi unit yang lebih besar dan praktis untuk mengukur lahan pertanian yang luas.
Sistem ini tidak hanya tentang matematika, tetapi juga tentang hierarki. Tanah-tanah yang luas biasanya dimiliki oleh bangsawan, pejabat kerajaan, atau diberikan sebagai anugerah (apanage) kepada mereka yang berjasa. Petani penggarap atau kawula (rakyat biasa) akan memiliki lahan yang lebih kecil, yang diukur dengan satuan yang lebih sederhana. Untal, sebagai unit yang cukup besar, seringkali berkaitan dengan lahan-lahan penting yang dikelola secara komunal atau dimiliki oleh keluarga besar dan priyayi.
Pengaruh Kolonial dan Transformasi Sistem Agraria
Masa kolonial Belanda membawa perubahan signifikan dalam sistem agraria Jawa. Pemerintah kolonial, yang awalnya tertarik pada pengelolaan tanah untuk kepentingan perkebunan dan pajak, mulai mendokumentasikan dan standarisasi sistem pengukuran yang ada. Meskipun Belanda memperkenalkan sistem metrik (meter, hektar), mereka juga tetap menggunakan dan mencatat satuan-satuan lokal seperti Untal, Bau, dan Tumbak karena sudah begitu melekat dalam praktik masyarakat.
Pada periode ini, Untal seringkali dikonversikan ke dalam satuan metrik oleh pemerintah kolonial untuk keperluan sensus tanah, pajak bumi, dan registrasi kepemilikan. Konversi ini tidak selalu seragam dan seringkali bervariasi antar daerah, menciptakan kompleksitas yang masih terasa hingga kini. Namun, upaya standardisasi ini justru menegaskan eksistensi dan pentingnya Untal sebagai satuan yang diakui, bahkan oleh otoritas asing.
Pengaruh kolonial juga memperkenalkan konsep kepemilikan tanah yang lebih individualistis, yang sedikit bergeser dari sistem komunal atau kepemilikan raja. Meski demikian, di tingkat desa, transaksi dan pemahaman tentang luas tanah masih sangat bergantung pada satuan tradisional. Ini menunjukkan resiliensi dan adaptabilitas budaya Jawa dalam menghadapi perubahan eksternal, di mana Untal tetap bertahan sebagai bahasa pengukuran yang relevan di akar rumput.
Pada intinya, akar sejarah Untal tidak terlepas dari perjalanan panjang peradaban Jawa, dari struktur feodal kerajaan hingga intervensi kolonial. Ia adalah saksi bisu dari bagaimana masyarakat Jawa berinteraksi dengan lahan, membentuk identitas mereka melalui tanah yang mereka garap dan warisi.
Definisi, Perhitungan, dan Relasi Antar Satuan Untal
Apa Itu Untal?
Secara harfiah, "Untal" adalah satuan luas tanah tradisional di beberapa wilayah di Jawa, meskipun paling sering dikaitkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, definisi spesifiknya bisa sedikit bervariasi tergantung daerah. Intinya, Untal adalah satuan luas yang lebih besar, biasanya digunakan untuk lahan pertanian yang cukup luas seperti sawah atau tegalan.
Untuk memahami Untal, kita perlu melihatnya dalam konteks satuan-satuan lain yang lebih kecil dan menjadi dasar pembentukannya:
- Ru (Ruyung / Tumbak): Ini adalah satuan dasar panjang yang kemudian menjadi dasar satuan luas. Satu Ru biasanya setara dengan panjang tiang bambu atau kayu yang digunakan untuk mengukur, atau sekitar 3,75 meter hingga 7,5 meter, tergantung daerah. Dalam banyak konteks, 1 Ru sering diartikan sebagai 1 "tumbak", yang juga merujuk pada panjang tertentu. Jika 1 Ru adalah panjang, maka 1 Ru persegi (1 Ru x 1 Ru) menjadi satuan luas yang paling kecil. Umumnya, 1 Ru persegi dianggap sekitar 14,0625 m² (jika 1 Ru = 3,75m) atau hingga 56,25 m² (jika 1 Ru = 7,5m). Untuk penyederhanaan dan konteks umum di Jawa, sering diasumsikan 1 Ru = 3,75 meter. Jadi 1 Ru persegi = 14,0625 m².
- Bau: Satuan luas yang lebih besar dari Ru. Secara umum, 1 Bau setara dengan 500 Ru persegi. Mengacu pada asumsi 1 Ru = 3,75m, maka 1 Bau = 500 x 14,0625 m² = 7031,25 m² atau sekitar 0,7 hektar. Angka ini sering dibulatkan menjadi 7000 m² atau 70 are.
- Untal: Inilah inti pembahasan kita. Dalam banyak literatur dan praktik tradisional, 1 Untal setara dengan 4 Bau.
Perhitungan dan Konversi ke Satuan Modern
Jika 1 Untal = 4 Bau, dan 1 Bau = 500 Ru persegi, maka:
- 1 Untal = 4 Bau
- 1 Untal = 4 x 500 Ru persegi = 2000 Ru persegi
- Menggunakan konversi umum 1 Ru persegi = 14,0625 m² (dari 1 Ru = 3,75 meter), maka:
- 1 Untal = 2000 x 14,0625 m² = 28.125 m²
Jadi, secara kasar, 1 Untal setara dengan sekitar 2,8 hektar. Penting untuk diingat bahwa angka ini adalah perkiraan umum dan bisa bervariasi. Faktor-faktor seperti adat lokal, jenis tanah, dan bahkan kualitas alat ukur tradisional dapat mempengaruhi nilai pasti dari satu Ru atau satu Bau di daerah yang berbeda.
Variasi ini menjadi salah satu tantangan terbesar dalam membandingkan data historis dengan data modern, serta dalam proses sertifikasi tanah di era kontemporer. Meskipun demikian, angka 2,8 hektar (atau sekitar 28.000 m²) memberikan gambaran yang jelas mengenai skala "Untal" sebagai satuan luas yang cukup signifikan.
Variasi Regional dan Konteks Lain
Seperti disebutkan sebelumnya, nilai pasti dari Ru, Bau, dan Untal bisa bervariasi antar daerah. Di beberapa tempat, 1 Ru mungkin disebut "pathok" atau "iring" dengan panjang yang sedikit berbeda. Demikian pula, jumlah Ru dalam 1 Bau, atau Bau dalam 1 Untal, terkadang memiliki sedikit perbedaan adat.
Misalnya, di daerah tertentu di pesisir utara Jawa, pengaruh budaya luar mungkin telah menyebabkan sedikit pergeseran dalam definisi. Namun, secara umum, struktur hierarkis satuan ini tetap konsisten: Ru adalah yang terkecil, diikuti oleh Bau, dan kemudian Untal sebagai unit yang lebih besar. Pemahaman akan variasi ini penting untuk penelitian historis dan interpretasi dokumen lama. Keakuratan pengukuran tradisional seringkali bergantung pada kesepakatan komunal dan pengalaman para juru ukur desa, bukan pada standar metrik yang universal.
Dalam konteks modern, ketika masyarakat berhadapan dengan sertifikasi tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), satuan-satuan ini harus dikonversi secara resmi ke dalam meter persegi atau hektar. Proses konversi ini seringkali menjadi titik perdebatan, terutama jika terdapat perbedaan penafsiran antara data tradisional dan pengukuran modern. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman dasar tentang Untal tetap menjadi kunci untuk menelusuri sejarah kepemilikan tanah di banyak desa di Jawa.
Signifikansi Budaya dan Sosial Untal
Tanah sebagai Identitas dan Warisan
Di masyarakat Jawa tradisional, tanah bukan sekadar aset ekonomi; ia adalah bagian integral dari identitas dan warisan budaya. Kepemilikan atau hak menggarap tanah yang diukur dalam Untal atau satuan terkait, seringkali menunjukkan status sosial, kemampuan ekonomi, dan ikatan kekeluargaan. Semakin luas tanah yang dimiliki (diukur dalam Untal), semakin tinggi pula kehormatan dan pengaruh seseorang atau suatu keluarga di mata masyarakat.
Tanah yang diwariskan dari generasi ke generasi adalah bukti nyata dari kelangsungan garis keturunan dan kerja keras leluhur. Ketika seorang kepala keluarga mewariskan "beberapa untal" tanah kepada anak-anaknya, ini bukan hanya transfer properti, melainkan juga penerusan tanggung jawab, tradisi, dan ikatan spiritual dengan leluhur yang telah mengelola tanah tersebut sebelumnya. Oleh karena itu, Untal menjadi bahasa yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan dalam konteks identitas keluarga dan komunitas.
Untal dalam Struktur Komunitas dan Gotong Royong
Sistem agraria tradisional di Jawa sangat terkait erat dengan konsep gotong royong, yaitu kerja sama komunal. Pengelolaan lahan yang luas, yang seringkali diukur dalam Untal, membutuhkan partisipasi banyak orang—mulai dari penanaman, pemeliharaan, hingga panen. Untal, dengan ukurannya yang besar, merepresentasikan skala kerja sama ini.
Misalnya, irigasi sawah atau pembangunan terasering di lahan yang diukur dengan Untal membutuhkan koordinasi seluruh desa. Kepemilikan Untal oleh satu keluarga besar atau sekelompok petani tidak berarti mereka bekerja sendiri. Justru, hal itu seringkali berarti mereka adalah bagian dari jaringan yang lebih besar, di mana tenaga kerja, pengetahuan, dan sumber daya saling dipertukarkan. Untal, dalam konteto ini, adalah simbol dari keterikatan sosial dan ekonomi dalam sebuah komunitas.
Para kepala desa atau sesepuh (tetua) adat seringkali berperan sebagai penengah dalam sengketa tanah yang diukur dalam Untal, memastikan keadilan dan menjaga harmoni sosial. Pengetahuan tentang Untal dan sistem pengukuran tradisional lainnya adalah bagian dari kearifan lokal yang diwariskan secara lisan dan melalui praktik, membentuk fondasi kohesi sosial desa.
Untal dalam Ritual dan Upacara Adat
Tanah, dan secara tidak langsung ukurannya seperti Untal, juga memiliki dimensi spiritual dalam kebudayaan Jawa. Banyak ritual dan upacara adat yang berkaitan dengan kesuburan tanah, panen, atau persembahan kepada Dewi Sri (Dewi Padi) dilakukan di lahan-lahan pertanian. Lahan-lahan ini seringkali adalah lahan utama yang diukur dalam satuan besar seperti Untal.
Sebagai contoh, upacara wiwitan (memulai panen) atau sedekah bumi (syukuran bumi) seringkali dilakukan di tengah sawah yang luas, yang ukurannya bisa mencapai beberapa untal. Pemilihan lokasi ini bukan tanpa alasan; itu adalah pusat kehidupan ekonomi dan spiritual desa. Untal, dalam hal ini, bukan hanya metrik, tetapi juga ruang sakral yang diberkati dan dihormati. Upacara-upacara ini menegaskan kembali hubungan harmonis antara manusia, tanah, dan alam semesta, di mana Untal menjadi bagian dari narasi kosmologis tersebut.
Singkatnya, Untal melampaui sekadar fungsi pengukuran. Ia adalah benang merah yang menghubungkan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Jawa, menjadi saksi bisu perjalanan panjang interaksi manusia dengan tanah leluhur mereka.
Peran Untal dalam Ekonomi dan Administrasi Agraria Tradisional
Dasar Perhitungan Pajak dan Upeti
Di era kerajaan Jawa, tanah adalah sumber pendapatan utama bagi penguasa. Sistem perpajakan dan upeti seringkali didasarkan pada luas tanah yang dimiliki atau digarap oleh rakyat. Untal, dengan ukurannya yang besar dan relatif stabil (meskipun ada variasi regional), menjadi salah satu unit standar untuk menghitung kewajiban ini.
Misalnya, seorang petani yang menggarap "dua untal" sawah mungkin memiliki kewajiban pajak atau upeti yang berbeda dengan yang hanya menggarap "setengah untal". Catatan-catatan kerajaan atau kepala desa (lurah) akan mencatat kepemilikan atau hak garap dalam satuan ini. Sistem ini, meskipun terlihat sederhana, memerlukan administrasi yang cukup cermat dan pemahaman yang mendalam dari para pejabat desa.
Pajak bisa dibayarkan dalam bentuk hasil bumi (padi, palawija), tenaga kerja (rodi), atau kadang-kadang dalam bentuk uang atau barang berharga. Untal menyediakan skala yang jelas untuk menentukan besaran kontribusi ini, memastikan bahwa setiap rumah tangga atau komunitas memberikan bagian yang proporsional sesuai dengan kapasitas lahan mereka.
Manajemen Sumber Daya dan Alokasi Lahan
Dalam masyarakat agraria, manajemen sumber daya alam, terutama air dan lahan, adalah kunci kelangsungan hidup. Untal berperan dalam alokasi dan pengelolaan lahan pertanian. Tanah desa (tanah bengkok atau tanah kas desa), yang seringkali diukur dalam untal yang signifikan, adalah aset komunal yang dikelola oleh pemerintah desa atau tetua adat untuk kesejahteraan bersama, atau dialokasikan sebagai tunjangan bagi perangkat desa.
Pembagian lahan untuk berbagai jenis tanaman (padi, jagung, tembakau) atau rotasi tanaman juga bisa didasarkan pada pembagian untal atau bagian dari untal. Misalnya, satu untal lahan mungkin dibagi untuk dua musim tanam yang berbeda, atau beberapa untal dialokasikan untuk penanaman serentak demi efisiensi irigasi dan panen.
Para pengelola air (misalnya, ulu-ulu atau juru pengairan) juga akan merujuk pada luas lahan yang diukur dalam untal saat mengalokasikan jatah air irigasi, memastikan bahwa setiap bidang mendapatkan pasokan yang cukup sesuai dengan kebutuhannya. Ini menunjukkan bagaimana Untal tidak hanya sebagai alat ukur statis, tetapi juga sebagai bagian dari sistem dinamis manajemen sumber daya.
Jual Beli dan Pewarisan Lahan
Dalam transaksi jual beli tanah tradisional, Untal juga menjadi satuan standar. Ketika tanah dijual atau diwariskan, luasnya akan disebutkan dalam Untal atau Bau. Meskipun tidak ada sertifikat formal seperti sekarang, catatan lisan, saksi-saksi, dan kesepakatan adat sangat dijunjung tinggi. Pengetahuan tentang berapa "untal" tanah yang dimiliki seseorang adalah informasi publik yang diketahui oleh seluruh komunitas.
Dalam kasus pewarisan, pembagian "beberapa untal" tanah kepada ahli waris bisa menjadi proses yang rumit, di mana para tetua adat akan membantu menengahi untuk memastikan pembagian yang adil. Seringkali, tanah dibagi berdasarkan nilai produktivitasnya, bukan hanya luasnya, meskipun luas dalam Untal tetap menjadi acuan utama. Misalnya, satu untal sawah subur mungkin dianggap setara dengan dua untal tanah tegalan yang kurang produktif.
Melalui peran-peran ini, Untal tidak hanya menjadi alat ukur, tetapi juga menjadi fondasi bagi sistem ekonomi, administrasi, dan hukum adat yang kompleks dalam masyarakat Jawa tradisional. Keberadaannya mencerminkan sistem yang terintegrasi, di mana setiap aspek kehidupan saling terkait satu sama lain, dengan tanah sebagai pusatnya.
Tantangan dan Relevansi Untal di Era Modern
Konflik dan Ambiguasi dalam Konversi
Era modern, dengan segala upaya standardisasi dan formalisasi kepemilikan tanah, membawa tantangan tersendiri bagi satuan tradisional seperti Untal. Konversi dari Untal ke satuan metrik (meter persegi, hektar) seringkali menjadi sumber konflik dan ambiguitas. Karena nilai pasti satu Ru atau satu Bau bisa bervariasi antar daerah dan dari waktu ke waktu, data historis yang tercatat dalam Untal sulit untuk secara tepat diterjemahkan ke dalam sistem metrik yang presisi.
Proses sertifikasi tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) seringkali menghadapi situasi di mana luas tanah yang disebutkan dalam dokumen lama atau oleh pemilik tanah secara lisan (dalam Untal atau Bau) tidak sepenuhnya cocok dengan hasil pengukuran modern. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh pembulatan di masa lalu, perubahan batas tanah alami, atau metode pengukuran yang kurang presisi.
Akibatnya, sengketa tanah bisa muncul, memperlambat proses sertifikasi, dan bahkan menimbulkan ketidakadilan jika konversi tidak dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan konteks historis serta adat istiadat setempat. Penting bagi pihak berwenang untuk memahami akar masalah ini dan tidak semata-mata mengabaikan satuan tradisional, melainkan berusaha menjembatani kesenjangan tersebut melalui pendekatan yang sensitif budaya.
Erosi Pengetahuan dan Warisan yang Terancam
Seiring dengan modernisasi dan semakin jarangnya penggunaan Untal dalam transaksi resmi, pengetahuan tentang satuan ini pun perlahan terkikis. Generasi muda di pedesaan lebih akrab dengan meter persegi atau hektar, dan tidak lagi banyak yang memahami detail perhitungan Ru, Bau, atau Untal. Para juru ukur tradisional yang memiliki pengetahuan mendalam tentang satuan ini semakin menua dan jumlahnya berkurang.
Erosi pengetahuan ini mengancam hilangnya bagian penting dari warisan budaya tak benda. Untal bukan hanya alat ukur; ia adalah bagian dari identitas komunal, cara pandang terhadap tanah, dan cerminan kearifan lokal. Hilangnya pemahaman ini berarti hilangnya salah satu cara kita memahami sejarah dan evolusi masyarakat Jawa.
Tanpa upaya pelestarian, dokumen-dokumen lama yang merujuk pada Untal akan semakin sulit diinterpretasikan, dan jejak-jejak sejarah kepemilikan tanah akan semakin kabur. Ini juga berarti potensi kehilangan wawasan tentang bagaimana masyarakat Jawa dulu mengelola sumber daya mereka secara berkelanjutan dan harmonis dengan alam.
Relevansi di Masa Depan: Kearifan Lokal untuk Pembangunan Berkelanjutan
Meskipun menghadapi tantangan, Untal dan sistem pengukuran tradisional lainnya memiliki relevansi yang tak terduga di masa depan, terutama dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pelestarian budaya. Mempelajari Untal dapat memberikan wawasan tentang bagaimana masyarakat tradisional mengelola lahan mereka dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial.
Kearifan lokal yang terkandung dalam sistem ini, seperti pembagian lahan yang disesuaikan dengan kontur tanah, jenis tanaman, atau ketersediaan air, bisa menjadi pelajaran berharga. Pemahaman tentang batas-batas tanah yang ditetapkan berdasarkan konsensus komunal dan pengetahuan turun-temurun, dapat membantu dalam resolusi konflik tanah yang sering terjadi.
Selain itu, melestarikan pengetahuan tentang Untal adalah bagian dari pelestarian identitas budaya. Hal ini dapat menjadi dasar bagi program pendidikan lokal, pariwisata budaya, atau upaya revitalisasi adat istiadat di desa-desa. Dengan memahami Untal, kita tidak hanya belajar tentang masa lalu, tetapi juga menemukan inspirasi untuk masa depan yang lebih berkelanjutan dan menghargai akar budaya.
Upaya Pelestarian dan Revitalisasi Pengetahuan Untal
Dokumentasi dan Penelitian Akademis
Salah satu langkah krusial dalam melestarikan Untal adalah melalui dokumentasi dan penelitian akademis yang sistematis. Para sejarawan, antropolog, dan ahli agraria dapat melakukan penelitian lapangan di daerah-daerah yang masih mengenal atau menggunakan satuan ini. Dokumentasi ini meliputi wawancara dengan sesepuh desa, pencatatan praktik pengukuran tradisional, dan analisis dokumen-dokumen lama yang menggunakan Untal.
Penerbitan jurnal ilmiah, buku, atau artikel populer tentang Untal akan membantu menyebarluaskan pengetahuan ini ke khalayak yang lebih luas, termasuk para pembuat kebijakan dan generasi muda. Penelitian juga dapat fokus pada upaya standardisasi konversi Untal ke metrik, dengan mempertimbangkan variasi regional, untuk meminimalkan ambiguitas dalam administrasi pertanahan modern. Kerjasama antara lembaga akademik, pemerintah daerah, dan komunitas lokal sangat penting dalam inisiatif ini.
Pendidikan dan Transfer Pengetahuan
Untuk mencegah erosi pengetahuan, penting untuk mengintegrasikan pengenalan Untal ke dalam kurikulum pendidikan lokal, khususnya di sekolah-sekolah di Jawa. Materi pelajaran tentang sejarah lokal, geografi, atau bahkan matematika dapat memasukkan pemahaman tentang satuan pengukuran tradisional ini. Ini tidak hanya mendidik siswa tentang warisan mereka, tetapi juga melatih kemampuan berpikir kontekstual dan menghargai kearifan lokal.
Selain pendidikan formal, lokakarya dan pelatihan bagi masyarakat umum, terutama pemuda dan perangkat desa, dapat diselenggarakan. Para sesepuh yang masih memiliki pengetahuan tentang Untal dapat diundang sebagai narasumber, memastikan transfer pengetahuan dari generasi tua ke generasi muda. Program-program ini dapat didukung oleh pemerintah desa, lembaga budaya, atau organisasi non-pemerintah yang berfokus pada pelestarian warisan budaya.
Integrasi dengan Sistem Modern (jika memungkinkan)
Meskipun tidak akan menggantikan sistem metrik, ada potensi untuk mengintegrasikan pemahaman tentang Untal ke dalam sistem administrasi pertanahan modern. Misalnya, dalam peta tanah digital, selain mencantumkan luas dalam meter persegi, mungkin bisa ditambahkan catatan historis tentang luas dalam Untal jika data tersebut tersedia. Ini akan membantu menjembatani pemahaman antara dokumen lama dan baru.
Bagi BPN atau lembaga terkait, memiliki basis data referensi mengenai variasi konversi Untal di berbagai daerah akan sangat membantu dalam menyelesaikan sengketa dan memastikan keadilan. Ini adalah bentuk pengakuan terhadap kearifan lokal dan memfasilitasi transisi yang lebih mulus antara tradisi dan modernitas.
Revitalisasi Untal bukan berarti kembali ke masa lalu dan menolak kemajuan. Sebaliknya, ini adalah tentang mengambil nilai-nilai terbaik dari masa lalu, melestarikannya, dan melihat bagaimana kearifan tersebut dapat memperkaya pemahaman kita dan berkontribusi pada solusi di masa kini. Untal adalah jembatan antara dua dunia, dan dengan upaya yang tepat, ia dapat terus menjadi sumber inspirasi.
Filosofi dan Makna Simbolis Untal
Untal sebagai Refleksi Harmoni Manusia dan Alam
Di luar fungsi praktisnya sebagai satuan ukur, Untal, beserta satuan-satuan sejenisnya, mencerminkan filosofi Jawa tentang harmoni (keselarasan) antara manusia dan alam. Sistem pengukuran tradisional seringkali tidak mengabaikan faktor-faktor alami seperti topografi, kesuburan tanah, atau ketersediaan air. Batas-batas lahan mungkin mengikuti alur sungai kecil, gundukan tanah alami, atau batas vegetasi, bukan sekadar garis lurus geometris.
Dalam konteks ini, Untal bukan sekadar luasan matematis, melainkan sebuah ruang hidup yang terintegrasi dengan ekosistem sekitarnya. Pengukuran tidak hanya tentang seberapa banyak tanah yang dimiliki, tetapi juga tentang bagaimana tanah itu berfungsi dalam siklus alam. Ini adalah manifestasi dari pandangan hidup Jawa yang holistik, di mana manusia adalah bagian tak terpisahkan dari alam dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangannya.
Setiap "Untal" tanah, terutama yang produktif, dianggap sebagai anugerah dari Tuhan (Hyang Widhi) dan leluhur. Oleh karena itu, pengelolaan tanah tidak boleh sembarangan, harus dengan rasa syukur dan tanggung jawab. Praktik pertanian yang berkelanjutan dan upacara-upacara kesuburan adalah wujud dari filosofi ini, yang secara implisit terkandung dalam cara masyarakat memandang dan mengukur tanah mereka.
Untal sebagai Narasi Kekeluargaan dan Kekayaan Tradisional
Setiap untal tanah memiliki ceritanya sendiri. Cerita tentang siapa yang pertama kali membuka lahan, siapa yang menggarapnya dari generasi ke generasi, sengketa yang pernah terjadi, hingga keberhasilan panen yang melimpah. Untal menjadi semacam "narasi kekayaan" yang tidak hanya berbicara tentang aset materi, tetapi juga tentang sejarah keluarga, perjuangan, dan keberlangsungan hidup.
Ketika seorang anak mendengar bahwa kakek-neneknya memiliki "beberapa untal" sawah, itu membangkitkan rasa kebanggaan dan koneksi dengan masa lalu. Ini adalah warisan yang lebih dari sekadar angka di sertifikat; ini adalah warisan emosional dan historis. Pengetahuan tentang Untal menjadi jembatan ke generasi sebelumnya, memungkinkan orang untuk memahami konteks kehidupan leluhur mereka dan mengapresiasi upaya mereka dalam membangun kesejahteraan.
Dalam pertemuan keluarga atau di lingkungan desa, percakapan tentang Untal seringkali menjadi cara untuk berbagi kenangan, mengajarkan nilai-nilai, dan memperkuat ikatan kekeluargaan. Ini adalah salah satu cara tradisi tetap hidup dan relevan, meskipun di tengah arus modernisasi yang deras.
Untal dan Konsep Kedaulatan Tanah
Pada tingkat yang lebih filosofis, Untal juga dapat dilihat sebagai representasi dari konsep kedaulatan tanah (land sovereignty) masyarakat adat. Sebelum datangnya sistem hukum modern, kepemilikan dan pengelolaan tanah diatur oleh hukum adat (hukum adat), yang dihormati secara turun-temurun. Untal adalah bahasa hukum adat tersebut dalam konteks luas tanah.
Meskipun mungkin tidak ada sertifikat resmi, batas-batas dan luasan "Untal" yang diakui oleh adat istiadat dan komunitas memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada sekadar dokumen. Ini adalah kedaulatan yang berasal dari penguasaan, penggunaan, dan pengakuan bersama. Konflik seringkali timbul ketika sistem kedaulatan adat ini berbenturan dengan sistem hukum negara yang lebih formal.
Memahami Untal dan satuan tradisional lainnya adalah langkah awal untuk menghargai kedaulatan tanah masyarakat adat, dan menemukan cara-cara untuk menyelaraskan kedua sistem tersebut demi keadilan dan pelestarian budaya. Ini adalah pengakuan bahwa kekayaan suatu bangsa tidak hanya terletak pada aset fisiknya, tetapi juga pada warisan pengetahuan dan filosofi yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, Untal bukan hanya sekadar unit pengukuran. Ia adalah pintu gerbang menuju pemahaman yang lebih dalam tentang jiwa Jawa, hubungan manusia dengan tanah, dan kompleksitas kearifan lokal yang telah membentuk peradaban selama berabad-abad.
Studi Kasus Ringkas: Untal dalam Praktik Masa Lalu dan Kini
Untal dalam Catatan Sejarah Lokal
Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret, mari kita bayangkan sebuah skenario dari masa lalu. Di sebuah desa di kaki Gunung Merapi pada abad ke-18, keluarga Mbah Karto dikenal sebagai salah satu keluarga paling berada karena memiliki "sepuluh untal" sawah tadah hujan. Lima untal di antaranya merupakan warisan turun-temurun dari buyutnya, sementara lima untal lainnya berhasil ia beli dari hasil kerja keras bertahun-tahun sebagai petani ulung dan pedagang hasil bumi. Catatan mengenai kepemilikan ini tidak tertulis dalam bentuk sertifikat modern, melainkan tersimpan rapi dalam ingatan kolektif masyarakat desa dan dicatat secara sederhana oleh bekel (kepala dusun) di dalam buku kas desa.
Setiap musim panen, Mbah Karto dan keluarganya akan melakukan upacara wiwitan di salah satu untal sawah mereka yang paling subur, sebagai bentuk syukur kepada Dewi Sri. Hasil panen dari kesepuluh untal ini tidak hanya mencukupi kebutuhan pangan keluarga besar Mbah Karto, tetapi juga menyisakan surplus yang cukup untuk membayar upeti kepada Raja Kasunanan Surakarta dan sebagian lagi dijual ke pasar kota. Pengetahuan tentang batasan dan luasan setiap untal sawah ini sangat jelas bagi setiap penduduk desa, bahkan tanpa perlu pengukuran ulang, karena telah menjadi bagian dari peta mental komunal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Ketika salah satu untal sawah tersebut terkena dampak erupsi Merapi dan harus diolah kembali, seluruh warga desa bergotong royong membantu membersihkan lahan dan membangun kembali tanggul irigasi. Solidaritas ini muncul karena ikatan sosial yang kuat, di mana kepemilikan untal sawah Mbah Karto juga secara tidak langsung berkontribusi pada kesejahteraan desa melalui pajak dan perputaran ekonomi lokal.
Untal di Tengah Modernisasi: Sebuah Dilema
Beralih ke masa kini, di sebuah desa di pinggiran Madiun, seorang warga bernama Pak Budi memiliki sebidang tanah warisan yang secara lisan selalu disebut sebagai "dua untal" oleh keluarganya. Nenek moyangnya dulu adalah juru pengairan yang mendapatkan hak garap atas tanah tersebut. Ketika Pak Budi ingin mensertifikasi tanahnya ke BPN, ia dihadapkan pada kesulitan.
Hasil pengukuran modern menunjukkan bahwa luas tanahnya adalah sekitar 5,2 hektar, bukan 5,6 hektar (jika 1 untal = 2,8 ha, maka 2 untal = 5,6 ha). Perbedaan sekitar 0,4 hektar ini menjadi masalah. Pihak BPN hanya mengakui satuan metrik dan memerlukan dokumen yang akurat. Pak Budi harus mencari data historis lebih lanjut, atau menerima hasil pengukuran modern yang berarti ada sedikit "kehilangan" luas dari apa yang selama ini ia pahami.
Dalam kasus ini, penelusuran menunjukkan bahwa Ru yang digunakan oleh nenek moyangnya di masa lalu sedikit lebih pendek dari asumsi standar 3,75 meter, atau mungkin ada batas alami tanah yang bergeser seiring waktu. Situasi ini sering terjadi, menunjukkan bagaimana perbedaan interpretasi dan konversi satuan tradisional dapat menimbulkan kebingungan dan bahkan sengketa di era modern. Ini menggarisbawahi perlunya pendekatan yang lebih komprehensif, yang tidak hanya mengandalkan pengukuran teknis tetapi juga mempertimbangkan konteks sejarah dan budaya lokal.
Studi kasus ini menyoroti bagaimana Untal, sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah agraria Jawa, masih terus memberikan dampak hingga hari ini. Tantangan dalam mengintegrasikan pengetahuan tradisional dengan sistem modern adalah nyata, namun juga membuka peluang untuk menemukan solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Kesimpulan: Memandang Untal sebagai Jembatan Kearifan
Untal adalah lebih dari sekadar satuan luas tanah. Ia adalah sebuah narasi panjang tentang hubungan manusia Jawa dengan tanah, sebuah cerminan kearifan lokal yang telah membentuk masyarakat dan peradaban selama berabad-abad. Dari sistem agraria kerajaan kuno hingga intervensi kolonial, dari fondasi ekonomi pedesaan hingga penanda identitas dan warisan budaya, Untal telah memegang peranan sentral.
Meskipun dihadapkan pada tantangan modernisasi dan risiko erosi pengetahuan, relevansi Untal tidak pudar. Ia tetap menjadi kunci untuk memahami sejarah kepemilikan tanah, struktur sosial tradisional, dan filosofi hidup masyarakat Jawa. Upaya pelestarian melalui dokumentasi, pendidikan, dan bahkan integrasi yang hati-hati dengan sistem modern adalah esensial untuk menjaga agar warisan tak benda ini tetap hidup.
Untal mengajarkan kita bahwa pengukuran bukanlah sekadar angka. Ia adalah sistem yang kompleks, sarat makna, dan terjalin erat dengan konteks budaya, sosial, dan spiritual. Mempelajari Untal berarti membuka jendela ke masa lalu yang kaya, dan menemukan inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih menghargai akar budaya serta kearifan lokal dalam mengelola sumber daya bumi. Sebagai jembatan kearifan, Untal terus menghubungkan kita dengan leluhur, dengan tanah, dan dengan esensi identitas Jawa.
Maka, marilah kita hargai Untal, bukan hanya sebagai peninggalan usang, melainkan sebagai harta karun intelektual yang masih dapat memberikan pelajaran berharga bagi generasi kini dan yang akan datang. Dalam setiap "Untal" tanah, terkandung pelajaran tentang kerja keras, kebersamaan, rasa syukur, dan harmoni yang abadi.