Wahid: Pilar Pluralisme dan Demokrasi Indonesia

Menjelajahi pemikiran dan warisan Abdurrahman Wahid, tokoh kunci dalam sejarah modern Indonesia yang tak pernah lekang oleh waktu.

Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keberagaman budaya, etnis, dan agama, telah melahirkan banyak tokoh besar yang turut membentuk jati dirinya. Di antara para arsitek bangsa ini, nama Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, berdiri kokoh sebagai salah satu pilar utama yang tak tergantikan. Sosoknya bukan sekadar seorang ulama atau politisi; ia adalah seorang pemikir, seorang humanis sejati, dan seorang pejuang demokrasi yang gigih, yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, setara, dan menghargai pluralisme dalam segala bentuknya.

Kisah Gus Dur adalah narasi tentang perjalanan panjang seorang intelektual yang berani menyuarakan kebenaran di tengah intimidasi, seorang pemimpin yang mampu menyatukan perbedaan, dan seorang presiden yang meskipun singkat masa jabatannya, berhasil menanamkan benih-benih demokrasi dan toleransi yang tumbuh subur hingga kini. Warisannya, yang melampaui sekat-sekat politik dan ideologi, terus menginspirasi banyak kalangan, baik di Indonesia maupun di kancah internasional.

Ilustrasi Simbol Pluralisme dan Kebijaksanaan Visualisasi abstrak yang menggambarkan pluralisme dan kebijaksanaan melalui bentuk-bentuk organik yang saling terkait dalam harmoni, dengan titik pusat yang memancarkan cahaya, mewakili semangat Gus Dur.

Masa Muda dan Pembentukan Intelektual

Abdurrahman Wahid lahir pada tanggal 7 September di Jombang, Jawa Timur, dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Kakeknya dari pihak ayah adalah Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Sementara itu, kakeknya dari pihak ibu adalah Bisri Syansuri, salah seorang pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Lingkungan keluarga yang kental dengan tradisi pesantren dan intelektual Islam ini secara fundamental membentuk karakter dan pemikirannya sejak dini. Sejak kecil, Gus Dur, panggilan akrabnya, telah menunjukkan kecerdasan luar biasa dan minat yang besar terhadap berbagai bidang ilmu, tidak hanya ilmu agama.

Pendidikan formal dan non-formal Gus Dur adalah mozaik dari berbagai tradisi. Ia memulai pendidikannya di berbagai pesantren di Jawa, termasuk di Jombang dan Tebuireng, di mana ia mendalami ilmu-ilmu agama Islam, bahasa Arab, dan sastra. Lingkungan pesantren mengajarkannya disiplin intelektual dan spiritual, serta menanamkan nilai-nilai keislaman yang moderat dan toleran.

Namun, dahaga intelektual Gus Dur tidak berhenti di pesantren. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, ia melanjutkan studi ke luar negeri. Pertama, ia belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada akhir tahun 1960-an. Di sana, ia tidak hanya memperdalam ilmu-ilmu Islam, tetapi juga berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran modern dan dinamika politik Timur Tengah. Pengalaman ini memperkaya wawasannya tentang Islam dan tantangannya di era kontemporer.

Dari Kairo, Gus Dur kemudian melanjutkan studi ke Universitas Baghdad, Irak. Di sinilah ia benar-benar terpapar pada khazanah intelektual yang lebih luas, termasuk filsafat, sosiologi, dan sastra Barat. Ia dikenal sebagai pembaca yang rakus, melahap buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari karya klasik hingga pemikiran modern. Keleluasaan akses terhadap berbagai sumber pengetahuan ini membentuknya menjadi seorang intelektual yang memiliki perspektif multidimensional dan kritis terhadap berbagai isu. Pengalaman belajar di dua pusat peradaban Islam yang berbeda ini memberinya bekal yang sangat kuat untuk memahami kompleksitas masyarakat, baik dari sudut pandang agama maupun sosial-budaya.

Kembali ke Indonesia pada tahun 1970-an, Gus Dur tidak lantas terjun ke dunia politik secara langsung. Ia memilih jalan pendidikan dan jurnalisme. Ia mengajar di beberapa perguruan tinggi dan pesantren, serta aktif menulis di berbagai media massa. Melalui tulisan-tulisannya, ia menyuarakan gagasan-gagasan progresif tentang Islam, masyarakat, dan negara, seringkali dengan gaya yang lugas, jenaka, namun penuh makna. Periode ini adalah masa pematangan ideologi dan pembangunan fondasi pemikiran yang akan menjadi ciri khasnya di kemudian hari.

Kiprah di Nahdlatul Ulama (NU): Membangun Tradisi Moderat

Perjalanan Gus Dur di Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu babak terpenting dalam hidupnya yang membentuk arah gerak organisasi tersebut dan juga memengaruhi lanskap sosial-politik Indonesia. Sejak muda, Gus Dur sudah terlibat dalam aktivitas NU, mengikuti jejak kakek dan ayahnya. Namun, kiprahnya semakin signifikan ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984.

Periode 1980-an adalah masa yang menantang bagi organisasi kemasyarakatan di bawah rezim Orde Baru yang represif. Pemerintah Soeharto menerapkan asas tunggal Pancasila bagi semua organisasi, sebuah kebijakan yang membatasi otonomi dan ruang gerak. Gus Dur, dengan kearifannya, mampu membawa NU keluar dari jebakan politik praktis Orde Baru yang mengancam integritas organisasi. Ia melakukan langkah strategis dengan mengembalikan NU ke Khittah 1926, yaitu semangat dasar NU yang menekankan pada aspek keagamaan, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan, serta menjauh dari politik partisan. Langkah ini berhasil menyelamatkan NU dari intervensi pemerintah dan memberikan ruang bagi NU untuk berkembang sebagai kekuatan moral yang independen.

Di bawah kepemimpinan Gus Dur, NU mengalami transformasi signifikan. Ia membuka pintu organisasi untuk gagasan-gagasan baru, mendorong modernisasi pesantren, dan memperkuat peran NU dalam isu-isu kemasyarakatan yang lebih luas, seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi umat. Gus Dur juga menekankan pentingnya Islam moderat, yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan antarumat beragama, dan pluralisme. Ia secara konsisten menentang segala bentuk kekerasan dan ekstremisme atas nama agama, seringkali dengan argumen-argumen teologis yang kuat dan persuasif.

Salah satu kontribusi terbesarnya adalah dalam memposisikan NU sebagai penjaga keberagaman Indonesia. Gus Dur tidak hanya berkhotbah tentang toleransi, tetapi juga mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kebijakan organisasi. Ia menjalin dialog dengan berbagai kelompok agama dan etnis, membangun jembatan komunikasi, dan menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), bukan hanya bagi umat Muslim. Pemikirannya tentang "pribumisasi Islam" juga merupakan upaya untuk mendekatkan ajaran Islam dengan konteks budaya lokal Indonesia, sehingga Islam dapat diterima dan menjadi bagian integral dari identitas bangsa.

Gus Dur memimpin NU selama tiga periode berturut-turut, dari tahun 1984 hingga 1999. Selama masa ini, ia berhasil mengubah citra NU dari organisasi tradisional yang sering dianggap eksklusif, menjadi kekuatan progresif yang relevan dengan tantangan zaman. Ia memberdayakan kaum muda NU dan intelektual-intelektual pesantren untuk berpartisipasi aktif dalam diskursus publik dan pembangunan nasional. Visi kepemimpinannya melampaui kepentingan kelompok semata, selalu berlandaskan pada kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.

Peran Gus Dur di NU juga menjadi landasan kuat bagi perannya kemudian dalam perjuangan demokrasi. Pengalamannya mengelola organisasi massa terbesar di Indonesia memberinya pemahaman mendalam tentang masyarakat akar rumput, dinamika politik, dan tantangan membangun konsensus di tengah perbedaan. Ia menggunakan platform NU untuk menyuarakan kritik terhadap penyelewengan kekuasaan Orde Baru, meskipun dengan cara-cara yang halus dan penuh perumpamaan, untuk menghindari tindakan represif dari pemerintah.

Dalam banyak kesempatan, Gus Dur menyoroti pentingnya keadilan sosial, hak asasi manusia, dan partisipasi publik sebagai nilai-nilai fundamental dalam Islam dan demokrasi. Ia mendorong umat Islam untuk tidak apatis terhadap masalah-masalah sosial dan politik, melainkan menjadi agen perubahan yang positif. Kontribusi Gus Dur di NU tidak hanya mengukir sejarah organisasi tersebut, tetapi juga meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam memperkuat fondasi toleransi dan demokrasi di Indonesia.

Pejuang Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Era Orde Baru

Periode kepemimpinan Gus Dur di NU tidak hanya diwarnai dengan revitalisasi internal organisasi, tetapi juga dengan keberaniannya menyuarakan kritik terhadap rezim Orde Baru yang otoriter. Di masa ketika sebagian besar tokoh dan organisasi memilih untuk diam atau berkompromi dengan kekuasaan, Gus Dur tampil sebagai suara yang lantang dan konsisten dalam memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia.

Dengan kecerdasan dan humornya yang khas, Gus Dur seringkali menyampaikan kritik terhadap pemerintah secara tidak langsung, melalui anekdot, perumpamaan, atau pernyataan yang ambigu namun sarat makna. Gaya komunikasinya yang unik ini seringkali membuat aparat keamanan kesulitan untuk menindak dirinya secara langsung, meskipun pesan-pesan kritisnya sampai kepada publik. Ia adalah seorang ahli strategi yang ulung dalam menghadapi rezim represif, mampu menari di antara garis-garis merah kekuasaan tanpa melanggar batasan yang akan mengundang bahaya besar bagi dirinya dan organisasinya.

Gus Dur tidak gentar berbicara tentang pentingnya kebebasan berpendapat, keadilan hukum, dan supremasi sipil. Ia mengkritik praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela di bawah Orde Baru, serta menyoroti pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Perjuangannya ini bukan tanpa risiko; ia seringkali menjadi target pengawasan, tekanan, bahkan ancaman dari aparat keamanan dan kelompok-kelompok yang mendukung status quo.

Salah satu inisiatif penting Gus Dur dalam perjuangan demokrasi adalah pendirian Forum Demokrasi pada tahun 1991. Forum ini merupakan wadah bagi berbagai tokoh intelektual, aktivis, dan budayawan dari berbagai latar belakang, yang memiliki keprihatinan yang sama terhadap kondisi demokrasi di Indonesia. Melalui Forum Demokrasi, Gus Dur dan rekan-rekannya secara terbuka membahas isu-isu krusial seperti reformasi politik, kebebasan pers, dan partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Keberadaan Forum Demokrasi menjadi oase bagi diskursus demokrasi yang tercekik di bawah Orde Baru, dan menjadi salah satu motor penggerak perlawanan sipil terhadap rezim otoriter.

Gus Dur juga dikenal sebagai pembela kaum minoritas dan kelompok-kelompok rentan. Ia secara aktif membela hak-hak etnis Tionghoa yang seringkali menjadi korban diskriminasi, serta kelompok-kelompok agama lain yang minoritas. Baginya, pluralisme bukan hanya sekadar konsep, melainkan sebuah prinsip yang harus diwujudkan dalam praktik sosial dan politik. Ia percaya bahwa kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya untuk merayakan dan melindungi keberagaman, bukan menyeragamkan atau menindas perbedaan.

Pada puncak krisis politik dan ekonomi tahun 1997-1998, Gus Dur memainkan peran krusial dalam mengawal transisi menuju era reformasi. Meskipun ia sempat tersandung kasus stroke yang membuatnya harus berobat ke luar negeri, ia tetap mengikuti perkembangan dan memberikan pandangannya. Setelah kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, Gus Dur menjadi salah satu tokoh yang paling menonjol dalam menyerukan reformasi total dan pembentukan tatanan politik yang lebih demokratis.

Ia menyadari bahwa perubahan rezim saja tidak cukup; Indonesia membutuhkan perubahan fundamental dalam sistem politik, hukum, dan sosialnya. Perjuangan Gus Dur di era Orde Baru adalah bukti nyata dari komitmennya terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal dan kepercayaannya yang teguh pada potensi demokrasi sebagai sistem terbaik untuk mengelola masyarakat yang majemuk. Ia mengajarkan bahwa keberanian untuk menyuarakan kebenaran, bahkan di tengah ancaman, adalah prasyarat bagi tegaknya keadilan dan kebebasan.

Jalan Menuju Kursi Kepresidenan: Sebuah Kejutan Politik

Jatuhnya rezim Orde Baru pada Mei 1998 membuka babak baru dalam sejarah Indonesia, yang dikenal sebagai era Reformasi. Di tengah gejolak politik dan tuntutan reformasi yang masif, nama Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, mulai mencuat sebagai salah satu kandidat potensial untuk memimpin negara. Namun, perjalanannya menuju kursi kepresidenan jauh dari kata mudah, penuh intrik politik, dan pada akhirnya, merupakan sebuah kejutan besar bagi banyak pihak.

Setelah Soeharto lengser, BJ Habibie mengambil alih kepemimpinan. Pemilu 1999 menjadi tonggak penting dalam transisi demokrasi, di mana partai-partai politik baru bermunculan dan partisipasi rakyat sangat tinggi. Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 1998, yang dengan cepat mendapatkan dukungan luas, terutama dari kalangan Nahdliyin dan masyarakat yang merindukan perubahan.

Dalam Pemilu legislatif 1999, PKB meraih suara signifikan, menempatkannya sebagai salah satu kekuatan politik utama di parlemen. Namun, perolehan suara terbanyak diraih oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Secara logis, Megawati diharapkan menjadi presiden berikutnya.

Proses pemilihan presiden pada waktu itu dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Di sinilah intrik politik dan dinamika antarpartai bermain. Partai-partai Islam dan kelompok tengah khawatir akan dominasi PDIP dan berusaha mencari alternatif. Munculnya nama Gus Dur sebagai kandidat alternatif adalah hasil dari negosiasi dan kompromi politik yang intens.

Gus Dur sendiri awalnya tidak terlalu ambisius untuk menjadi presiden. Ia lebih sering mengatakan bahwa ia tidak cocok menjadi pemimpin negara karena berbagai keterbatasan fisiknya, terutama penglihatannya yang semakin memburuk. Namun, desakan dari berbagai pihak, termasuk dari para ulama NU dan tokoh-tokoh politik yang melihatnya sebagai figur pemersatu dan reformis, akhirnya membuatnya bersedia dicalonkan.

Dalam sidang umum MPR Oktober 1999, persaingan antara Megawati, Gus Dur, dan BJ Habibie sangat ketat. Habibie, yang ingin melanjutkan kepemimpinannya, gagal mendapatkan dukungan yang cukup setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR. Perebutan kursi presiden kemudian mengerucut pada Megawati dan Gus Dur. Melalui serangkaian voting yang dramatis, Gus Dur berhasil memenangkan pemilihan presiden dengan 373 suara, mengalahkan Megawati yang memperoleh 313 suara. Kemenangan ini sontak mengejutkan banyak pihak, termasuk Gus Dur sendiri, dan memicu ketegangan di sebagian pendukung Megawati.

Untuk menenangkan situasi politik dan sebagai bentuk kompromi, Megawati Soekarnoputri kemudian terpilih sebagai wakil presiden mendampingi Gus Dur. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden adalah manifestasi dari harapan besar rakyat dan elite politik akan adanya kepemimpinan yang membawa perubahan, mengakhiri dominasi militer dalam politik, serta membangun Indonesia yang lebih demokratis dan inklusif. Ia adalah presiden pertama yang berasal dari latar belakang ulama dan bukan dari lingkungan militer atau elite politik Orde Baru, menandai sebuah era baru dalam sejarah kepemimpinan Indonesia.

Momen terpilihnya Gus Dur menjadi presiden bukan hanya sebuah peristiwa politik, melainkan juga simbol dari keberanian Indonesia untuk melangkah maju, merangkul pluralisme, dan mempercayakan kepemimpinan kepada seorang intelektual yang selalu berpihak pada rakyat kecil dan nilai-nilai kemanusiaan. Ini adalah puncak dari perjuangan panjangnya sebagai seorang pejuang demokrasi yang tak kenal lelah.

Masa Kepresidenan (1999-2001): Visi, Kebijakan, dan Tantangan

Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia dari tahun 1999 hingga 2001. Meskipun masa kepemimpinannya relatif singkat, ia menorehkan banyak jejak penting yang fundamental bagi pembangunan demokrasi dan pluralisme di Indonesia. Masa kepresidenannya ditandai oleh visi yang progresif, kebijakan yang berani, serta tantangan politik yang luar biasa kompleks.

Visi dan Kebijakan Awal: Pluralisme dan Rekonsiliasi

Sejak awal menjabat, Gus Dur menunjukkan komitmennya yang kuat terhadap visi pluralisme dan rekonsiliasi. Ia berupaya menyatukan berbagai elemen bangsa yang terpecah belah setelah kejatuhan Orde Baru. Salah satu langkah revolusioner yang diambilnya adalah mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 yang melarang perayaan Imlek dan kegiatan keagamaan serta adat istiadat Tionghoa. Keputusan ini disambut gembira oleh komunitas Tionghoa dan menjadi simbol nyata pengakuan negara terhadap keberagaman etnis dan agama. Gus Dur juga menjadikan Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, sebuah langkah yang sangat signifikan dalam sejarah hubungan antaragama di tanah air.

Selain itu, Gus Dur juga berupaya mereduksi peran militer dalam politik. Ia mengganti nama ABRI menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan memisahkan Polri (Kepolisian Republik Indonesia) dari TNI, mengarahkannya menjadi institusi sipil yang independen. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat supremasi sipil dan menempatkan militer sesuai dengan fungsinya sebagai alat pertahanan negara, bukan alat politik. Ia juga mempromosikan pendekatan dialog dan damai dalam menyelesaikan konflik di beberapa daerah, seperti Aceh dan Papua, meskipun hasilnya tidak selalu instan.

Di bidang pemerintahan, Gus Dur melakukan reformasi birokrasi yang ambisius. Ia membubarkan beberapa departemen yang dianggap tidak efisien atau menjadi sarang korupsi, seperti Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Langkah ini menunjukkan keseriusannya dalam memberantas korupsi dan menciptakan pemerintahan yang lebih ramping dan efektif. Ia juga seringkali melakukan kunjungan ke berbagai daerah dan negara untuk memperkuat hubungan bilateral serta meningkatkan citra Indonesia di mata dunia.

Tantangan dan Kontroversi Politik

Namun, masa kepresidenan Gus Dur juga diwarnai oleh berbagai tantangan dan kontroversi. Salah satu tantangan terbesar adalah hubungannya yang kurang harmonis dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Gaya kepemimpinan Gus Dur yang blak-blakan, seringkali tidak konvensional, dan kadang-kadang dianggap terlalu cepat dalam mengambil keputusan, menimbulkan ketegangan dengan lembaga legislatif. Ia dikenal dengan pernyataan-pernyataannya yang mengejutkan, bahkan cenderung kontroversial, yang seringkali memicu perdebatan sengit di publik.

Konflik politik dengan DPR dan MPR semakin memanas terkait isu-isu seperti pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Gus Dur secara terbuka menyatakan niatnya untuk mencabut TAP tersebut, dengan alasan bahwa komunisme tidak lagi menjadi ancaman dan larangan tersebut melanggar hak asasi manusia. Niat ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama kelompok-kelompok anti-komunis dan militer, yang khawatir akan bangkitnya kembali ideologi tersebut. Meskipun niatnya murni untuk rekonsiliasi nasional dan penegakan HAM, langkah ini menciptakan polarisasi politik yang tajam dan semakin mengisolasi posisi Gus Dur di mata parlemen.

Selain itu, Gus Dur juga menghadapi tantangan berat dalam mengelola krisis ekonomi yang masih melanda Indonesia pasca krisis moneter 1997-1998. Ia berusaha keras untuk menarik investasi asing dan memulihkan kepercayaan pasar, namun stabilitas politik yang goyah seringkali menjadi hambatan.

Skandal Buloggate dan Bruneigate

Dua skandal besar yang paling memengaruhi masa kepresidenan Gus Dur adalah kasus Buloggate dan Bruneigate. Buloggate melibatkan dugaan penyalahgunaan dana non-budgeter Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp35 miliar. Sementara Bruneigate adalah kasus dugaan penerimaan sumbangan dari Sultan Brunei Darussalam sebesar US$2 juta yang tidak dilaporkan secara transparan dan disebut-sebut digunakan untuk keperluan pribadi Gus Dur.

Meskipun Gus Dur selalu membantah terlibat langsung dalam penyalahgunaan dana tersebut, dan banyak pihak percaya bahwa ia hanyalah korban intrik politik, kasus-kasus ini menjadi senjata ampuh bagi lawan-lawan politiknya untuk menggoyahkan kekuasaannya. DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki kasus-kasus ini, dan hasilnya adalah Memorandum I dan Memorandum II yang berisi teguran dan peringatan kepada Gus Dur.

Memorandum-memorandum ini pada dasarnya merupakan sinyal kuat dari parlemen untuk impeachment (pemakzulan) jika Gus Dur tidak menunjukkan perubahan signifikan. Gus Dur sendiri merasa bahwa tuduhan-tuduhan ini adalah bagian dari konspirasi politik untuk menjatuhkannya, dan ia menolak untuk mundur.

Pembekuan DPR dan Pemakzulan

Puncak dari ketegangan politik ini terjadi pada Juli 2001. Gus Dur, yang merasa posisinya terus digoyang oleh DPR dan MPR, mengambil langkah drastis dengan mengeluarkan Dekret Presiden pada 23 Juli 2001. Dekret ini berisi pembubaran DPR/MPR, pembekuan Partai Golkar, dan penyelenggaraan Pemilu dipercepat dalam waktu satu tahun. Namun, dekret ini tidak mendapat dukungan luas, termasuk dari militer, dan dianggap inkonstitusional.

Menanggapi dekret tersebut, MPR mengadakan Sidang Istimewa pada hari yang sama dan memutuskan untuk memakzulkan Abdurrahman Wahid dari jabatannya sebagai presiden. Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat wakil presiden, secara otomatis dilantik menjadi presiden berikutnya. Peristiwa ini menjadi salah satu momen paling dramatis dalam sejarah politik Indonesia pasca-reformasi.

Meskipun berakhir dengan pemakzulan, masa kepresidenan Gus Dur telah menanamkan benih-benih penting bagi demokrasi Indonesia. Ia membuktikan bahwa seorang pemimpin dapat berasal dari kalangan sipil, mengupayakan pluralisme secara nyata, dan berani mengambil keputusan yang tidak populer demi kebaikan bangsa. Warisannya adalah keberanian untuk berpikir di luar kotak dan melawan arus demi prinsip-prinsip yang diyakininya.

Pemikiran dan Filosofi Hidup: Islam Moderat, Humanisme, dan Humor

Lebih dari sekadar seorang politisi atau ulama, Gus Dur adalah seorang pemikir besar dengan filosofi hidup yang mendalam dan relevan. Pemikirannya mencakup berbagai aspek, mulai dari teologi Islam, filsafat, sosiologi, hingga politik, yang semuanya berpusar pada tiga poros utama: Islam moderat, humanisme universal, dan humor sebagai alat kritik dan kearifan.

Islam Moderat dan Toleransi

Salah satu sumbangan terbesar Gus Dur adalah pemikirannya tentang Islam moderat. Ia adalah penentang keras segala bentuk ekstremisme dan radikalisme atas nama agama. Bagi Gus Dur, Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang, toleransi, dan keadilan. Ia sering menegaskan bahwa Islam adalah "rahmatan lil alamin" (rahmat bagi seluruh alam), yang berarti ajaran Islam harus membawa kebaikan bagi semua makhluk, bukan hanya bagi umat Muslim.

Gus Dur memperkenalkan konsep "pribumisasi Islam," yaitu upaya untuk menyelaraskan ajaran Islam dengan budaya lokal Indonesia tanpa menghilangkan esensi ajaran agama. Baginya, Islam tidak harus dipahami secara kaku dan tekstualis, melainkan harus lentur dan kontekstual, sehingga dapat berdialog dengan berbagai tradisi dan budaya yang ada. Konsep ini membantu umat Islam di Indonesia untuk merangkul identitas keislaman sekaligus keindonesiaan mereka, tanpa merasa terpecah belah.

Toleransi adalah inti dari pemikiran Gus Dur. Ia selalu menganjurkan dialog antaragama dan menjalin hubungan baik dengan kelompok minoritas. Ia tidak hanya berbicara tentang toleransi, tetapi juga mempraktikkannya secara nyata, seperti dengan membela hak-hak umat Konghucu dan Kristen, serta mengunjungi gereja-gereja dan sinagog. Baginya, perbedaan adalah anugerah Tuhan yang harus dirayakan, bukan menjadi sumber konflik. Ia percaya bahwa kerukunan antarumat beragama adalah kunci bagi stabilitas dan kemajuan bangsa.

Humanisme Universal

Di balik semua pemikiran dan tindakannya, Gus Dur adalah seorang humanis sejati. Ia percaya pada harkat dan martabat setiap individu, terlepas dari latar belakang agama, etnis, atau status sosialnya. Kepeduliannya terhadap kaum tertindas, minoritas, dan mereka yang terpinggirkan adalah bukti nyata dari humanisme universal yang dianutnya.

Ia menempatkan keadilan sosial dan hak asasi manusia sebagai prioritas utama. Gus Dur sering mengatakan bahwa "mengurusi agama itu mudah, mengurusi negara itu lebih mudah, tapi mengurusi kemanusiaan itu jauh lebih sulit." Pernyataan ini menunjukkan fokusnya pada dimensi kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat formalitas agama atau negara. Ia meyakini bahwa setiap orang berhak atas perlakuan adil, kebebasan berekspresi, dan kesempatan yang sama untuk berkembang.

Semangat humanisme ini jugalah yang mendorongnya untuk berani mengkritik kekuasaan yang represif dan berjuang untuk demokrasi. Baginya, demokrasi bukan hanya sistem politik, melainkan juga wadah untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak asasi manusia. Ia melihat setiap manusia sebagai ciptaan Tuhan yang mulia, yang berhak atas kehidupan yang bermartabat.

Anekdot, Humor, dan Kearifan Lokal

Salah satu ciri khas Gus Dur yang paling melekat adalah humornya. Ia seringkali menggunakan anekdot dan lelucon untuk menyampaikan pesan-pesan yang dalam, mengkritik kekuasaan, atau meredakan ketegangan. Humornya bukan sekadar hiburan, melainkan sebuah alat komunikasi yang cerdas dan efektif. Dengan humor, ia mampu menembus batas-batas formalitas, mendekatkan diri dengan rakyat, dan menyampaikan kritik tanpa harus mengundang reaksi yang berlebihan.

Banyak kisah dan lelucon Gus Dur yang legendaris, seperti kisahnya tentang polisi tidur atau celetukannya yang jenaka tentang politisi. Humornya juga menunjukkan kearifan lokal yang kuat, mampu menyerap dan merefleksikan dinamika masyarakat Indonesia dengan cara yang ringan namun mengena. Melalui humor, Gus Dur mengajarkan bahwa hidup tidak harus selalu serius, dan bahwa kebijaksanaan bisa ditemukan dalam canda tawa.

Filosofi hidup Gus Dur adalah perpaduan antara spiritualitas Islam yang mendalam, intelektualisme yang luas, dan kearifan lokal yang kaya. Ia adalah sosok yang kompleks namun konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan. Pemikirannya tetap relevan hingga kini, menjadi panduan bagi banyak pihak dalam menghadapi tantangan keberagaman dan demokrasi.

Warisan dan Pengaruh: Gus Dur sebagai Ikon Bangsa

Meskipun telah berpulang pada akhir tahun 2009, warisan dan pengaruh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masih sangat terasa dan terus hidup dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia. Ia bukan hanya seorang mantan presiden atau ulama besar; Gus Dur telah menjadi ikon, simbol pluralisme, toleransi, dan demokrasi yang tak tergantikan. Warisannya melampaui batas-batas politik dan agama, merasuk ke dalam kesadaran sosial dan budaya masyarakat.

Penjaga Pluralisme dan Perekat Bangsa

Salah satu warisan Gus Dur yang paling abadi adalah komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap pluralisme. Ia adalah advokat sejati bagi semua kelompok, baik mayoritas maupun minoritas, tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan. Kebijakannya yang mengakui Imlek dan Konghucu, serta pembelaannya terhadap hak-hak kelompok minoritas lainnya, adalah bukti konkret dari visinya tentang Indonesia yang merangkul keberagaman.

Gus Dur mengajarkan bahwa perbedaan adalah kekuatan, bukan kelemahan. Ia berulang kali menyerukan pentingnya saling menghargai dan membangun jembatan di antara perbedaan. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, pemikiran ini menjadi sangat relevan sebagai penangkal segala bentuk radikalisme, intoleransi, dan diskriminasi. Ia adalah perekat bangsa yang mampu menyatukan berbagai elemen, menjaga keutuhan NKRI di tengah berbagai ancaman perpecahan.

Peletak Fondasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Dalam transisi pasca-Orde Baru, Gus Dur berperan penting dalam meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi demokrasi di Indonesia. Ia berani mengambil langkah-langkah drastis untuk mengurangi intervensi militer dalam politik, seperti memisahkan Polri dari TNI, dan memperkuat supremasi sipil. Meskipun langkah-langkahnya seringkali kontroversial, ia adalah seorang pelopor yang membuka jalan bagi reformasi kelembagaan yang krusial.

Komitmennya terhadap hak asasi manusia juga tak perlu diragukan. Ia selalu berdiri di sisi mereka yang tertindas dan menyuarakan keadilan. Pemikirannya tentang pencabutan TAP MPRS Larangan PKI, meskipun tidak terealisasi, menunjukkan keberaniannya untuk menghadapi trauma masa lalu demi rekonsiliasi dan penegakan HAM universal. Gus Dur mewariskan semangat keberanian untuk berpikir kritis dan menentang kekuasaan yang sewenang-wenang.

Inspirasi bagi Generasi Muda dan Intelektual

Gus Dur adalah figur inspiratif bagi banyak generasi muda dan intelektual. Cara berpikirnya yang out of the box, keberaniannya menyampaikan kebenaran, serta humornya yang cerdas, membuatnya relevan bagi berbagai kalangan. Ia mendorong kaum muda untuk tidak takut berbeda, untuk selalu belajar, dan untuk berani menyuarakan pendapat demi kemajuan bangsa.

Melalui berbagai tulisan dan ceramahnya, Gus Dur meninggalkan khazanah pemikiran yang kaya, yang terus dipelajari dan dikembangkan. Pemikiran tentang "pribumisasi Islam," kearifan lokal, dan pentingnya akal sehat dalam beragama, menjadi landasan bagi diskursus keislaman di Indonesia yang moderat dan inklusif. Ia mengajarkan pentingnya kontekstualisasi ajaran agama dalam menghadapi tantangan zaman.

Relevansi di Masa Kini

Di tengah tantangan globalisasi, polarisasi politik, dan bangkitnya sentimen identitas, pemikiran Gus Dur tentang toleransi, pluralisme, dan humanisme semakin relevan. Suara-suaranya untuk menjaga kemanusiaan di atas segalanya adalah pengingat penting bagi kita semua. Ia adalah cahaya dalam kegelapan, yang menunjukkan bahwa jalan menuju keadilan dan kedamaian harus dilalui dengan hati yang terbuka dan pikiran yang jernih.

Setiap tahun, peringatan Haul Gus Dur menjadi momentum untuk merefleksikan kembali ajaran dan perjuangannya. Ribuan orang dari berbagai latar belakang berkumpul, menunjukkan betapa kuatnya ikatan emosional dan ideologis yang ia bangun dengan rakyatnya. Gus Dur tetap hidup dalam hati dan pikiran masyarakat Indonesia, tidak hanya sebagai seorang pemimpin, melainkan sebagai seorang guru bangsa yang abadi.

Warisan Gus Dur adalah semangat untuk terus berjuang demi Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang adil, demokratis, dan menghargai setiap perbedaan sebagai kekayaan yang tak ternilai. Ia telah menorehkan jejak yang tak akan terhapus, memastikan bahwa prinsip-prinsip pluralisme dan humanisme akan terus menjadi pilar bagi masa depan bangsa ini.