Mengenal Wenter: Sejarah, Teknik, dan Budaya Pewarnaan Kain

Kata "wenter" mungkin tidak asing di telinga sebagian masyarakat, terutama dalam konteks pewarnaan kain atau tekstil. Secara umum, wenter merujuk pada proses pewarnaan kain atau benang menggunakan zat warna tertentu. Lebih dari sekadar mengubah warna, wenter adalah sebuah seni dan ilmu yang telah ada selama ribuan tahun, membentuk peradaban, menandai identitas budaya, dan terus berevolusi hingga kini. Dari pewarna alami yang sederhana hingga teknologi pewarnaan sintetis yang kompleks, perjalanan wenter adalah cerminan inovasi manusia dan hubungannya dengan alam. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk wenter, mulai dari sejarahnya yang panjang, berbagai jenis zat pewarna, teknik-teknik pewarnaan tradisional dan modern, hingga dampaknya terhadap budaya, lingkungan, dan masa depan industri tekstil.

Ilustrasi bak pewarna dan kain berwarna-warni, melambangkan proses wenter

I. Sejarah Panjang Wenter: Jejak Pewarnaan dalam Peradaban Manusia

Pewarnaan kain bukanlah fenomena baru. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa manusia purba telah menggunakan pigmen dari alam untuk mewarnai serat, kulit, dan gua-gua jauh sebelum peradaban modern terbentuk. Dari pewarna oker merah yang ditemukan di situs prasejarah hingga sisa-sisa kain berwarna indigo dan madder di makam Mesir kuno, wenter telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia selama ribuan tahun.

A. Era Prasejarah dan Dunia Kuno

Di era prasejarah, sumber wenter sangat bergantung pada apa yang tersedia di lingkungan sekitar. Tanah liat berwarna (oker), getah tumbuhan, akar, buah-buahan, kulit kayu, bahkan serangga, digunakan untuk menghasilkan palet warna yang terbatas namun signifikan. Warna bukan hanya estetika; ia seringkali memiliki makna ritualistik, penanda status sosial, atau bahkan fungsi praktis seperti penyamaran.

B. Abad Pertengahan dan Renaisans

Selama Abad Pertengahan, industri wenter berkembang pesat di Eropa. Kota-kota seperti Florence dan Bruges menjadi pusat perdagangan dan produksi tekstil berwarna. Peraturan yang ketat diberlakukan untuk melindungi kualitas dan reputasi pewarna. Penggunaan mordant, zat yang membantu pewarna menempel pada serat, menjadi lebih umum. Alum, tanin, dan garam-garam logam lainnya adalah mordant yang sering digunakan.

Eksplorasi dunia baru membawa serta penemuan pewarna-pewarna alami baru. Cochineal, serangga dari Amerika Tengah yang menghasilkan warna merah cemerlang, menjadi komoditas berharga yang diekspor ke Eropa, menyaingi pewarna kermes yang sudah ada. Logwood dari Amerika juga memperkenalkan warna hitam yang kaya dan tahan lama.

C. Revolusi Industri dan Lahirnya Pewarna Sintetis

Titik balik terbesar dalam sejarah wenter terjadi pada pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1856, William Henry Perkin, seorang ahli kimia muda Inggris, secara tidak sengaja menemukan pewarna sintetis pertama, yaitu mauvine, saat mencoba mensintesis kina. Penemuan ini membuka jalan bagi era baru pewarnaan tekstil.

Diagram garis waktu sejarah pewarnaan dari pewarna alami hingga sintetis

II. Jenis-jenis Zat Wenter: Dari Alam hingga Laboratorium

Zat wenter, atau pewarna, adalah kunci utama dalam proses pewarnaan. Sepanjang sejarah, sumber dan komposisi pewarna telah berkembang pesat, menghasilkan dua kategori besar: pewarna alami dan pewarna sintetis.

A. Pewarna Alami

Pewarna alami adalah zat pewarna yang berasal dari sumber-sumber alami seperti tumbuhan, hewan, atau mineral. Penggunaannya telah ada sejak zaman dahulu dan masih lestari dalam kerajinan tangan tradisional.

  1. Pewarna Nabati (Tumbuhan): Ini adalah sumber pewarna alami yang paling umum.
    • Indigo (Biru): Diperoleh dari daun tanaman Indigofera tinctoria dan spesies terkait. Indigo adalah salah satu pewarna biru tertua dan paling terkenal di dunia, digunakan dalam batik, jumputan, dan jeans.
    • Soga (Cokelat/Kuning): Umumnya dari kulit atau kayu pohon soga (misalnya Peltophorum pterocarpum atau Ceriops tagal). Banyak digunakan dalam batik di Jawa.
    • Secang (Merah/Merah muda): Diperoleh dari kayu pohon secang (Caesalpinia sappan). Warnanya bisa bervariasi dari merah muda hingga merah bata, tergantung mordant.
    • Kunyit (Kuning): Rimpang kunyit (Curcuma longa) menghasilkan warna kuning cerah. Mudah didapat, namun kurang tahan luntur.
    • Daun Ketapang (Cokelat/Abu-abu): Daun ketapang (Terminalia catappa) menghasilkan warna cokelat keabu-abuan, sering digunakan untuk efek warna yang lebih lembut.
    • Mengkudu (Merah/Oranye): Kulit akar mengkudu (Morinda citrifolia) telah lama digunakan untuk menghasilkan warna merah dan oranye yang kuat.
    • Teh dan Kopi (Cokelat): Meskipun bukan pewarna utama, seduhan teh atau kopi dapat digunakan untuk memberikan nuansa cokelat yang lembut pada serat alami.
  2. Pewarna Hewani:
    • Cochineal (Merah Karmin): Diekstrak dari serangga betina Dactylopius coccus yang hidup di kaktus. Menghasilkan warna merah cemerlang (karmin), sangat mahal dan berharga di masa lalu.
    • Kermes (Merah): Mirip cochineal, diekstrak dari serangga Kermes vermilio.
    • Ungu Tirus (Ungu/Merah tua): Diekstrak dari kelenjar hipobranchial siput laut Murex. Sangat langka, mahal, dan sulit diproses, menjadi simbol kemewahan di Romawi kuno.
  3. Pewarna Mineral:
    • Oker (Kuning/Merah/Cokelat): Pigmen alami dari tanah liat yang mengandung oksida besi. Digunakan sejak prasejarah untuk mewarnai benda dan gua.
    • Lumpur (Hitam/Abu-abu): Lumpur atau tanah tertentu yang kaya zat besi dapat digunakan untuk menghasilkan warna gelap.

Meskipun pewarna alami memiliki daya tarik estetika dan ramah lingkungan, penggunaannya seringkali memerlukan proses yang lebih rumit (seperti mordanting), membutuhkan jumlah bahan baku yang besar, dan hasilnya bisa kurang konsisten atau kurang tahan luntur dibandingkan pewarna sintetis.

B. Pewarna Sintetis

Pewarna sintetis adalah senyawa kimia yang dibuat di laboratorium, dirancang untuk memberikan warna yang stabil, cerah, dan tahan lama. Mereka mendominasi industri tekstil modern karena efisiensi dan fleksibilitasnya.

  1. Pewarna Asam (Acid Dyes):
    • Karakteristik: Bersifat asam, diaplikasikan dari larutan asam.
    • Penggunaan: Umumnya untuk serat protein (wol, sutra, nilon). Tidak efektif pada selulosa (kapas, rayon).
    • Contoh: Acid Red 88, Acid Blue 9.
  2. Pewarna Reaktif (Reactive Dyes):
    • Karakteristik: Membentuk ikatan kovalen yang kuat dengan serat, menghasilkan ketahanan luntur yang sangat baik.
    • Penggunaan: Serat selulosa (kapas, rayon, linen), wol, sutra.
    • Contoh: Procion MX, Remazol. Banyak digunakan dalam batik modern dan industri kapas.
  3. Pewarna Langsung (Direct Dyes):
    • Karakteristik: Menempel pada serat melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals. Aplikasi mudah.
    • Penggunaan: Serat selulosa (kapas, rayon), namun ketahanan luntur terhadap pencucian relatif rendah.
    • Contoh: Direct Black 38, Direct Red 81.
  4. Pewarna Dispersi (Disperse Dyes):
    • Karakteristik: Tidak larut dalam air, diaplikasikan sebagai dispersi halus.
    • Penggunaan: Serat hidrofobik seperti poliester, nilon, asetat. Membutuhkan suhu tinggi atau carrier chemical.
    • Contoh: Disperse Blue 56, Disperse Red 60.
  5. Pewarna Bejana (Vat Dyes):
    • Karakteristik: Tidak larut dalam air dalam bentuk pigmen, namun menjadi larut dalam larutan alkali (leuco form) yang dapat menempel pada serat, kemudian dioksidasi kembali menjadi bentuk pigmen yang tidak larut. Sangat tahan luntur.
    • Penggunaan: Serat selulosa (kapas, rayon). Indigo adalah pewarna bejana alami.
    • Contoh: Vat Blue 1 (Indigo sintetis), Vat Green 1.
  6. Pewarna Belerang (Sulphur Dyes):
    • Karakteristik: Mengandung belerang, menghasilkan warna gelap seperti hitam, biru tua, cokelat. Sangat tahan luntur, murah.
    • Penggunaan: Serat selulosa, terutama untuk denim.
    • Contoh: Sulphur Black 1.
  7. Pewarna Pigmen:
    • Karakteristik: Pigmen tidak larut dan tidak membentuk ikatan kimia dengan serat. Ditempelkan pada permukaan kain menggunakan bahan pengikat (binder).
    • Penggunaan: Banyak digunakan dalam cetak saring (screen printing) dan pewarnaan benang jahit.
    • Contoh: Pigment Red 48, Pigment Yellow 74.
Ilustrasi botol pewarna alami dan tabung reaksi pewarna sintetis

III. Teknik-teknik Wenter: Proses Pewarnaan Kain

Proses wenter melibatkan serangkaian tahapan yang cermat, mulai dari persiapan serat hingga fiksasi warna. Berbagai teknik telah dikembangkan, baik yang tradisional maupun modern, untuk mencapai hasil pewarnaan yang diinginkan.

A. Persiapan Serat (Pre-treatment)

Sebelum kain atau benang diwenter, serat harus dipersiapkan dengan baik agar pewarna dapat menempel secara optimal.

  1. Scouring (Pencucian Awal): Untuk menghilangkan kotoran alami (minyak, lilin, pektin) pada serat alami atau zat-zat pelumas pada serat sintetis. Biasanya dilakukan dengan air panas dan deterjen atau soda abu.
  2. Bleaching (Pemutihan): Jika diinginkan warna yang sangat cerah atau putih murni sebagai dasar, serat dapat diputihkan menggunakan bahan kimia seperti hidrogen peroksida atau klorin.
  3. Mercerization (untuk Kapas): Proses perlakuan kapas dengan larutan natrium hidroksida (NaOH) pekat. Ini meningkatkan kekuatan, kilau, dan daya serap pewarna pada kapas, sehingga menghasilkan warna yang lebih dalam dan cerah.
  4. Mordanting (untuk Pewarna Alami): Ini adalah langkah krusial untuk banyak pewarna alami. Mordant adalah zat (biasanya garam logam seperti tawas, tembaga, besi, atau timah) yang membentuk ikatan kompleks antara serat dan molekul pewarna, membantu pewarna menempel kuat dan meningkatkan ketahanan luntur. Tanpa mordant, banyak pewarna alami tidak akan menempel atau luntur dengan cepat.

B. Teknik Pewarnaan Tradisional

Teknik-teknik ini seringkali merupakan warisan budaya yang kaya, melibatkan keterampilan tangan dan metode turun-temurun.

  1. Batik (Indonesia):
    • Deskripsi: Teknik pewarnaan resist dengan menggunakan lilin sebagai penghalang warna. Lilin diaplikasikan pada kain menggunakan canting (pena lilin) atau cap (stempel lilin). Bagian yang tertutup lilin tidak akan terwenter saat dicelup.
    • Proses Umum:
      1. Kain dicuci dan dikanji (starch).
      2. Pola digambar (menggunakan pensil atau langsung dengan canting).
      3. Lilin panas diaplikasikan pada area yang ingin tetap berwarna dasar.
      4. Kain dicelup dalam pewarna warna terang.
      5. Lilin dihilangkan (misalnya dengan air panas), kemudian lilin baru diaplikasikan untuk pola berikutnya, dan kain dicelup pewarna yang lebih gelap. Proses ini bisa diulang beberapa kali.
      6. Lilin terakhir dihilangkan sepenuhnya, dan kain dicuci bersih.
    • Makna: Batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang diakui UNESCO, dengan motif dan warna yang kaya makna filosofis dan regional.
  2. Ikat (Indonesia, Asia Tenggara, Amerika Latin):
    • Deskripsi: Teknik pewarnaan resist di mana benang diikat dan dicelup sebelum ditenun menjadi kain.
    • Jenis:
      • Ikat Lungsi: Benang lungsi (memanjang) diikat dan diwenter.
      • Ikat Pakan: Benang pakan (melintang) diikat dan diwenter.
      • Ikat Ganda: Baik benang lungsi maupun pakan diikat dan diwenter, teknik yang paling rumit, contohnya adalah tenun Gringsing dari Bali.
    • Karakteristik: Menghasilkan pola yang sedikit kabur atau "berbayang" karena pergerakan benang saat menenun.
  3. Jumputan / Shibori / Tie-Dye (Berbagai Budaya):
    • Deskripsi: Teknik pewarnaan resist dengan mengikat, melipat, menjahit, atau meremas kain sebelum dicelup. Bagian yang terikat atau terlipat akan resist terhadap pewarna.
    • Jumputan (Indonesia): Sering menggunakan ikatan atau jahitan untuk menghasilkan pola titik, garis, atau lingkaran.
    • Shibori (Jepang): Memiliki berbagai metode pengikatan dan lipatan yang sangat presisi untuk pola yang kompleks.
    • Tie-Dye (Barat): Lebih bebas dan seringkali menghasilkan pola spiral atau acak, populer di era hippie.
  4. Sasirangan (Indonesia):
    • Deskripsi: Teknik pewarnaan resist dari Kalimantan Selatan yang melibatkan jelujur (menjahit) dan mengikat bagian kain dengan tali sebelum dicelup. Mirip dengan jumputan, namun dengan ciri khas pola jelujuran yang presisi.
  5. Pewarnaan Celup Sederhana (Immersion Dyeing):
    • Deskripsi: Serat atau kain direndam sepenuhnya dalam larutan pewarna. Ini adalah metode paling dasar.
    • Aplikasi: Untuk pewarnaan solid atau gradasi sederhana.

C. Teknik Pewarnaan Modern dan Industri

Industri tekstil modern menggunakan mesin-mesin canggih untuk proses wenter yang efisien, konsisten, dan dalam skala besar.

  1. Pewarnaan Batch (Batch Dyeing):
    • Deskripsi: Sejumlah kain atau benang dicelup dalam satu batch pewarna.
    • Jenis Mesin:
      • Jigger Dyeing Machine: Untuk kain yang harus dihindari kusut, kain bergerak bolak-balik melalui bak pewarna.
      • Winch Dyeing Machine: Kain digerakkan melalui bak pewarna oleh "winch" berbentuk elips.
      • Jet Dyeing Machine: Kain disirkulasikan melalui tabung dengan bantuan jet cairan pewarna, cocok untuk kain rajut yang rapuh.
      • Paddle Dyeing Machine: Menggunakan dayung untuk menggerakkan barang (benang, pakaian jadi) dalam bak pewarna.
  2. Pewarnaan Kontinu (Continuous Dyeing):
    • Deskripsi: Kain melewati serangkaian bak pewarna, pengukus, dan pencuci secara terus-menerus, cocok untuk produksi skala sangat besar.
    • Proses: Pad-steam (mencelupkan kain ke pewarna, kemudian mengukus untuk fiksasi), Pad-dry (mencelupkan, mengeringkan), Termofiksasi (untuk pewarna dispersi pada poliester).
  3. Pewarnaan Benang (Yarn Dyeing):
    • Hank Dyeing: Benang dalam bentuk untaian (hank) digantung dan dicelup.
    • Package Dyeing: Benang dikemas dalam bentuk bobbin atau cone dan dicelup dalam mesin khusus.
    • Beam Dyeing: Benang lungsi dipasang pada balok berlubang dan dicelup.
  4. Pewarnaan Potongan (Garment Dyeing):
    • Deskripsi: Pakaian jadi (misalnya kaus, celana jeans) diwenter setelah dijahit.
    • Keuntungan: Fleksibilitas warna sesuai permintaan pasar, mengurangi limbah produk yang tidak terjual.
    • Mesin: Mesin cuci industri yang dimodifikasi.
  5. Pewarnaan Digital (Digital Printing):
    • Deskripsi: Meskipun lebih ke arah pencetakan, teknologi digital memungkinkan pewarnaan lokal yang sangat presisi dengan pola kompleks, menggunakan printer inkjet yang menyemprotkan pewarna langsung ke kain.
    • Keuntungan: Fleksibilitas desain, produksi kecil, mengurangi limbah air dan pewarna.
Ilustrasi canting batik, bak celup, dan kain yang dicelup

IV. Peran Wenter dalam Budaya dan Ekonomi

Wenter lebih dari sekadar proses teknis; ia adalah pilar penting dalam kebudayaan banyak bangsa dan mesin penggerak ekonomi global.

A. Identitas Budaya dan Ekspresi Artistik

Di banyak belahan dunia, wenter telah menjadi sarana untuk mengekspresikan identitas budaya, kepercayaan, dan status sosial.

Melalui wenter, kain bukan lagi sekadar penutup tubuh, melainkan sebuah kanvas yang merekam sejarah, nilai, dan jiwa sebuah komunitas.

B. Dampak Ekonomi dan Industri Tekstil

Industri wenter adalah bagian integral dari rantai pasok industri tekstil global, mulai dari produksi bahan baku hingga produk akhir.

Ilustrasi berbagai motif batik dan tenun, simbol kekayaan budaya Indonesia

V. Wenter dan Tantangan Lingkungan: Menuju Keberlanjutan

Meskipun pewarnaan memberikan keindahan dan nilai ekonomi, prosesnya seringkali menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan. Oleh karena itu, industri wenter semakin berfokus pada praktik-praktik yang lebih berkelanjutan.

A. Isu-isu Lingkungan dari Pewarnaan Tradisional dan Modern

B. Solusi dan Praktik Wenter Berkelanjutan

Untuk mengatasi tantangan lingkungan ini, industri dan peneliti telah mengembangkan berbagai pendekatan berkelanjutan:

  1. Penggunaan Pewarna Ramah Lingkungan:
    • Pewarna Alami yang Dikembangkan: Mencari sumber pewarna alami yang lebih efisien, dapat diperbaharui, dan tidak memerlukan mordant logam berat.
    • Pewarna Sintetis yang Lebih Aman: Pengembangan pewarna sintetis bebas logam berat, bebas AZO (pewarna azo tertentu bersifat karsinogenik), dan memiliki biodegradabilitas yang lebih baik.
    • Bio-pewarna: Pewarna yang dihasilkan dari mikroorganisme (bakteri, jamur) melalui fermentasi, menawarkan potensi warna yang luas dengan dampak lingkungan yang minimal.
  2. Teknik Pewarnaan Efisien:
    • Pewarnaan Rendah Air (Low Water Dyeing): Mengurangi rasio air terhadap bahan (liquor ratio) dalam bak pewarna.
    • Pewarnaan Bebas Air (Waterless Dyeing): Menggunakan CO2 superkritis sebagai pelarut pengganti air, terutama untuk pewarna dispersi pada poliester. Ini menghilangkan kebutuhan akan air dan pengeringan.
    • Pewarnaan Digital: Seperti yang disebutkan sebelumnya, pewarnaan digital mengurangi limbah pewarna dan air secara signifikan karena pewarna hanya diaplikasikan di tempat yang dibutuhkan.
    • Teknologi Ultrasonik: Penggunaan gelombang ultrasonik untuk meningkatkan penetrasi pewarna ke serat, mengurangi waktu dan energi yang dibutuhkan.
  3. Pengelolaan Air dan Limbah:
    • Daur Ulang Air: Menerapkan sistem daur ulang air limbah setelah diolah secara fisik, kimia, dan biologis.
    • Pengolahan Limbah Tingkat Lanjut: Menggunakan teknologi seperti filtrasi membran, ozonasi, dan proses oksidasi lanjut untuk menghilangkan polutan dari air limbah sebelum dibuang.
    • Penggunaan Kembali Pewarna: Mencegah pembuangan pewarna berlebih dengan mengoptimalkan formulasi atau mendaur ulang pewarna yang tidak habis pakai.
  4. Sertifikasi dan Standar:
    • OEKO-TEX Standard 100: Standar global untuk tekstil yang diuji bebas dari zat berbahaya.
    • GOTS (Global Organic Textile Standard): Standar untuk tekstil organik yang mencakup seluruh rantai pasok, termasuk pewarnaan.
    • Bluesign System: Sistem yang bertujuan untuk menghilangkan zat berbahaya sejak awal proses produksi.
Ilustrasi daun dan tetesan air, melambangkan keberlanjutan dan pewarna alami

VI. Masa Depan Wenter: Inovasi dan Tren

Industri wenter terus berinovasi, merespons kebutuhan pasar, tuntutan keberlanjutan, dan kemajuan teknologi.

A. Bio-pewarna dan Sumber Terbarukan

Penelitian intensif sedang dilakukan untuk mengembangkan bio-pewarna dari sumber-sumber yang sepenuhnya terbarukan dan ramah lingkungan. Ini termasuk pewarna yang diekstrak dari alga, bakteri yang dimodifikasi secara genetik untuk menghasilkan pigmen, atau bahkan limbah pertanian.

B. Pewarnaan Fungsional

Selain warna, pewarnaan juga dapat memberikan fungsi tambahan pada tekstil. Ini disebut sebagai "pewarnaan fungsional".

C. Kustomisasi dan Personalisasi

Dengan kemajuan pewarnaan digital dan teknologi cetak sesuai permintaan (on-demand printing), konsumen dapat semakin mudah mendapatkan produk tekstil dengan desain dan warna yang sangat personal.

Wenter di masa depan tidak hanya akan fokus pada estetika, tetapi juga pada performa, keberlanjutan, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan kebutuhan yang terus berubah.

VII. Wenter dalam Kehidupan Sehari-hari

Setelah membahas begitu banyak aspek teknis, historis, dan budaya, penting untuk menyadari seberapa dekat wenter dengan kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari pakaian yang kita kenakan, seprai di tempat tidur, hingga gorden di jendela rumah, hampir semua produk tekstil yang kita gunakan telah melalui proses wenter.

Tanpa wenter, dunia tekstil akan didominasi oleh warna-warna alami serat seperti putih gading kapas, krem wol, atau cokelat linen. Keberadaan wenter telah membawa revolusi warna dan ekspresi ke dalam kehidupan manusia, memungkinkan kita untuk mengekspresikan diri melalui pilihan warna dan pola pada pakaian dan lingkungan kita.

Tumpukan kain berwarna-warni yang menunjukkan keragaman aplikasi wenter

Kesimpulan

Wenter adalah sebuah bidang yang luas dan dinamis, mencakup ilmu pengetahuan, seni, sejarah, dan budaya. Dari pewarnaan alami yang primitif hingga teknologi pewarnaan digital yang canggih, wenter telah menjadi saksi bisu dan pendorong evolusi peradaban manusia.

Perjalanan wenter dari sumber alamiah yang sederhana hingga senyawa kimia kompleks di laboratorium modern menunjukkan kecerdasan dan kreativitas manusia dalam beradaptasi dan berinovasi. Namun, dengan kemajuan ini datang pula tanggung jawab yang besar terhadap lingkungan.

Di era modern, tantangan utama dalam industri wenter adalah menemukan keseimbangan antara estetika, fungsionalitas, efisiensi ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan. Upaya-upaya menuju pewarnaan yang lebih ramah lingkungan, seperti pengembangan bio-pewarna, teknik pewarnaan rendah air, dan sistem pengelolaan limbah yang lebih baik, adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa keindahan warna tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang tanpa mengorbankan planet kita.

Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang "wenter" dan segala aspeknya, kita tidak hanya menghargai keindahan visual pada tekstil, tetapi juga kompleksitas di balik setiap helainya dan dampak luas yang dibawanya bagi dunia.