Wilayatul Hisbah: Penegakan Moral dan Keadilan Islam dalam Masyarakat

Simbol Wilayatul Hisbah Ilustrasi abstrak yang melambangkan Wilayatul Hisbah: Perpaduan timbangan keadilan, kitab suci, dan pengawasan masyarakat dalam bingkai perisai.

Simbol Wilayatul Hisbah: Keadilan, ilmu, dan pengawasan moral.

Wilayatul Hisbah, sebuah konsep yang berakar kuat dalam tradisi Islam, seringkali menjadi subjek diskusi dan perdebatan, terutama di era modern. Secara harfiah, "hisbah" berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menimbang, atau memperhatikan. Dalam konteks pemerintahan Islam, hisbah merujuk pada institusi atau fungsi yang bertanggung jawab untuk menegakkan syariat, menjaga ketertiban umum, dan mengawasi moral masyarakat, berdasarkan prinsip amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Ini bukanlah sekadar penegak hukum biasa, melainkan sebuah lembaga yang memiliki dimensi moral, edukatif, dan sosial yang mendalam.

Artikel ini akan mengupas tuntas Wilayatul Hisbah, mulai dari akar historis dan filosofisnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, perkembangannya sepanjang sejarah Islam, prinsip-prinsip dasarnya, ruang lingkup tugasnya, hingga manifestasinya di era modern dengan studi kasus di Aceh, Indonesia, dan Arab Saudi. Kami juga akan membahas berbagai tantangan dan kontroversi yang melingkupinya, serta prospek masa depannya dalam konteks masyarakat kontemporer.

1. Akar Historis dan Filosofis Wilayatul Hisbah

Pemahaman tentang Wilayatul Hisbah tidak bisa dilepaskan dari fondasi teologis dan historis Islam. Konsep ini bukan muncul begitu saja, melainkan merupakan manifestasi dari perintah agama yang mendasar.

1.1. Dalil-dalil Naqli (Al-Qur'an dan Sunnah)

Inti dari hisbah, yaitu amar ma'ruf nahi munkar, adalah salah satu pilar penting dalam ajaran Islam. Beberapa ayat Al-Qur'an secara eksplisit maupun implisit memerintahkan umat Islam untuk melakukan fungsi ini:

Selain Al-Qur'an, banyak hadits Nabi Muhammad SAW yang juga menekankan pentingnya amar ma'ruf nahi munkar. Salah satu hadits yang paling terkenal diriwayatkan oleh Imam Muslim:

"Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman."

Hadits ini menjelaskan tingkatan tanggung jawab dalam melakukan hisbah, mulai dari tindakan fisik, ucapan, hingga penolakan dalam hati. Wilayatul Hisbah dalam institusi modern adalah perwujudan dari tindakan "dengan tangan" yang dilakukan oleh pihak yang berwenang, mewakili masyarakat secara kolektif.

1.2. Perkembangan pada Masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin

Pada masa awal Islam, fungsi hisbah belum terinstitusionalisasi dalam bentuk departemen khusus. Nabi Muhammad SAW sendiri secara langsung melakukan pengawasan pasar dan menegur praktik-praktik yang tidak sesuai syariat. Beliau dikenal sering berkeliling pasar, memeriksa timbangan, menegur pedagang yang curang, dan memastikan keadilan dalam transaksi. Ini menunjukkan bahwa pengawasan moral dan ekonomi masyarakat adalah bagian integral dari kepemimpinan Islam.

Setelah wafatnya Nabi, para Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) melanjutkan tradisi ini. Khalifah Umar bin Khattab, khususnya, sangat terkenal dengan ketegasannya dalam menegakkan keadilan dan mengawasi pasar. Beliau bahkan menunjuk beberapa sahabat, seperti As-Syifa binti Abdullah dan Samra binti Nuhaiq, sebagai pengawas pasar wanita, yang dianggap sebagai cikal bakal dari jabatan muhtasib (orang yang menjalankan hisbah).

Pada masa ini, peran hisbah bersifat lebih personal dan langsung dari pemimpin atau delegasinya, belum dalam bentuk birokrasi yang kompleks. Namun, prinsip dasar dan tujuan sudah sangat jelas: memastikan masyarakat hidup sesuai ajaran Islam, menegakkan keadilan, dan mencegah kemungkaran.

1.3. Institusionalisasi pada Masa Dinasti Islam

Seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan kompleksitas pemerintahan, fungsi hisbah mulai terinstitusionalisasi. Pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, jabatan muhtasib menjadi posisi resmi dalam struktur pemerintahan. Muhtasib adalah seorang pejabat yang ditunjuk oleh khalifah atau penguasa untuk mengawasi berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Peran muhtasib sangat penting dan luas, meliputi:

Banyak ulama terkemuka pada masa itu yang menulis kitab-kitab khusus tentang hisbah, merinci tugas, etika, dan wewenang seorang muhtasib. Di antara yang paling terkenal adalah Imam Al-Mawardi dengan kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, serta Imam Al-Ghazali dengan Ihya' Ulumuddin yang memiliki bab khusus tentang hisbah. Karya-karya ini menjadi panduan teoretis dan praktis bagi pelaksanaan hisbah selama berabad-abad.

Dalam sejarah, muhtasib memiliki kewenangan yang unik. Ia bisa bertindak cepat tanpa perlu proses pengadilan yang panjang untuk pelanggaran-pelanggaran ringan dan kasat mata. Namun, untuk kasus yang memerlukan bukti lebih lanjut atau hukuman berat, ia harus menyerahkannya kepada qadi (hakim).

2. Prinsip Dasar dan Tujuan Hisbah

Wilayatul Hisbah tidak sekadar aparat penegak hukum, melainkan sebuah institusi yang bergerak berdasarkan prinsip-prinsip syariah dengan tujuan mulia untuk kemaslahatan umat.

2.1. Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Ini adalah jantung dari Wilayatul Hisbah. "Amar ma'ruf" berarti mengajak kepada kebaikan, yaitu segala sesuatu yang diperintahkan atau dianjurkan dalam Islam, seperti shalat, zakat, puasa, kejujuran, keadilan, dan akhlak mulia. "Nahi munkar" berarti mencegah kemungkaran, yaitu segala sesuatu yang dilarang atau dibenci dalam Islam, seperti perbuatan syirik, zina, minum khamar, judi, pencurian, penipuan, dan perilaku merusak lainnya.

Fungsi ini dijalankan dengan tujuan menjaga keutuhan moral dan spiritual masyarakat, memastikan bahwa nilai-nilai Islam tetap hidup dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hisbah berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi individu untuk beribadah dan berinteraksi secara Islami.

2.2. Menegakkan Keadilan Sosial

Keadilan adalah salah satu nilai fundamental dalam Islam. Wilayatul Hisbah berperan penting dalam menegakkan keadilan sosial, terutama dalam aspek ekonomi dan muamalah. Ini termasuk memastikan tidak ada eksploitasi, penipuan, atau praktik bisnis yang merugikan masyarakat, seperti penetapan harga yang tidak wajar, timbangan yang curang, atau penjualan barang rusak. Dengan demikian, hisbah berkontribusi pada terciptanya pasar yang adil dan masyarakat yang sejahtera.

2.3. Memelihara Ketertiban Umum dan Harmoni Sosial

Hisbah juga bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan harmoni sosial. Dengan mencegah perbuatan-perbuatan yang merusak moral dan mengganggu ketenangan masyarakat, hisbah menciptakan lingkungan yang aman dan damai. Ini termasuk mengawasi perilaku publik, memastikan tidak ada gangguan terhadap hak-hak tetangga atau masyarakat luas, serta menindak tegas tindakan yang dapat memicu konflik sosial.

2.4. Melindungi Hak-hak Masyarakat

Peran hisbah adalah melindungi hak-hak individu dan kolektif masyarakat. Ini mencakup hak untuk mendapatkan barang dan jasa yang berkualitas, hak untuk hidup di lingkungan yang bersih dan aman, serta hak untuk menjalankan ibadah tanpa gangguan. Hisbah bertindak sebagai penjaga kepentingan publik dari praktik-praktik yang merugikan.

2.5. Pencegahan Tindak Kejahatan dan Kerusakan

Meskipun bukan lembaga kepolisian murni, hisbah memiliki fungsi pencegahan kejahatan. Dengan mengawasi dan menegur pelanggaran-pelanggaran kecil yang bisa berkembang menjadi kejahatan yang lebih besar, hisbah bertindak sebagai garis pertahanan pertama. Pencegahan kerusakan moral dan sosial pada akarnya adalah tujuan utama, bukan hanya menghukum setelah kejahatan terjadi.

3. Ruang Lingkup dan Bidang Tugas Wilayatul Hisbah

Tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah sangat luas, mencakup berbagai dimensi kehidupan masyarakat, baik yang terkait dengan ibadah maupun muamalah (interaksi sosial dan ekonomi).

3.1. Moral dan Etika Publik

Ini adalah area yang paling sering diasosiasikan dengan Wilayatul Hisbah. Tugasnya meliputi:

Dalam menjalankan tugas ini, Wilayatul Hisbah diharapkan bertindak dengan hikmah, memberikan nasihat, dan melakukan teguran secara persuasif sebelum mengambil tindakan yang lebih tegas.

3.2. Pelaksanaan Syariat dalam Muamalah

Area ini berfokus pada keadilan dalam transaksi dan hubungan ekonomi. Tugas-tugasnya meliputi:

Pengawasan di sektor muamalah ini menunjukkan bahwa hisbah tidak hanya berurusan dengan moral individual, tetapi juga dengan kesehatan ekonomi dan keadilan struktural dalam masyarakat.

3.3. Pendidikan dan Sosialisasi

Aspek edukatif adalah bagian tak terpisahkan dari hisbah. Sebelum melakukan penindakan, Wilayatul Hisbah seringkali mengedepankan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Ini meliputi:

Pendekatan ini menunjukkan bahwa tujuan hisbah bukan semata-mata menghukum, tetapi juga membentuk kesadaran dan ketaatan beragama dalam diri masyarakat.

3.4. Penegakan Hukum dalam Batas Kewenangan

Untuk pelanggaran-pelanggaran tertentu yang jelas dan kasat mata, Wilayatul Hisbah memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan langsung, seperti menegur, mendenda di tempat (untuk pelanggaran ringan), atau bahkan menahan sementara sebelum diserahkan kepada pihak berwenang yang lebih tinggi (kepolisian atau kehakiman) jika pelanggarannya lebih serius. Namun, batas kewenangan ini sangat penting untuk dipahami agar tidak terjadi penyalahgunaan.

Kewenangan hisbah biasanya terbatas pada:

Untuk kasus-kasus kriminal murni atau yang memerlukan proses hukum yang kompleks, Wilayatul Hisbah akan berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum yang lain.

4. Wilayatul Hisbah di Era Modern: Studi Kasus

Meskipun berakar pada tradisi klasik, konsep Wilayatul Hisbah masih relevan dan diimplementasikan di beberapa wilayah dengan karakteristik unik. Dua contoh paling menonjol adalah di Aceh, Indonesia, dan di Arab Saudi.

4.1. Wilayatul Hisbah di Aceh, Indonesia

Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang diizinkan untuk menerapkan Syariat Islam secara komprehensif, berkat Undang-Undang Otonomi Khusus. Dalam kerangka ini, Wilayatul Hisbah didirikan sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang memiliki kekhususan dalam penegakan syariat.

4.1.1. Latar Belakang dan Dasar Hukum

Penerapan Syariat Islam di Aceh dimulai secara bertahap sejak awal tahun 2000-an, didukung oleh UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh, yang kemudian diperkuat dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Landasan hukum operasional Wilayatul Hisbah di Aceh diatur dalam berbagai Qanun (Peraturan Daerah) Aceh, antara lain:

Qanun-qanun ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi Wilayatul Hisbah untuk menjalankan tugas-tugas penegakan syariat di Aceh.

4.1.2. Struktur Organisasi dan Tugas

Wilayatul Hisbah di Aceh berada di bawah Satpol PP dan WH (Wilayatul Hisbah) yang ada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Personelnya dilatih khusus untuk memahami syariat Islam dan kode etik penegakan hukum.

Tugas utama Wilayatul Hisbah di Aceh meliputi:

Wilayatul Hisbah di Aceh juga berperan dalam menjaga ketertiban umum dan kebersihan kota, meskipun fokus utamanya tetap pada aspek syariat.

4.1.3. Tantangan dan Persepsi Publik

Penerapan Wilayatul Hisbah di Aceh tidak lepas dari berbagai tantangan dan kontroversi. Beberapa di antaranya adalah:

Meskipun demikian, bagi sebagian besar masyarakat Aceh, Wilayatul Hisbah dipandang sebagai bagian integral dari identitas keislaman mereka dan sebagai penjaga moralitas di tengah arus globalisasi.

4.2. Wilayatul Hisbah di Arab Saudi (Mutawa)

Arab Saudi adalah negara yang menerapkan Syariat Islam sebagai dasar hukumnya, dan di sana terdapat lembaga yang memiliki fungsi serupa dengan Wilayatul Hisbah, dikenal sebagai Komite untuk Amar Ma'ruf Nahi Munkar, atau lebih dikenal publik sebagai "Mutawa" (atau Haia).

4.2.1. Sejarah dan Evolusi

Komite ini didirikan pada tahun 1940-an di bawah pemerintahan Raja Abdul Aziz Al Saud, dengan tujuan utama menegakkan ajaran Islam dan menjaga moral publik. Kekuasaannya sangat besar selama beberapa dekade, memungkinkan mereka untuk melakukan penangkapan, interogasi, dan bahkan hukuman di tempat untuk pelanggaran syariat. Mereka dikenal karena patroli di tempat umum, memastikan toko tutup saat waktu shalat, menegur perilaku campur baur antara pria dan wanita yang bukan mahram, dan memastikan ketaatan berbusana.

Pada puncak kekuasaannya, Mutawa memiliki wewenang yang luas dan kadang-kadang menimbulkan kontroversi karena tindakan yang dianggap berlebihan atau tidak proporsional.

4.2.2. Tugas dan Kewenangan

Tugas tradisional Mutawa meliputi:

Awalnya, mereka memiliki kekuatan polisi penuh, termasuk kewenangan menangkap dan menahan.

4.2.3. Perubahan dan Reformasi Terkini

Dalam beberapa tahun terakhir, di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Arab Saudi telah melakukan reformasi signifikan yang berdampak besar pada peran Mutawa. Pada tahun 2016, sebuah dekrit kerajaan secara drastis membatasi kewenangan Mutawa:

Perubahan ini mencerminkan upaya pemerintah Arab Saudi untuk memodernisasi citra negara, menarik investasi asing, dan memberikan kebebasan sosial yang lebih besar bagi warganya, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai Islam sebagai dasar negara. Peran Mutawa kini lebih bersifat edukatif dan preventif, tanpa kekuatan penegakan hukum langsung.

4.2.4. Perbandingan dengan Aceh

Ada beberapa perbedaan dan persamaan menarik antara Wilayatul Hisbah di Aceh dan Mutawa di Arab Saudi:

Perbandingan ini menunjukkan adaptasi dan interpretasi yang berbeda terhadap konsep hisbah di berbagai konteks modern.

5. Metodologi dan Pendekatan Hisbah

Keberhasilan dan legitimasi Wilayatul Hisbah sangat bergantung pada metodologi dan pendekatan yang digunakan dalam menjalankan tugasnya. Fiqh Islam telah menetapkan panduan yang jelas mengenai hal ini.

5.1. Tingkatan Penegakan (Nasihat, Teguran, Tindakan)

Para ulama klasik, seperti Imam Al-Ghazali, menggariskan tingkatan dalam melakukan hisbah, yang dimulai dari pendekatan paling lembut hingga yang paling tegas:

  1. Perkenalan dan Nasihat (Ta'rif): Pada tahap awal, muhtasib harus memperkenalkan apa itu kebaikan dan kemungkaran, serta memberikan nasihat yang baik. Ini bersifat edukatif dan persuasif.
  2. Teguran dengan Lisan (Wa'z): Jika nasihat tidak diindahkan, langkah selanjutnya adalah teguran lisan yang lebih tegas namun tetap santun dan penuh hikmah.
  3. Tindakan Pencegahan (Man'): Apabila teguran lisan tidak efektif, muhtasib dapat mengambil tindakan fisik yang bersifat mencegah kemungkaran, misalnya menghancurkan alat kemaksiatan, atau memisahkan pasangan yang berkhalwat.
  4. Pemberian Sanksi/Hukuman (Ta'zir): Untuk pelanggaran yang lebih serius atau yang berulang, muhtasib bisa memberikan sanksi yang bersifat ta'zir (hukuman yang ditentukan oleh penguasa), sesuai dengan batas kewenangannya. Jika melebihi kewenangan, kasus diserahkan ke pengadilan.

Prinsip dasarnya adalah memulai dengan pendekatan yang paling lunak dan meningkat secara bertahap hanya jika diperlukan.

5.2. Prinsip Hikmah, Mau'izhah Hasanah, dan Mujadalah Billati Hiya Ahsan

Al-Qur'an Surat An-Nahl ayat 125 memberikan panduan utama dalam berdakwah dan melakukan amar ma'ruf nahi munkar:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik."

Prinsip-prinsip ini sangat relevan bagi Wilayatul Hisbah:

Penerapan prinsip-prinsip ini sangat penting untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan bahwa hisbah diterima sebagai upaya membangun, bukan menghukum secara sewenang-wenang.

5.3. Pelatihan dan Kualitas Aparat Hisbah

Aparat Wilayatul Hisbah (muhtasib) harus memiliki kualifikasi yang mumpuni. Mereka tidak hanya harus memahami syariat Islam secara mendalam, tetapi juga harus memiliki akhlak yang mulia, kesabaran, kebijaksanaan, dan kemampuan berkomunikasi yang baik.

Pelatihan mereka harus mencakup:

Kualitas aparat sangat menentukan citra dan efektivitas Wilayatul Hisbah di mata masyarakat.

5.4. Peran Masyarakat dan Kolektifitas

Wilayatul Hisbah bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas amar ma'ruf nahi munkar. Konsep ini adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi seluruh umat Islam. Masyarakat memiliki peran penting dalam mendukung Wilayatul Hisbah, baik dengan melaporkan kemungkaran, berpartisipasi dalam edukasi, maupun menjadi teladan kebaikan.

Di sisi lain, Wilayatul Hisbah harus membuka diri terhadap masukan dan kritik konstruktif dari masyarakat untuk memastikan bahwa tugasnya dijalankan secara adil dan transparan.

6. Tantangan dan Kontroversi Wilayatul Hisbah

Di tengah upayanya menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, Wilayatul Hisbah seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan dan menjadi subjek kontroversi, terutama di era modern yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan individu.

6.1. Batas Kewenangan dan Hak Asasi Manusia

Salah satu kontroversi terbesar adalah bagaimana menyeimbangkan kewenangan hisbah dengan hak asasi manusia (HAM). Beberapa kritik muncul terkait:

Penting bagi Wilayatul Hisbah untuk beroperasi dalam koridor hukum yang jelas dan menghormati prinsip-prinsip HAM universal yang tidak bertentangan dengan syariat.

6.2. Persepsi Negatif dan Stigma

Beberapa insiden yang melibatkan aparat hisbah, terutama yang dianggap kasar atau tidak adil, dapat menciptakan persepsi negatif di mata publik. Hal ini bisa menyebabkan masyarakat memandang hisbah sebagai lembaga yang menakutkan, represif, atau bahkan ortodoks, alih-alih sebagai pelindung moral dan keadilan.

Stigma ini diperparah oleh liputan media yang cenderung menyoroti aspek-aspek kontroversial, sehingga menghapuskan upaya-upaya positif yang dilakukan hisbah dalam pembinaan dan edukasi.

6.3. Konsistensi dan Objektivitas

Tantangan lain adalah memastikan konsistensi dan objektivitas dalam penegakan. Apakah standar yang diterapkan sama untuk semua lapisan masyarakat? Apakah ada potensi untuk penyalahgunaan wewenang karena faktor pribadi, politik, atau kepentingan tertentu? Ketiadaan standar operasional yang ketat dan pengawasan internal yang lemah dapat menyebabkan hisbah kehilangan kredibilitasnya.

6.4. Adaptasi dengan Perubahan Sosial dan Globalisasi

Masyarakat modern sangat dinamis, dengan arus informasi dan budaya yang cepat dari seluruh dunia. Wilayatul Hisbah menghadapi tantangan dalam beradaptasi dengan perubahan ini. Bagaimana hisbah dapat relevan dalam konteks digital, misalnya dalam mengawasi kemungkaran di media sosial, atau menanggapi tren gaya hidup global tanpa terkesan kolot atau tidak relevan?

Pendekatan yang terlalu kaku dan tidak adaptif dapat menyebabkan penolakan dari generasi muda dan masyarakat yang terpapar pada nilai-nilai yang berbeda.

6.5. Sumber Daya dan Kapasitas

Seperti lembaga pemerintah lainnya, Wilayatul Hisbah juga menghadapi tantangan terkait sumber daya. Keterbatasan anggaran, personel yang belum terlatih secara optimal, dan kurangnya infrastruktur dapat menghambat efektivitas operasional mereka. Investasi dalam pelatihan, teknologi, dan sistem pendukung sangat penting untuk meningkatkan kapasitas hisbah.

7. Masa Depan Wilayatul Hisbah

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, konsep Wilayatul Hisbah tetap memiliki relevansi dan potensi untuk berkembang di masa depan, terutama jika mampu beradaptasi dan mengadopsi pendekatan yang lebih humanis dan holistik.

7.1. Relevansi di Dunia Modern

Di tengah disrupsi moral, krisis etika, dan penyebaran konten negatif di era digital, peran pengawas moral menjadi semakin penting. Wilayatul Hisbah, jika dijalankan dengan benar, dapat menjadi benteng moralitas masyarakat, bukan hanya dalam konteks Islam tetapi juga dalam nilai-nilai universal seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab sosial.

Fungsi pengawasan pasar, misalnya, tetap sangat relevan untuk melindungi konsumen dari penipuan dan praktik bisnis yang tidak etis, yang merupakan masalah universal di seluruh dunia.

7.2. Pentingnya Edukasi dan Pencegahan

Masa depan Wilayatul Hisbah terletak pada penekanan yang lebih besar pada aspek edukasi, sosialisasi, dan pencegahan, daripada hanya penindakan. Mengubah perilaku masyarakat secara fundamental memerlukan pembentukan kesadaran dan nilai-nilai dari dalam, bukan hanya ketakutan akan sanksi.

Ini berarti Wilayatul Hisbah perlu berinvestasi lebih banyak dalam program-program penyuluhan, kampanye publik yang kreatif, serta kolaborasi dengan lembaga pendidikan dan keagamaan untuk menanamkan nilai-nilai amar ma'ruf nahi munkar sejak dini.

7.3. Model Hisbah yang Adaptif dan Humanis

Wilayatul Hisbah perlu mengembangkan model yang lebih adaptif, responsif terhadap perubahan sosial, dan mengedepankan pendekatan humanis. Ini berarti:

Model ini akan membantu hisbah mendapatkan legitimasi dan dukungan yang lebih luas dari masyarakat.

7.4. Peran dalam Pembangunan Masyarakat Madani

Dalam visi jangka panjang, Wilayatul Hisbah dapat berkontribusi pada pembangunan masyarakat madani (civil society) yang kuat, yaitu masyarakat yang beradab, berbudaya, dan taat hukum. Dengan menumbuhkan kesadaran moral, menjaga etika sosial, dan memastikan keadilan ekonomi, hisbah dapat menciptakan fondasi bagi masyarakat yang harmonis, produktif, dan diridhai Allah SWT.

Ini bukan hanya tentang hukuman, tetapi tentang membentuk karakter kolektif umat yang berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan.

Kesimpulan

Wilayatul Hisbah adalah sebuah konsep yang kaya dan kompleks, berakar kuat dalam ajaran Islam dan memiliki sejarah panjang dalam peradaban Muslim. Berangkat dari perintah fundamental amar ma'ruf nahi munkar, hisbah bertujuan untuk menjaga moral masyarakat, menegakkan keadilan sosial, dan memelihara ketertiban umum.

Dari masa Nabi Muhammad SAW hingga institusionalisasinya dalam dinasti-dinasti Islam, dan manifestasinya di era modern seperti di Aceh dan Arab Saudi, Wilayatul Hisbah telah mengalami berbagai evolusi dan adaptasi. Meskipun demikian, prinsip dasarnya tetap sama: menjadi penjaga kebaikan dan pencegah kemungkaran demi kemaslahatan umat.

Di masa kini, Wilayatul Hisbah menghadapi tantangan signifikan, mulai dari isu hak asasi manusia, persepsi publik, hingga kebutuhan untuk beradaptasi dengan dinamika masyarakat global. Namun, dengan pendekatan yang humanis, edukatif, transparan, dan fokus pada pembinaan, Wilayatul Hisbah memiliki potensi besar untuk tetap relevan dan berkontribusi secara positif dalam membentuk masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ilahi. Masa depannya bergantung pada kemampuannya untuk berinovasi, berkolaborasi, dan senantiasa mengedepankan hikmah dalam setiap langkah penegakan moral dan keadilan.