Zarathustra: Pemantik Cahaya Filsafat Kuno dan Zoroastrianisme

Ilustrasi sederhana Zarathustra, sang nabi Persia kuno.

Zarathustra, atau yang lebih dikenal dengan nama Yunani Zoroaster, adalah salah satu figur paling enigmatis namun paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran manusia. Sebuah mercusuar yang muncul dari kedalaman zaman perunggu, ajaran-ajarannya tidak hanya membentuk salah satu agama tertua di dunia, Zoroastrianisme, tetapi juga secara fundamental memengaruhi banyak sistem kepercayaan yang muncul setelahnya, termasuk Yudaisme, Kristen, dan Islam. Meskipun detail kehidupannya diselimuti kabut mitos dan spekulasi sejarah, esensi pesan Zarathustra tetap relevan: sebuah seruan untuk memilih kebaikan, kebenaran, dan tanggung jawab moral pribadi dalam menghadapi dualisme kosmis antara terang dan gelap.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami misteri seputar Zarathustra, menelusuri inti ajaran-ajarannya, mengeksplorasi bagaimana Zoroastrianisme berkembang, dan menganalisis dampaknya yang luas terhadap peradaban. Kita akan mencoba memahami mengapa sosok dan filsafatnya tetap menjadi topik perdebatan, kekaguman, dan inspirasi hingga hari ini, melampaui batas-batas budaya dan waktu.

1. Siapakah Zarathustra? Misteri Sang Nabi dan Kehidupan Awalnya

Pertanyaan "Siapakah Zarathustra?" adalah inti dari studi tentang dirinya. Tidak seperti nabi-nabi yang kehidupannya didokumentasikan dengan relatif baik, Zarathustra hidup pada masa di mana catatan tertulis sangat langka. Sebagian besar informasi yang kita miliki berasal dari Gathas, kumpulan himne atau nyanyian yang diyakini secara luas ditulis olehnya sendiri, dan dari Avesta yang lebih kemudian, teks-teks suci Zoroastrianisme yang dikumpulkan dan ditransmisikan secara lisan selama berabad-abad sebelum akhirnya dituliskan.

1.1. Perdebatan Mengenai Periode Hidupnya

Salah satu aspek paling membingungkan tentang Zarathustra adalah penetapan waktu hidupnya. Para sarjana telah mengusulkan rentang waktu yang sangat luas, dari sekitar 6000 SM hingga 600 SM. Perbedaan signifikan ini menunjukkan betapa sulitnya melacak jejak sejarahnya secara akurat. Namun, konsensus modern di antara para ahli bahasa Iran dan sejarawan cenderung menempatkannya di suatu tempat antara 1500 SM dan 1000 SM. Penempatan ini didasarkan pada analisis linguistik Gathas, yang bahasanya (Old Avestan) sangat mirip dengan Rigveda India kuno, menunjukkan korelasi budaya dan linguistik pada periode tersebut. Jika tanggal ini akurat, ia akan menjadi salah satu tokoh agama dan filsafat tertua yang dikenal dalam sejarah manusia, mendahului Buddha, Konfusius, dan para nabi Ibrani.

1.2. Latar Belakang Geografis dan Sosial

Tempat kelahiran Zarathustra juga tidak pasti. Sumber-sumber Zoroastrianisme kemudian menunjukkan wilayah Persia timur, kemungkinan besar di sekitar wilayah yang sekarang menjadi Afghanistan, Uzbekistan, atau Turkmenistan. Ini adalah daerah di mana budaya Indo-Iran awal berkembang, ditandai dengan praktik-praktik pastoral, pemujaan banyak dewa (daevas), dan ritual kurban hewan.

Nama lengkap Zarathustra sering disebut sebagai Spitama Zarathushtra. "Spitama" adalah nama keluarganya, menunjukkan garis keturunan yang terhormat. Ia lahir dari keluarga imam atau ksatria, dan dari Gathas, kita bisa membayangkan masyarakatnya sebagai masyarakat pertanian-pastoral yang sering menghadapi konflik antara suku-suku dan ancaman bandit. Kekerasan, ketidakadilan, dan kebohongan tampaknya menjadi masalah yang ia lihat di sekitarnya, yang mendorongnya mencari kebenaran dan keadilan.

1.3. Panggilan dan Wahyu

Menurut tradisi, pada usia 30 tahun, Zarathustra menerima serangkaian wahyu ilahi. Kisah paling terkenal adalah pertemuannya dengan Vohu Manah ("Pikiran Baik"), salah satu dari Amesha Spentas (Entitas Ilahi Abadi) yang mendekatinya di tepi sungai. Vohu Manah membimbingnya ke hadapan Ahura Mazda ("Tuhan yang Bijaksana"), sang Pencipta yang Maha Baik, yang kemudian mengungkapkan kebenaran universal kepadanya.

Pengalaman wahyu ini mengubah hidup Zarathustra. Ia menjadi seorang nabi, seorang pembawa pesan yang ditugaskan untuk membersihkan praktik-praktik keagamaan pada zamannya, yang ia anggap korup dan menyesatkan. Ia menentang ritual yang melibatkan kekerasan terhadap hewan, pemujaan dewa-dewa (daevas) yang ia anggap sebagai kekuatan jahat atau ilusi, dan penggunaan zat-zat halusinogen dalam ritual. Pesannya adalah seruan untuk reformasi moral dan spiritual yang radikal.

2. Inti Ajaran Zarathustra: Monoteisme Etis dan Dualisme Kosmis

Ajaran Zarathustra, seperti yang tercermin dalam Gathas, adalah revolusioner pada masanya. Ini memperkenalkan konsep-konsep yang kemudian menjadi fondasi bagi banyak agama besar dunia, terutama monoteisme etis dan dualisme kosmis.

2.1. Ahura Mazda: Tuhan yang Maha Bijaksana

Pusat dari ajaran Zarathustra adalah pengakuan terhadap Ahura Mazda sebagai satu-satunya Tuhan yang tak diciptakan, Maha Bijaksana, Maha Baik, dan Pencipta segala sesuatu yang baik. Ahura Mazda bukanlah salah satu dari banyak dewa, melainkan satu-satunya entitas yang layak disembah. Ia adalah sumber kebenaran (Asha), tatanan, kreativitas, dan semua kebajikan.

Ahura Mazda bersifat transenden, namun juga imanen melalui emanasi atau aspek-aspek ilahi-Nya yang disebut Amesha Spentas, yang akan kita bahas lebih lanjut. Penekanan pada Ahura Mazda sebagai Tuhan yang secara eksklusif baik dan bijaksana adalah fundamental, membedakannya dari dewa-dewa lain yang seringkali memiliki karakter ambigu atau amoral dalam mitologi Indo-Iran kuno.

2.2. Dualisme Kosmis: Spenta Mainyu dan Angra Mainyu

Meskipun Ahura Mazda adalah satu-satunya Pencipta yang baik, dunia yang kita kenal dipenuhi dengan penderitaan, kejahatan, dan kehancuran. Untuk menjelaskan paradoks ini tanpa mengkompromikan kebaikan Ahura Mazda, Zarathustra memperkenalkan konsep dualisme kosmis. Bukan Ahura Mazda yang menciptakan kejahatan, melainkan ada dua Roh (Mainyu) primordial yang eksis sejak awal:

Kedua Roh ini telah berkonflik sejak awal waktu, dan konflik ini terwujud dalam dunia material. Manusia dan seluruh alam semesta adalah medan pertempuran bagi kedua kekuatan ini. Penting untuk dicatat bahwa dualisme ini adalah dualisme etis dan bukan dualisme metafisik di mana dua tuhan yang setara saling bertarung. Ahura Mazda, sebagai Pencipta Spenta Mainyu, pada akhirnya akan menang, karena Angra Mainyu adalah kekuatan destruktif yang tidak bisa menciptakan, hanya merusak.

2.3. Kebebasan Berkehendak dan Tanggung Jawab Moral

Salah satu kontribusi paling revolusioner dari Zarathustra adalah penekanannya pada kebebasan berkehendak manusia (vohu manah dalam arti memilih dengan pikiran baik) dan tanggung jawab moral individu. Dalam konflik antara Spenta Mainyu dan Angra Mainyu, manusia tidak pasif. Setiap individu harus memilih antara Asha (Kebenaran/Tatanan) dan Druj (Kebohongan/Kekacauan).

Pilihan ini bukan hanya tentang ritual atau kurban, melainkan tentang cara seseorang berpikir, berbicara, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Konsekuensi dari pilihan ini tidak hanya memengaruhi kehidupan individu, tetapi juga berkontribusi pada kemajuan atau kemunduran alam semesta menuju tujuan akhir, yaitu Frashokereti (pembaharuan total dunia). Ini menempatkan beban tanggung jawab yang berat dan mulia pada setiap manusia, menjadikannya agen aktif dalam drama kosmis.

2.4. Tiga Pilar Kebajikan: Pikiran, Perkataan, dan Perbuatan Baik

Ajaran etika Zarathustra dapat diringkas dalam tiga prinsip dasar yang menjadi moto Zoroastrianisme:

  1. Humata (Pikiran Baik): Berpikir secara konstruktif, positif, dan etis, selaras dengan kebenaran (Asha). Ini adalah dasar dari semua kebajikan, karena tindakan berasal dari pikiran.
  2. Hukhta (Perkataan Baik): Berbicara jujur, penuh kasih, dan membangun. Hindari kebohongan, fitnah, dan kata-kata yang menyakitkan.
  3. Hvarshta (Perbuatan Baik): Bertindak dengan integritas, keadilan, dan belas kasih. Berusaha untuk mempromosikan kebaikan, membantu sesama, dan menjaga lingkungan.

Ketiga pilar ini saling terkait dan merupakan jalan praktis untuk menjalani hidup sesuai dengan kehendak Ahura Mazda, membantu Spenta Mainyu dalam perjuangannya melawan Angra Mainyu.

3. Pilar-pilar Zoroastrianisme: Konsep Kunci dan Praktik

Zoroastrianisme, agama yang didirikan oleh Zarathustra, berkembang dengan serangkaian konsep dan praktik yang mendalam, membentuk identitasnya yang unik.

3.1. Amesha Spentas: Entitas Ilahi Abadi

Amesha Spentas (secara harfiah "Keabadian yang Melimpah" atau "Entitas Suci yang Abadi") adalah enam "percikan" atau aspek dari Ahura Mazda sendiri. Mereka bukan dewa terpisah, melainkan personifikasi dari atribut ilahi yang melaluinya Ahura Mazda berinteraksi dengan dunia ciptaan dan membimbing umat manusia. Mereka juga sering dikaitkan dengan aspek-aspek alam:

Bersama Ahura Mazda sebagai yang ketujuh, Amesha Spentas ini membentuk inti dari kosmologi etis Zoroastrianisme. Mereka mewakili jalur bagi manusia untuk mendekati dan memahami sifat Tuhan.

3.2. Pentingnya Api sebagai Simbol

Simbol api suci, representasi kebenaran ilahi dan kemurnian dalam Zoroastrianisme.

Api memegang peran sentral dalam ritual Zoroastrian, bukan sebagai objek pemujaan itu sendiri, melainkan sebagai simbol suci. Api melambangkan Asha Vahishta (Kebenaran Terbaik), kemurnian, terang, dan kehadiran Ahura Mazda. Dalam kuil api (Ateshgah), api suci dijaga agar tidak pernah padam, berfungsi sebagai fokus untuk doa dan meditasi.

Cahaya api mengingatkan umat pada kebaikan Ahura Mazda yang tak terbatas dan kemenangan terang atas kegelapan. Ia juga merupakan simbol pemurnian dan pembaruan. Kehadiran api dalam ritual membantu individu fokus pada prinsip-prinsip ilahi dan menjaga pikiran tetap murni. Asapnya dipercaya membawa doa-doa ke surga, sementara panasnya melambangkan semangat dan gairah untuk kebenaran.

3.3. Kosmologi dan Eskatologi: Frashokereti

Zoroastrianisme memiliki kosmologi yang rinci tentang sejarah dunia, yang dibagi menjadi tiga periode 3000 tahun:

  1. Penciptaan: Ahura Mazda menciptakan dunia spiritual dan material dalam kesempurnaan.
  2. Pencampuran: Angra Mainyu menyerbu ciptaan yang baik, menyebabkan dualisme dan konflik di dunia. Ini adalah periode saat ini.
  3. Pemisahan/Pembaruan (Frashokereti): Akhirnya, kebaikan akan menang, Angra Mainyu akan dikalahkan dan diusir, dan dunia akan dimurnikan dan diperbarui kembali ke keadaan sempurna aslinya.

Konsep Frashokereti adalah inti dari eskatologi Zoroastrian. Ini adalah pembaruan total dunia, di mana semua kejahatan, penderitaan, dan kematian akan dihilangkan. Ini bukan akhir dunia dalam arti kehancuran total, melainkan restorasi keadaannya yang murni dan tanpa cela. Pada akhirnya, akan ada pengadilan akhir bagi semua jiwa. Individu yang telah memilih Asha akan bersatu dengan Ahura Mazda, sementara Angra Mainyu dan para pengikutnya akan dimusnahkan.

Pentingnya konsep ini adalah bahwa waktu memiliki tujuan, dan sejarah adalah proses menuju kemenangan kebaikan yang pasti. Manusia memiliki peran aktif dalam mempercepat atau menghambat proses ini melalui pilihan moral mereka.

4. Kitab Suci: Avesta dan Gathas

Sumber utama ajaran Zarathustra dan praktik Zoroastrianisme terdapat dalam kitab suci mereka, Avesta.

4.1. Avesta: Kumpulan Teks Suci

Avesta adalah koleksi teks suci Zoroastrianisme. Awalnya, Avesta diyakini jauh lebih besar, mencakup berbagai topik mulai dari hukum hingga kedokteran. Namun, sebagian besar hilang selama penaklukan Persia oleh Alexander Agung dan kemudian oleh Arab Muslim. Apa yang tersisa sekarang adalah fragmen dari korpus yang jauh lebih besar. Avesta yang ada saat ini dibagi menjadi beberapa bagian utama:

Bahasa Avesta sendiri adalah bahasa Iran kuno yang unik, mirip dengan bahasa Sanskerta Veda.

4.2. Gathas: Suara Langsung Zarathustra

Dari semua bagian Avesta, Gathas adalah yang paling penting dan sakral. Gathas terdiri dari 17 himne atau nyanyian yang secara universal diyakini sebagai tulisan tangan Zarathustra sendiri. Mereka ditulis dalam dialek yang lebih tua dari bahasa Avesta, yang disebut Old Avestan, dan memiliki gaya puitis yang kompleks.

Gathas adalah sumber paling otentik untuk memahami pikiran dan ajaran Zarathustra secara langsung. Di dalamnya, kita mendengar suara Zarathustra yang merenungkan misteri ilahi, menyerukan keadilan, mengecam kebohongan, dan memuji Ahura Mazda. Gathas bukanlah narasi dogmatis, melainkan ekspresi puitis dari wahyu, renungan filosofis, dan seruan moral yang mendalam.

Isi Gathas mencakup banyak tema kunci:

Memahami Gathas adalah kunci untuk memahami Zoroastrianisme otentik. Meskipun teks-teks Avesta selanjutnya mengembangkan dan menafsirkan ajaran Zarathustra, Gathas tetap menjadi fondasi dan standar keaslian.

5. Pengaruh Zarathustra dan Zoroastrianisme terhadap Peradaban

Meskipun jumlah penganutnya relatif kecil di dunia modern, pengaruh Zarathustra dan Zoroastrianisme terhadap perkembangan pemikiran agama dan filsafat sangatlah monumental.

5.1. Pengaruh Terhadap Agama-agama Abrahamik

Para sarjana modern banyak mengakui bahwa konsep-konsep Zoroastrianisme memiliki dampak signifikan pada Yudaisme, Kristen, dan Islam. Pengaruh ini kemungkinan besar terjadi selama periode Kekaisaran Akhaemeniyah (Persia) ketika bangsa Yahudi berada di pengasingan di Babilonia dan kemudian kembali di bawah kekuasaan Persia. Beberapa konsep yang diyakini berasal atau diperkuat oleh Zoroastrianisme meliputi:

Pengaruh ini tidak berarti bahwa agama-agama Abrahamik "menyalin" Zoroastrianisme, melainkan bahwa mereka berinteraksi dan mengadopsi atau mengembangkan konsep-konsep serupa yang mungkin telah matang dalam konteks Zoroastrianisme.

5.2. Nietzsche dan "Thus Spoke Zarathustra"

Di era modern, figur Zarathustra kembali mencuat melalui karya filosof Jerman Friedrich Nietzsche, "Also Sprach Zarathustra" (Demikianlah Sabda Zarathustra). Penting untuk dicatat bahwa Zarathustra dalam karya Nietzsche bukanlah Zarathustra historis atau pendiri Zoroastrianisme. Nietzsche menggunakan nama ini sebagai medium sastra untuk menyampaikan filosofinya sendiri, termasuk konsep "Übermensch" (Manusia Super), kehendak untuk berkuasa, dan eternal recurrence. Nietzsche memilih Zarathustra karena ia melihatnya sebagai pemberi hukum moral pertama dalam sejarah (dengan dualisme etisnya), dan oleh karena itu, ia harus menjadi yang pertama untuk "mengatasi" moralitas tersebut.

Karya Nietzsche ini, meskipun tidak secara akurat merepresentasikan ajaran Zoroastrianisme, memperkenalkan nama "Zarathustra" kepada khalayak luas di Barat dan memicu minat baru pada tokoh sejarah yang sebenarnya.

5.3. Zoroastrianisme di Dunia Modern

Saat ini, Zoroastrianisme adalah agama minoritas dengan populasi yang relatif kecil, diperkirakan antara 100.000 hingga 200.000 jiwa di seluruh dunia. Komunitas terbesar ada di India, di mana mereka dikenal sebagai Parsi, keturunan imigran Persia yang melarikan diri dari penaklukan Muslim berabad-abad yang lalu. Ada juga komunitas yang signifikan di Iran (terutama di Yazd dan Kerman), serta diaspora di Amerika Utara, Eropa, dan Australia.

Meskipun kecil, komunitas Zoroastrian telah memberikan kontribusi besar pada masyarakat di mana mereka tinggal, terutama di India, dikenal karena etos kerja, pendidikan, dan filantropi mereka. Mereka menghadapi tantangan modern, termasuk masalah asimilasi, penurunan angka kelahiran, dan pertanyaan tentang konversi, karena Zoroastrianisme secara tradisional tidak aktif mencari penganut baru.

6. Zarathustra: Mitos, Fakta, dan Interpretasi Berkelanjutan

Sulit untuk memisahkan mitos dari fakta dalam studi Zarathustra. Sebagian besar narasi tentang hidupnya telah diperkaya oleh tradisi lisan dan penafsiran generasi-generasi selanjutnya. Namun, bahkan dalam kabut ini, pesan intinya tetap bersinar.

6.1. Zarathustra sebagai Arketipe

Bagi banyak orang, Zarathustra berfungsi sebagai arketipe—seorang nabi-filsuf yang berani menantang status quo, mencari kebenaran yang lebih tinggi, dan menyerukan reformasi moral. Kisahnya tentang kesepian dalam menyampaikan pesan yang revolusioner, penolakan awal, dan akhirnya penerimaan oleh seorang penguasa (Raja Vishtaspa) mencerminkan pola universal dari banyak pendiri agama atau reformis.

Dia adalah perwujudan dari keberanian intelektual dan spiritual, seseorang yang dengan sengaja memilih jalan kebaikan meskipun menghadapi perlawanan. Pesannya yang berpusat pada pilihan individu dan tanggung jawab etis menempatkannya sebagai salah satu pemikir humanis paling awal.

6.2. Relevansi Abadi Ajaran Zarathustra

Terlepas dari usianya yang ribuan tahun, ajaran Zarathustra tetap memiliki resonansi yang kuat di dunia modern:

6.3. Membedakan Zarathustra dari "Zoroaster" Lain

Penting untuk terus menekankan perbedaan antara Zarathustra historis (seorang nabi Persia kuno) dan tokoh "Zoroaster" yang muncul dalam konteks esoterik Barat atau filosofi Nietzsche. Tokoh-tokoh ini seringkali merupakan konstruksi yang sangat berbeda dari sang nabi yang sebenarnya, meskipun mereka menarik inspirasi dari aura mistis dan kebijaksanaan kuno yang melekat pada namanya. Mempelajari Zarathustra yang sebenarnya membutuhkan kembali ke sumber-sumber primer seperti Gathas dan Avesta.

7. Zoroastrianisme Pasca-Zarathustra: Perkembangan dan Transformasi

Ajaran Zarathustra tidak statis; ia berkembang seiring waktu, beradaptasi dengan konteks budaya dan politik yang berbeda. Setelah periode Gathic murni, Zoroastrianisme mengalami serangkaian perkembangan.

7.1. Integrasi dengan Kepercayaan Lama

Seiring dengan penyebaran ajaran Zarathustra ke seluruh Persia, beberapa elemen dari kepercayaan Indo-Iran pra-Zoroastrian (Mazdaisme) diintegrasikan kembali ke dalam agama. Deva-dewa yang sebelumnya ditolak oleh Zarathustra sebagai "daeva" (roh jahat) kadang-kadang diinterpretasikan ulang sebagai Yazatas (makhluk yang layak disembah atau malaikat) yang membantu Ahura Mazda. Misalnya, Mithra, dewa perjanjian dan matahari yang populer, kembali memegang peran penting sebagai Yazata agung. Ini menunjukkan bahwa meskipun pesan inti Zarathustra tetap monoteistik etis, praktik dan kosmologi Zoroastrianisme selanjutnya mengakomodasi elemen-elemen kepercayaan rakyat, memperkaya tetapi juga mungkin sedikit mengencerkan kesederhanaan pesan asli Gathic.

7.2. Periode Kekaisaran Persia

Zoroastrianisme mencapai puncaknya sebagai agama negara di bawah kekaisaran-kekaisaran Persia berturut-turut: Akhaemeniyah (sekitar 550–330 SM), Parthia (247 SM–224 M), dan Sasaniyah (224–651 M).

Selama periode Akhaemeniyah, khususnya di bawah Cyrus Agung dan Darius Agung, Zoroastrianisme tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai agama negara, tetapi Ahura Mazda dipuja secara luas, dan nilai-nilai Zoroastrianisme (seperti kebenaran, keadilan, dan tatanan) jelas tercermin dalam inskripsi kerajaan dan administrasi kekaisaran. Toleransi agama yang ditunjukkan oleh Akhaemeniyah, seperti pembebasan bangsa Yahudi dari Babilonia, sering dikaitkan dengan etika Zoroastrian.

Di bawah Sasaniyah, Zoroastrianisme menjadi sangat mapan dan terorganisir, dengan hierarki kependetaan yang kuat (Mobads) dan kodifikasi Avesta yang lebih sistematis. Kuil-kuil api didirikan di seluruh kekaisaran, dan agama ini memainkan peran sentral dalam identitas budaya dan politik Persia. Namun, pada periode ini juga muncul beberapa rigiditas doktrinal dan ritualistik yang mungkin berbeda dari semangat Gathic Zarathustra.

7.3. Manichaeisme dan Zurvanisme

Pengaruh Zoroastrianisme begitu kuat sehingga melahirkan berbagai sekte dan gerakan. Manichaeisme, yang didirikan oleh nabi Mani di abad ke-3 M, adalah salah satu contohnya. Manichaeisme mengambil dualisme Zoroastrian dan memperluasnya menjadi dualisme metafisik yang lebih ekstrem, di mana terang dan gelap adalah dua kekuatan setara yang berjuang tanpa akhir, dan materi dianggap jahat. Meskipun akhirnya dianggap bid'ah oleh Zoroastrian arus utama dan ditekan, Manichaeisme menyebar luas dari Cina hingga Eropa dan bahkan memengaruhi pemikiran St. Agustinus dari Hippo.

Zurvanisme adalah aliran Zoroastrian yang muncul di periode Sasaniyah, yang berpendapat bahwa Ahura Mazda dan Angra Mainyu bukanlah entitas primordial, melainkan keduanya lahir dari satu prinsip awal yang lebih tinggi, yaitu Zurvan (Waktu tak terbatas). Ini adalah upaya untuk mengatasi dualisme murni dan memperkenalkan bentuk monisme, meskipun tidak pernah menjadi ortodoksi utama.

7.4. Penurunan Setelah Penaklukan Islam

Dengan penaklukan Persia oleh Arab Muslim pada abad ke-7 M, Zoroastrianisme mengalami penurunan drastis. Banyak kuil api dihancurkan atau diubah menjadi masjid, dan penganutnya dihadapkan pada pilihan untuk berpindah agama, membayar pajak jizya (pajak bagi non-Muslim), atau melarikan diri. Sebagian besar penduduk Persia akhirnya memeluk Islam. Komunitas Zoroastrian yang tetap ada di Iran hidup sebagai minoritas yang seringkali menghadapi diskriminasi.

Sebagian besar Zoroastrian yang menolak konversi bermigrasi, terutama ke India, di mana mereka dikenal sebagai Parsi (secara harfiah "orang Persia"). Di sana, mereka menemukan perlindungan dan membangun kembali komunitas yang berkembang pesat, menjaga tradisi dan ajaran mereka hingga hari ini.

8. Aspek Lingkungan dan Purity dalam Zoroastrianisme

Salah satu aspek yang semakin relevan dari Zoroastrianisme adalah penekanannya pada kemurnian (purity) dan perlindungan lingkungan, yang berakar pada pandangan dunia yang melihat ciptaan Ahura Mazda sebagai suci.

8.1. Kesucian Elemen Alam

Bagi Zoroastrian, empat elemen utama alam—api, air, tanah, dan udara—dianggap suci karena mereka adalah manifestasi dari ciptaan Ahura Mazda yang baik. Oleh karena itu, mereka harus dijaga agar tetap murni dan tidak dinajiskan oleh polusi atau elemen-elemen yang berkaitan dengan kematian dan pembusukan, yang diyakini berasal dari Angra Mainyu.

Konsep-konsep ini menghasilkan praktik-praktik unik, seperti "menara kesunyian" atau Dakhmas, tempat mayat diekspos agar dimakan oleh burung pemakan bangkai, sehingga tidak menajiskan tanah, air, atau api melalui penguburan atau kremasi.

8.2. Etika Lingkungan

Dari kesucian elemen-elemen ini, muncul etika lingkungan yang kuat. Zoroastrianisme mengajarkan bahwa manusia adalah penjaga (stewards) ciptaan Ahura Mazda. Tugas mereka adalah merawat dunia, mempromosikan kehidupan, dan memerangi kerusakan yang disebabkan oleh Angra Mainyu. Ini termasuk pertanian yang bertanggung jawab, pemeliharaan air bersih, dan pencegahan polusi.

Pada saat krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang parah, pesan Zoroastrianisme tentang pentingnya menjaga kemurnian alam dan tanggung jawab manusia sebagai penjaga bumi memiliki relevansi yang luar biasa. Ini adalah panggilan untuk hidup selaras dengan alam dan menghormati setiap aspek ciptaan sebagai anugerah ilahi.

8.3. Kemurnian Ritual dan Fisik

Selain kemurnian lingkungan, kemurnian pribadi—baik fisik maupun spiritual—juga sangat ditekankan. Ritual pembersihan dilakukan untuk menghilangkan najis ritual, dan ada penekanan pada kebersihan tubuh dan pikiran. Namun, kemurnian ini tidak bersifat legalistik semata; ia dimaksudkan untuk mencerminkan kemurnian batin dan keselarasan dengan Asha.

Konsep kemurnian ini mengingatkan umat bahwa tubuh adalah kuil, dan ciptaan adalah anugerah. Dengan menjaga kemurnian diri dan lingkungan, individu turut serta dalam perjuangan kosmis Ahura Mazda melawan Angra Mainyu, dan mempersiapkan diri untuk Frashokereti.

9. Kesimpulan: Legasi Abadi Sang Pemantik Cahaya

Zarathustra, seorang nabi dari zaman yang sangat kuno, tetap menjadi salah satu pemikir yang paling berpengaruh, meskipun seringkali kurang dikenal, dalam sejarah manusia. Meskipun detail kehidupannya sebagian besar tersesat dalam lautan waktu dan mitos, esensi pesan-pesannya—sebuah panggilan untuk memilih kebaikan di atas kejahatan, kebenaran di atas kebohongan, dan tanggung jawab moral pribadi—telah membentuk fondasi peradaban dan terus menginspirasi generasi.

Zoroastrianisme, agama yang ia dirikan, adalah bukti nyata dari kekuatan visi Zarathustra. Dari dualisme etis yang mendalam hingga eskatologi yang optimis, dari penekanan pada pikiran baik, perkataan baik, dan perbuatan baik hingga penghormatan yang mendalam terhadap alam, ajaran-ajarannya telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada lanskap keagamaan dan filosofis dunia.

Melalui pengaruhnya terhadap agama-agama besar dunia, melalui resonansinya dalam pemikiran filosofis modern, dan melalui kelangsungan hidup komunitas Zoroastrian yang berdedikasi, Zarathustra terus menjadi "pemantik cahaya." Cahaya ini bukan hanya menerangi jalan spiritual bagi para pengikutnya, tetapi juga menawarkan perspektif yang berharga tentang etika, kosmologi, dan tempat manusia dalam drama kosmis yang lebih besar—sebuah pesan yang, ribuan tahun kemudian, tetap relevan, mendesak, dan penuh harapan.

Mempelajari Zarathustra adalah bukan sekadar perjalanan ke masa lalu, melainkan sebuah eksplorasi ke dalam dasar-dasar pemikiran etis yang masih membentuk dunia kita. Ini adalah pengingat bahwa keputusan moral individu memiliki kekuatan untuk mengubah tidak hanya hidup pribadi, tetapi juga arah seluruh alam semesta.