Dalam lanskap budaya Jepang yang kaya dan berlapis-lapis, ada sebuah bentuk seni yang telah mengalir seperti sungai abadi dari masa lalu kuno hingga era modern, membawa serta esensi emosi, observasi, dan filsafat. Bentuk seni ini dikenal sebagai waka (和歌). Secara harfiah berarti "puisi Jepang," waka adalah istilah umum untuk berbagai genre puisi yang ditulis dalam bahasa Jepang, berlawanan dengan puisi yang ditulis dalam bahasa Tiongkok (kanshi). Waka bukan sekadar kumpulan kata-kata yang diatur; ia adalah cerminan jiwa, keindahan alam, dan kompleksitas hubungan manusia, diukir dalam frasa-frasa yang ringkas namun mendalam. Sepanjang sejarahnya yang panjang, waka telah menjadi medium utama untuk ekspresi pribadi, komunikasi di istana, refleksi spiritual, dan perayaan keindahan dunia di sekitar.
Meskipun sering disamakan atau dibayangi oleh saudaranya yang lebih terkenal, haiku, waka sebenarnya adalah akar dari banyak bentuk puisi Jepang lainnya dan memiliki sejarah yang jauh lebih panjang serta kedalaman struktural yang berbeda. Waka adalah fondasi dari tradisi puitis Jepang, sebuah bentuk seni yang telah beradaptasi, berevolusi, dan tetap relevan melalui berabad-abad perubahan sosial dan budaya. Memahami waka adalah menyelami inti estetika Jepang, filosofi, dan cara pandang terhadap eksistensi.
Artikel ini akan mengupas tuntas dunia waka, dari asal-usulnya yang kuno hingga pengaruhnya di masa kini. Kita akan menjelajahi evolusi sejarahnya, bentuk-bentuk utamanya, tema-tema yang sering diangkat, tokoh-tokoh penyair terkemuka, serta relevansinya yang terus berlanjut dalam budaya Jepang. Dengan ini, kita berharap dapat membuka jendela bagi pembaca untuk menghargai keindahan dan kedalaman waka, sebuah permata abadi dari seni puisi Jepang.
Asal-Usul dan Evolusi Sejarah Waka
Sejarah waka dapat ditelusuri kembali ke periode awal sejarah Jepang, jauh sebelum pengaruh Tiongkok yang signifikan membentuk banyak aspek budaya dan pemerintahan. Pada awalnya, puisi di Jepang tidak memiliki bentuk atau nama yang spesifik, sering kali hanya berupa lagu-lagu atau syair lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Kata "waka" sendiri muncul sebagai pembeda ketika literasi Tiongkok dan puisi Tiongkok (kanshi) mulai masuk dan populer di Jepang, terutama di kalangan istana dan intelektual. Dengan demikian, "waka" secara harfiah berarti "puisi Jepang," membedakannya dari "kanshi" atau "puisi Han (Tiongkok)."
Periode Kuno (Pra-Heian): Man'yōshū dan Fondasi Puisi
Dokumen tertulis tertua yang memuat koleksi waka adalah Man'yōshū (万葉集), yang secara harfiah berarti "Kumpulan Sepuluh Ribu Daun." Disusun pada akhir abad ke-8 (sekitar tahun 759 M), Man'yōshū adalah antologi puisi Jepang tertua dan terbesar, terdiri dari lebih dari 4.500 puisi yang ditulis selama periode sekitar 130 tahun, dari pertengahan abad ke-7 hingga pertengahan abad ke-8. Ini adalah harta karun yang tak ternilai yang mencerminkan kehidupan, pikiran, dan perasaan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat di Jepang kuno.
Puisi-puisi dalam Man'yōshū mencakup berbagai tema, mulai dari cinta dan kematian, hingga keindahan alam, perjalanan, dan tugas patriotik. Yang menarik, Man'yōshū tidak hanya berisi puisi dari bangsawan istana, tetapi juga dari prajurit, petani, dan bahkan orang biasa, memberikan gambaran yang luas tentang masyarakat Jepang pada masa itu. Puisi-puisi ini ditulis menggunakan sistem penulisan yang disebut man'yōgana, yaitu penggunaan karakter Tiongkok (kanji) secara fonetik untuk merepresentasikan suara-suara Jepang, sebuah sistem yang rumit dan tidak baku.
Bentuk-bentuk waka yang ditemukan dalam Man'yōshū meliputi:
- Chōka (長歌 - "lagu panjang"): Puisi yang lebih panjang dengan pola suku kata 5-7-5-7... dan diakhiri dengan 7-7. Panjangnya bervariasi, bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan baris.
- Tanka (短歌 - "lagu pendek"): Bentuk yang paling umum dan menjadi tulang punggung waka, dengan pola suku kata 5-7-5-7-7. Ini akan menjadi fokus utama kita.
- Sedōka (旋頭歌 - "lagu kepala berulang"): Pola 5-7-7-5-7-7.
- Bussokusekika (仏足石歌 - "puisi batu tapak Buddha"): Pola 5-7-5-7-7-7, ditemukan pada prasasti batu tapak Buddha.
Karya-karya dari penyair seperti Kakinomoto no Hitomaro, yang dianggap sebagai salah satu penyair terbesar dalam sejarah Jepang, dan Yamabe no Akahito, banyak ditemukan dalam Man'yōshū. Mereka menggambarkan lanskap alam dengan detail yang kaya dan emosi yang mendalam, menetapkan standar untuk puisi waka di masa depan.
Okuyama ni Momiji fumiwake Naku shika no Koe kiku toki zo Aki wa kanashiki "Di pegunungan dalam,
Menginjak daun maple,
Rusa jantan meratap,
Saat kudengar suaranya,
Betapa menyedihkan musim gugur."
— Kakinomoto no Hitomaro (dari Man'yōshū)
Periode Heian (794-1185): Puncak Keemasan Waka
Periode Heian dianggap sebagai zaman keemasan waka. Dengan berdirinya ibu kota di Heian-kyō (Kyoto modern), budaya istana mencapai puncaknya. Waka menjadi bentuk komunikasi dan ekspresi yang esensial di antara kaum bangsawan, terutama dalam konteks cinta, persahabatan, dan acara sosial. Puisi sering digunakan untuk merayu, menyampaikan perasaan, atau menanggapi situasi tertentu, bahkan sering dipertukarkan di antara pria dan wanita sebagai bagian dari ritual percintaan yang rumit.
Antologi waka kekaisaran pertama, Kokin Wakashū (古今和歌集 - "Kumpulan Puisi Jepang Kuno dan Modern"), disusun pada awal abad ke-10 (sekitar tahun 905 M) di bawah perintah Kaisar Daigo. Ini adalah upaya untuk mengumpulkan dan melestarikan waka-waka terbaik yang ada, dengan sebagian besar puisi berformat tanka. Kokin Wakashū lebih fokus pada keanggunan, keindahan, dan teknik puitis dibandingkan Man'yōshū yang lebih kasar dan spontan. Para penyusunnya, seperti Ki no Tsurayuki, juga menulis kata pengantar (kana-jo) yang terkenal, yang menjadi esai kritik sastra penting tentang waka.
Tema-tema dalam waka Heian sangat dipengaruhi oleh estetika istana, seperti miyabi (keanggunan istana), mono no aware (kesedihan manis dari hal-hal yang fana), dan yūgen (keindahan misterius dan mendalam). Musim-musim, cinta yang tak terbalas, perpisahan, dan kesendirian adalah motif yang berulang.
Penyair-penyair terkenal dari periode ini meliputi:
- Ono no Komachi: Seorang penyair wanita legendaris yang terkenal karena kecantikannya dan puisi-puisinya tentang cinta dan kerapuhan kecantikan.
- Izumi Shikibu: Penyair wanita lain yang menonjol, dikenal karena puisi-puisinya yang penuh gairah dan introspeksi tentang cinta dan spiritualitas.
- Murasaki Shikibu: Meskipun lebih dikenal sebagai penulis novel Hikayat Genji, ia juga seorang penyair waka ulung.
- Ki no Tsurayuki: Salah satu penyusun Kokin Wakashū dan penyair penting.
Hana no iro wa Utsurinikeri na Itazura ni Waga mi yo ni furu Nagame seshi ma ni "Warna bunga
Telah memudar sepenuhnya,
Sia-sia saja
Sementara aku, di dunia ini,
Melewati waktu dalam hujan lebat."
— Ono no Komachi (dari Kokin Wakashū)
Periode Abad Pertengahan (Kamakura-Muromachi): Perubahan dan Inovasi
Setelah kemerosotan kekuasaan istana dan munculnya kelas samurai, waka terus berkembang, meskipun dengan nada yang sedikit berbeda. Antologi kekaisaran terus disusun, yang paling penting adalah Shin Kokin Wakashū (新古今和歌集 - "Kumpulan Baru Puisi Jepang Kuno dan Modern"), yang diselesaikan pada awal abad ke-13. Shin Kokin Wakashū dikenal karena estetika yang lebih canggih, ambigu, dan seringkali melankolis, yang mencerminkan ketidakpastian zaman perang saudara.
Penyair Shin Kokin cenderung menggunakan imaji yang lebih kompleks dan teknik-teknik puitis yang inovatif, seperti yōen (keindahan yang mempesona dan misterius) dan usubunrui (klasifikasi sub-kategori), serta penggunaan honkadori (mengambil referensi dari puisi lama untuk menciptakan makna baru) secara ekstensif. Suasana Zen Buddhisme yang mulai menyebar juga memberikan nuansa kesendirian, kefanaan, dan pencerahan pada puisi.
Tokoh sentral periode ini adalah Fujiwara no Teika, seorang penyair dan kritikus yang sangat berpengaruh. Dia mengembangkan standar puitis baru dan teknik yang sangat mempengaruhi generasi penyair berikutnya.
Komarō yo Kureyuku aki no Miyakoji no Nagaki yo no michi Hitori yukuran "Oh rusa kecil,
Di senja musim gugur,
Jalan menuju ibu kota
Panjang malam ini,
Akankah ia berjalan sendirian?"
— Fujiwara no Teika (dari Shin Kokin Wakashū)
Selama periode ini, muncul juga bentuk puisi berantai yang disebut renga (連歌), yang melibatkan beberapa penyair yang secara bergantian menambahkan stanza-stanza (biasanya tanka) untuk menciptakan sebuah narasi atau rangkaian gambar. Renga kemudian menjadi cikal bakal haikai no renga, yang kelak melahirkan haiku modern.
Periode Edo (1603-1868) dan Modern: Penurunan dan Kebangkitan Kembali
Pada periode Edo, popularitas waka sedikit menurun karena bangkitnya haiku, yang lebih ringkas dan dapat diakses oleh masyarakat luas. Namun, waka tidak pernah sepenuhnya hilang. Beberapa aliran waka tradisional terus berlanjut, dan ada upaya untuk menghidupkan kembali minat pada waka kuno, terutama Man'yōshū, oleh para cendekiawan seperti Motoori Norinaga. Penekanan bergeser dari keanggunan istana menuju pemahaman yang lebih tulus tentang "semangat Jepang" (kokoro) yang diyakini terdapat dalam puisi-puisi kuno.
Memasuki era modern, dengan Restorasi Meiji dan keterbukaan Jepang terhadap dunia Barat, waka mengalami transformasi lagi. Banyak penyair modern mencoba mengintegrasikan ide-ide Barat dan tema-tema kontemporer ke dalam bentuk tanka tradisional. Pada awal abad ke-20, gerakan kebangkitan waka muncul, dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Masaoka Shiki, yang juga merupakan kritikus haiku terkemuka. Shiki berpendapat bahwa waka perlu dimodernisasi dan dibebaskan dari aturan kaku yang telah terbentuk di abad-abad sebelumnya.
Penyair seperti Yosano Akiko membawa sensibilitas baru ke waka, dengan fokus pada emosi pribadi, romansa, dan bahkan erotisme, menentang konvensi yang lebih konservatif. Puisinya yang penuh gairah dan jujur sangat revolusioner pada zamannya.
Yawarakaki Hada wo se ni fure Atsuki chishio ni Fure mo miyo to Tokanu kagayaki "Pada kulit lembut,
Di punggungku, sentuhlah,
Dan darah panas
Rasakanlah, begitu terang
Cahaya yang tak terikat."
— Yosano Akiko
Hingga hari ini, waka terus ditulis oleh ribuan orang di Jepang, baik secara profesional maupun sebagai hobi. Ada banyak perkumpulan waka, majalah, dan kompetisi puisi yang mempertahankan tradisi ini. Waka modern seringkali menampilkan gaya yang lebih bebas dan bahasa kontemporer, namun tetap mempertahankan pola 5-7-5-7-7 yang ikonik.
Bentuk-Bentuk Utama Waka
Seperti yang disebutkan sebelumnya, "waka" adalah istilah umum. Dari berbagai bentuk yang ada, tanka adalah yang paling dominan dan menjadi representasi paling dikenal dari waka. Mari kita bahas lebih lanjut tentang tanka dan beberapa bentuk lainnya yang signifikan.
Tanka (短歌 - Lagu Pendek)
Tanka, dengan strukturnya yang terdiri dari 31 suku kata yang dibagi menjadi lima baris dengan pola 5-7-5-7-7, adalah jantung dari tradisi waka. Bentuk ini menawarkan keseimbangan yang sempurna antara keringkasan dan ruang untuk pengembangan ide. Ia cukup ringkas untuk menangkap momen sesaat atau emosi yang intens, namun cukup panjang untuk menanamkan kompleksitas dan nuansa. Setiap baris memiliki peran penting:
- Kami no Ku (上句 - Frasa Atas): Tiga baris pertama (5-7-5). Ini seringkali berfungsi sebagai pembuka, memperkenalkan latar, imaji, atau ide awal.
- Shimo no Ku (下句 - Frasa Bawah): Dua baris terakhir (7-7). Ini seringkali memberikan resolusi, sebuah balikan, atau pengembangan emosi yang mendalam dari frasa atas.
Pergeseran atau "putaran" emosi yang sering terjadi antara 5-7-5 dan 7-7 adalah salah satu karakteristik paling menarik dari tanka. Ini memungkinkan penyair untuk menyajikan satu gambar atau ide, lalu membalikkannya, memperdalamnya, atau melihatnya dari perspektif yang berbeda di dua baris terakhir. Tanka seringkali menggambarkan alam sebagai cerminan emosi manusia atau sebagai sumber inspirasi spiritual.
Chōka (長歌 - Lagu Panjang)
Chōka adalah bentuk waka yang lebih panjang, dengan pola berulang 5-7, 5-7, ..., diakhiri dengan 5-7-7. Tidak ada batasan jumlah pasangan 5-7 yang dapat digunakan, sehingga chōka bisa sangat panjang, bahkan mencapai ratusan baris. Bentuk ini lebih jarang ditemukan dibandingkan tanka, dan sebagian besar contohnya berasal dari Man'yōshū. Chōka memungkinkan penyair untuk mengembangkan tema yang lebih luas, narasi yang lebih panjang, atau serangkaian gambar yang lebih kompleks. Karena panjangnya, chōka sering disertai dengan hanka (反歌 - lagu balasan), yaitu tanka yang merangkum atau melengkapi ide dari chōka.
Sedōka (旋頭歌 - Lagu Kepala Berulang)
Sedōka adalah bentuk enam baris dengan pola suku kata 5-7-7-5-7-7. Karakteristiknya yang paling menonjol adalah pengulangan pola suku kata 5-7-7 di awal dan akhir puisi. Bentuk ini juga relatif jarang, dan sebagian besar contohnya ditemukan di Man'yōshū dan beberapa antologi kekaisaran awal. Sedōka sering digunakan untuk dialog atau puisi yang memiliki nada ritmis.
Renga (連歌 - Puisi Berantai)
Meskipun bukan waka dalam arti yang sama dengan tanka atau chōka (karena melibatkan banyak penyair), renga berasal dari waka dan sangat penting dalam evolusi puisi Jepang. Renga adalah puisi kolaboratif di mana satu penyair menulis tiga baris pertama (5-7-5), dan penyair berikutnya melengkapinya dengan dua baris terakhir (7-7), lalu penyair lain memulai lagi dengan 5-7-5, dan seterusnya. Rangkaian ini bisa berlanjut untuk waktu yang lama, bahkan mencapai ratusan atau ribuan stanza. Renga sangat populer di kalangan istana dan samurai pada periode abad pertengahan.
Renga kemudian berevolusi menjadi haikai no renga, yang memiliki nada yang lebih humoris dan fokus pada hal-hal sehari-hari. Bagian pembuka dari haikai no renga, yang disebut hokku (発句), kemudian menjadi independen dan berkembang menjadi bentuk puisi yang kita kenal sebagai haiku.
Tema dan Estetika dalam Waka
Waka kaya akan tema dan estetika yang mencerminkan pandangan dunia Jepang. Ini bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi juga tentang bagaimana hal itu dikatakan, nuansa emosional, dan resonansi filosofis yang ditimbulkannya.
Alam dan Perubahan Musim
Alam adalah sumber inspirasi utama dan tak berkesudahan bagi penyair waka. Musim-musim (semi, panas, gugur, dingin) tidak hanya digambarkan secara objektif, tetapi juga sebagai cerminan perasaan dan kondisi manusia. Bunga sakura yang mekar dan gugur melambangkan kefanaan hidup, daun maple merah di musim gugur memicu melankoli, salju yang turun di musim dingin menyampaikan kesendirian atau kemurnian. Setiap elemen alam – bulan, burung, sungai, gunung – memiliki asosiasi puitis dan emosional yang mendalam.
- Musim Semi: Sakura, mekarnya plum, burung bulbul (uguisu), kabut pagi.
- Musim Panas: Cuckoo (hototogisu), wisteria, hujan awal musim panas, serangga malam.
- Musim Gugur: Daun maple (momiji), rusa jantan yang meratap, bulan purnama, serangga malam, angin dingin.
- Musim Dingin: Salju, es, burung camar, kesunyian, tunggul pohon.
Cinta dan Hubungan Manusia
Cinta adalah salah satu tema paling dominan, terutama di periode Heian. Waka digunakan untuk menyatakan cinta, meratap atas cinta yang tak terbalas, merindukan kekasih yang jauh, atau mengungkapkan kesedihan perpisahan. Cinta seringkali dikaitkan dengan ketidakpastian, transiensi, dan patah hati, mencerminkan sifat hubungan manusia yang fana. Bukan hanya cinta romantis, tetapi juga ikatan persahabatan dan kesetiaan sering diekspresikan.
Kesedihan dan Kefanaan (Mono no Aware)
Konsep mono no aware (物の哀れ), yang sering diterjemahkan sebagai "kesedihan manis dari hal-hal yang fana" atau "kepekaan terhadap fana," adalah estetika inti dalam waka, terutama di era Heian. Ini adalah kesadaran pahit-manis bahwa segala sesuatu indah karena sifatnya yang sementara dan tidak kekal. Melihat bunga sakura yang gugur, mendengar kicauan burung yang singkat, atau menyaksikan senja yang memudar memicu perasaan melankolis yang mendalam namun juga apresiasi yang lebih dalam terhadap keindahan sesaat itu.
Kesendirian dan Keheningan (Sabi dan Wabi)
Meskipun lebih sering dikaitkan dengan haiku dan seni lain di periode kemudian, estetika sabi (寂 - kesendirian, keusangan, ketenangan) dan wabi (侘 - keindahan sederhana, kesederhanaan bersahaja) juga dapat ditemukan dalam waka, terutama di masa-masa sulit atau ketika pengaruh Buddhisme Zen semakin kuat. Mereka menunjukkan apresiasi terhadap keindahan yang ditemukan dalam kesederhanaan, penuaan, dan ketenangan yang sunyi, jauh dari kemewahan dunia.
Keindahan Misterius (Yūgen)
Yūgen (幽玄) adalah konsep estetika yang sangat mendalam dan sulit diterjemahkan, mengacu pada keindahan yang melampaui apa yang terlihat, yaitu keindahan yang misterius, mendalam, dan membangkitkan perasaan sublim. Ini adalah keindahan yang tersirat, yang mengundang imajinasi dan resonansi emosional tanpa perlu diungkapkan secara eksplisit. Yūgen sering ditemukan dalam deskripsi lanskap yang berkabut, bulan yang tersembunyi di balik awan, atau suara yang samar-samar di kejauhan, meninggalkan ruang bagi pembaca untuk merasakan kedalaman yang tak terkatakan.
Keanggunan Istana (Miyabi)
Miyabi (雅) adalah standar estetika dan perilaku yang berkembang di kalangan istana Heian, menekankan keanggunan, kemurnian, kesopanan, dan keindahan yang disempurnakan. Waka Heian mencerminkan miyabi dalam penggunaan bahasa yang halus, metafora yang elegan, dan penekanan pada tema-tema yang anggun seperti cinta dan keindahan alam, jauh dari hal-hal yang vulgar atau kasar.
Teknik Puitis dalam Waka
Waka tidak hanya indah karena temanya, tetapi juga karena kemahiran teknis yang digunakan oleh para penyair. Beberapa perangkat puitis yang khas meliputi:
- Kakekotoba (掛詞 - Kata Pivot): Kata-kata yang memiliki dua makna atau lebih, digunakan untuk menciptakan efek permainan kata atau untuk menghubungkan dua ide yang berbeda dalam satu frasa. Ini adalah fitur yang sangat canggih dan seringkali sulit dipahami tanpa konteks budaya yang mendalam.
- Makura Kotoba (枕詞 - Kata Bantal): Frasa-frasa klise atau epitet yang biasanya terdiri dari lima suku kata dan mendahului kata-kata tertentu. Mereka tidak selalu menambah makna literal, tetapi berfungsi sebagai hiasan puitis atau untuk menciptakan ritme. Contoh: "Hisakata no" (langit tanpa batas) sering mendahului kata yang berhubungan dengan langit atau bulan.
- Jo-kotoba (序詞 - Kata Pengantar): Frasa atau klausa yang lebih panjang (lebih dari lima suku kata) yang berfungsi sebagai pengantar untuk baris berikutnya, biasanya memperkenalkan sebuah metafora atau perbandingan.
- En-go (縁語 - Kata Kaitan): Kata-kata yang secara semantik terkait satu sama lain yang digunakan dalam puisi untuk menciptakan jaringan makna atau asosiasi, seringkali tersembunyi.
- Honkadori (本歌取り - Pengambilan Puisi Asli): Praktik mengacu pada atau secara tersirat menggunakan frasa dari puisi yang lebih tua dan terkenal untuk menciptakan nuansa baru atau untuk menunjukkan penghargaan terhadap karya asli. Ini menjadi sangat canggih di Shin Kokin Wakashū.
Penyair Waka Terkemuka dan Kontribusinya
Sejarah waka dihiasi oleh banyak penyair brilian yang masing-masing memberikan kontribusi unik pada bentuk seni ini.
Kakinomoto no Hitomaro (Akhir abad ke-7 - awal abad ke-8)
Dianggap sebagai "dewa puisi" (Kasei), Hitomaro adalah salah satu penyair paling menonjol di Man'yōshū. Karya-karyanya mencakup chōka dan tanka, seringkali menggambarkan keindahan alam dengan kekayaan detail dan emosi yang kuat. Ia dikenal karena penggunaan bahasa yang kuat dan gaya yang jujur, seringkali melankolis, yang menggambarkan kebesaran alam dan kelemahan manusia di hadapannya.
Ono no Komachi (Awal hingga pertengahan abad ke-9)
Penyair wanita legendaris dari periode Heian, Komachi terkenal karena kecantikannya yang mempesona dan puisi-puisinya yang cerdas dan penuh gairah tentang cinta, kerinduan, dan kefanaan kecantikan. Hanya sejumlah kecil puisinya yang bertahan, sebagian besar dalam Kokin Wakashū, tetapi pengaruhnya sangat besar, menjadi simbol penyair wanita dan keindahan yang rapuh.
Ki no Tsurayuki (872 – 945)
Salah satu penyusun utama Kokin Wakashū dan penyair ulung di periode Heian. Tsurayuki sangat berpengaruh dalam menetapkan standar estetika untuk waka Heian, menekankan keanggunan (miyabi) dan keindahan bahasa. Kata pengantar yang ia tulis untuk Kokin Wakashū adalah salah satu karya kritik sastra terpenting dalam sejarah Jepang, menguraikan prinsip-prinsip waka.
Izumi Shikibu (Sekitar 976 – setelah 1033)
Seorang penyair wanita yang sangat produktif dari periode Heian tengah, Izumi Shikibu dikenal karena kehidupan cintanya yang penuh gejolak dan puisi-puisinya yang sangat pribadi, jujur, dan seringkali sensual. Puisinya mengeksplorasi hasrat, spiritualitas, dan konflik antara keinginan duniawi dan cita-cita Buddhis.
Saigyō (1118 – 1190)
Seorang biksu Buddhis yang meninggalkan kehidupan sekulernya untuk mengabdikan diri pada puisi dan perjalanan. Saigyō hidup di masa pergolakan politik dan sering menulis tentang keindahan alam, kesendirian, dan pencarian pencerahan spiritual. Puisinya banyak ditemukan dalam Shin Kokin Wakashū, dan ia dikenal karena penggunaan yūgen dan mono no aware yang mendalam, menciptakan suasana yang melankolis namun indah.
Kokoro naki Mi ni mo aware wa Shirarekeri Shigi tatsu sawa no Aki no yūgure "Bahkan dalam diriku,
Yang seolah tak punya hati,
Terbangunlah kesedihan:
Di rawa tempat burung sandpiper terbang,
Senja musim gugur."
— Saigyō
Fujiwara no Teika (1162 – 1241)
Penyair, cendekiawan, dan kritikus paling berpengaruh dari periode Abad Pertengahan, Teika adalah salah satu penyusun Shin Kokin Wakashū. Ia mengembangkan teori puitis yang canggih dan menetapkan gaya "yōen" (keindahan yang memesona dan misterius) sebagai ideal. Karyanya ditandai oleh imajinasi yang kaya, penggunaan perangkat puitis yang rumit, dan nuansa melankolis yang mendalam. Teika sangat penting dalam melestarikan dan mengembangkan warisan waka.
Waka dalam Budaya Kontemporer
Meskipun dunia telah berubah drastis sejak Man'yōshū dikompilasi, waka tidak pernah benar-benar mati. Ia terus hidup dan beradaptasi dalam masyarakat Jepang modern.
Kelangsungan Tradisi
Waka tetap menjadi bagian dari pendidikan sastra di Jepang. Ribuan orang masih menulis tanka setiap tahun, baik sebagai hobi pribadi maupun melalui partisipasi dalam berbagai kompetisi dan klub puisi. Salah satu acara paling terkenal adalah "Utakai Hajime" (歌会始), yaitu Upacara Pembacaan Puisi Tahun Baru Kekaisaran, di mana puisi-puisi waka yang ditulis oleh masyarakat umum dan anggota keluarga kekaisaran dibacakan di hadapan Kaisar dan Permaisuri. Ini menunjukkan bahwa waka bukan hanya artefak sejarah, tetapi tradisi hidup yang terus dipraktikkan dan dihargai.
Pengaruh pada Seni Lain
Estetika dan tema waka telah meresap ke dalam berbagai bentuk seni Jepang lainnya. Kaligrafi sering menampilkan kutipan waka. Lukisan tradisional (ukiyo-e dan lukisan gulir) seringkali terinspirasi oleh lanskap atau cerita yang digambarkan dalam waka. Konsep-konsep seperti mono no aware, yūgen, sabi, dan wabi, yang diperkuat melalui waka, juga menjadi dasar estetika dalam upacara minum teh, desain taman, dan bahkan arsitektur.
Waka Modern dan Eksperimentasi
Waka modern telah melihat banyak eksperimentasi. Penyair kontemporer sering menggunakan tanka untuk membahas isu-isu sosial, politik, teknologi, atau pengalaman pribadi yang lebih intim dan modern, sambil tetap mempertahankan struktur 5-7-5-7-7. Bahasa yang digunakan bisa lebih lugas dan kurang formal dibandingkan waka klasik, mencerminkan bahasa sehari-hari. Ini menunjukkan fleksibilitas waka sebagai bentuk yang dapat menampung ekspresi artistik baru tanpa kehilangan identitas intinya.
Makna Lain dari "Waka": Waka Maori
Sangat menarik untuk dicatat bahwa kata "waka" memiliki makna yang sama sekali berbeda namun sama-sama penting dalam konteks budaya lain, yaitu dalam bahasa Maori di Selandia Baru. Meskipun tidak ada hubungan linguistik atau historis langsung antara "waka" Jepang dan "waka" Maori, kesamaan nama ini menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana sebuah kata bisa memiliki resonansi yang berbeda di berbagai belahan dunia.
Waka sebagai Kano di Maori
Dalam budaya Maori, waka (secara fonetik diucapkan mirip dengan "waka" Jepang) adalah kata untuk "kano" atau "perahu." Waka adalah pusat dari kehidupan Maori, baik secara praktis maupun spiritual.
- Waka Taua (Kano Perang): Ini adalah waka yang paling rumit dan berukir indah, digunakan untuk perang dan upacara penting. Mereka bisa sangat besar, mampu menampung puluhan pejuang, dan dihiasi dengan ukiran yang detail serta bulu-bulu. Mereka adalah simbol kekuatan, prestise, dan kepahlawanan suku.
- Waka Ama (Kano Outrigger): Digunakan untuk perjalanan yang lebih pendek atau di perairan yang lebih tenang, waka ama adalah kano dengan penstabil samping (outrigger). Bentuk ini memiliki sejarah panjang di seluruh Polinesia.
- Waka Hourua (Kano Berlayar Ganda): Ini adalah kano besar dengan dua lambung dan layar, yang digunakan oleh nenek moyang Maori untuk perjalanan laut yang panjang melintasi Pasifik dari Hawaiki ke Aotearoa (Selandia Baru). Waka hourua adalah simbol eksplorasi, keberanian, dan keterampilan navigasi yang luar biasa.
Waka bagi Maori bukan sekadar alat transportasi; mereka adalah entitas hidup yang memiliki roh (mauri) dan sangat dihormati. Pembangunan waka adalah proses spiritual yang melibatkan doa, ritual, dan keterampilan ahli. Setiap bagian waka, dari lambung hingga ukiran, memiliki makna simbolis yang mendalam dan terhubung dengan mitologi serta silsilah suku.
Meskipun artikel ini secara primer berfokus pada "waka" dalam konteks puisi Jepang, pengenalan singkat tentang "waka" Maori ini memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana satu kata bisa menjadi pusat ekspresi budaya yang mendalam, meskipun dalam bentuk yang sangat berbeda.
Penutup: Warisan Abadi Waka
Dari lembaran-lembaran Man'yōshū yang kuno hingga layar digital penyair modern, waka telah menempuh perjalanan yang luar biasa. Ia adalah jendela ke dalam jiwa Jepang, sebuah bentuk seni yang telah memelihara keindahan bahasa, kepekaan terhadap alam, dan kedalaman emosi manusia selama lebih dari seribu tahun. Tanka khususnya, dengan pola 5-7-5-7-7 yang ringkas namun resonan, telah membuktikan dirinya sebagai wadah yang tak lekang waktu untuk ekspresi puitis.
Waka bukan sekadar kumpulan aturan metrik atau koleksi puisi lama; ia adalah sebuah tradisi hidup yang terus bernapas, beradaptasi, dan menginspirasi. Ia mengajarkan kita untuk melihat keindahan dalam kefanaan, menemukan kedalaman dalam kesederhanaan, dan memahami bahwa emosi manusia, seperti alam, terus berputar dalam siklus abadi. Dalam setiap baitnya, waka mengundang kita untuk merenung, merasa, dan menghubungkan diri dengan warisan budaya yang kaya yang terus bergemuruh, sejuk dan tenang seperti aliran sungai, namun cerah dan tajam seperti pantulan sinar mentari di pagi hari.
Memahami waka adalah memahami esensi sebuah kebudayaan yang menghargai harmoni, nuansa, dan keindahan yang tersembunyi. Dengan terus mempelajari dan mengapresiasi waka, kita tidak hanya menjaga sebuah tradisi, tetapi juga memperkaya pemahaman kita tentang puisi sebagai jembatan universal menuju pengalaman manusia.