Kitab Kerajaan Majapahit: Mengungkap Jejak Kejayaan Nusantara

Ilustrasi Kitab Kuno Sebuah gambar svg dari kitab kuno terbuka yang melambangkan sumber sejarah Majapahit.

Perjalanan menelusuri jejak peradaban sebuah kerajaan besar selalu menarik, terutama ketika kita berbicara tentang imperium maritim Nusantara yang begitu megah, Majapahit. Sebagai salah satu entitas politik paling berpengaruh dalam sejarah Asia Tenggara, warisan Majapahit tak hanya terukir dalam reruntuhan candi atau artefak, melainkan juga terpahat dalam lembaran-lembaran kitab kuno. Kitab-kitab kerajaan Majapahit ini bukan sekadar kumpulan cerita masa lalu; ia adalah jendela utama yang memungkinkan kita memahami kompleksitas kehidupan politik, sosial, ekonomi, budaya, dan spiritual masyarakat pada era tersebut. Melalui penelusuran mendalam terhadap teks-teks ini, kita dapat merekonstruksi gambaran utuh tentang sebuah peradaban yang pernah mencapai puncak kejayaannya.

Setiap goresan tinta, setiap bait puisi, dan setiap catatan administratif yang terkandung dalam kitab-kitab kerajaan Majapahit memegang peranan krusial sebagai sumber primer. Tanpa keberadaan teks-teks ini, pemahaman kita tentang Majapahit mungkin akan sangat terbatas, hanya sebatas tafsiran dari peninggalan material. Namun, dengan hadirnya karya-karya sastra dan historis yang ditulis oleh para pujangga istana dan juru tulis kerajaan, kita disuguhkan perspektif yang lebih kaya, nuansa yang lebih dalam, dan detail yang seringkali tak terungkap oleh arkeologi semata. Oleh karena itu, memahami dan menganalisis kitab-kitab ini adalah langkah esensial untuk menguak misteri dan keagungan dari salah satu kerajaan terbesar di bumi Nusantara.

Berbagai jenis kitab, mulai dari kakawin yang megah, kidung yang mendayu, hingga pararaton yang penuh legenda, semuanya berkontribusi pada narasi besar Majapahit. Masing-masing kitab kerajaan Majapahit memiliki karakteristik uniknya sendiri, menawarkan sudut pandang yang berbeda, dan mengisi kepingan-kepingan mozaik sejarah yang tersebar. Dari catatan geografis yang rinci hingga kisah heroik para pahlawan dan raja, dari ajaran filosofis yang mendalam hingga catatan harian kehidupan istana, kitab-kitab ini adalah harta karun intelektual yang tak ternilai harganya. Mereka tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga merefleksikan alam pikiran, nilai-nilai, dan cita-cita masyarakat Majapahit. Mari kita selami lebih jauh ke dalam dunia teks-teks kuno ini, menyingkap lapis demi lapis makna yang tersimpan di dalamnya.

Negarakertagama: Kidung Agung Kebesaran Majapahit

Di antara seluruh khazanah tulisan yang berbicara tentang Majapahit, Negarakertagama menempati posisi yang sangat istimewa. Karya agung yang juga dikenal sebagai Kakawin Desawarnana ini ditulis oleh Mpu Prapanca pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, sang raja agung Majapahit, yang diyakini pada paruh kedua abad ke-14. Negarakertagama bukan hanya sekadar kronik; ia adalah sebuah kakawin, puisi epik berbahasa Jawa Kuno yang disusun dengan metrum yang kompleks dan keindahan bahasa yang luar biasa. Tujuannya adalah untuk mengabadikan kejayaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk, sekaligus memuliakan sang raja dan leluhurnya.

Isi Negarakertagama sungguh komprehensif. Kakawin ini memulai dengan silsilah raja-raja Majapahit, menelusuri garis keturunan dari para pendiri hingga Hayam Wuruk. Bagian ini penting untuk memahami legitimasi kekuasaan dan kontinuitas dinasti. Selanjutnya, Mpu Prapanca menggambarkan secara rinci keadaan ibu kota Majapahit, Trowulan. Ia memerinci tata letak istana, bangunan-bangunan suci, area pemukiman, hingga taman-taman yang indah. Deskripsi ini sangat berharga bagi para arkeolog dan sejarawan dalam merekonstruksi wajah ibu kota Majapahit yang hilang. Gambaran arsitektur dan tata kota yang begitu mendetail menunjukkan tingginya peradaban Majapahit dalam perencanaan kota dan keindahan estetika.

Tidak hanya itu, Negarakertagama juga memuat daftar wilayah-wilayah yang menjadi pengaruh atau taklukan Majapahit. Dari Sumatra hingga pulau-pulau di timur Nusantara, cakupan kekuasaan Majapahit yang luas tergambar jelas dalam daftar ini. Meskipun para sejarawan modern memperdebatkan sifat sebenarnya dari "taklukan" tersebut – apakah itu kendali langsung, hubungan vasal, atau sekadar pengaruh ekonomi dan kultural – tidak dapat disangkal bahwa Majapahit memiliki jangkauan geografis yang sangat besar. Penyebutan Sumpah Palapa dari Mahapatih Gajah Mada, meskipun tidak secara langsung dicatat oleh Negarakertagama, terbukti memiliki relevansi yang sangat kuat dalam konteks perluasan wilayah ini, dan kakawin ini memberikan bukti kuat akan ambisi dan realisasi kekuasaan maritim Majapahit.

Kakawin ini juga mendokumentasikan berbagai upacara keagamaan dan ritual istana yang dilaksanakan pada masa Majapahit, termasuk upacara Sraddha untuk mendiang nenek Hayam Wuruk, Gayatri Rajapatni. Deskripsi upacara ini bukan hanya menunjukkan kehidupan religius yang kental, tetapi juga kompleksitas sistem kepercayaan Hindu-Buddha yang hidup berdampingan secara harmonis. Keberadaan dua dharma, Siwa dan Buddha, yang dihormati secara setara, adalah ciri khas keagamaan Majapahit yang tercermin dengan indah dalam kakawin ini. Mpu Prapanca bahkan mencatat perjalanan keliling yang dilakukan Hayam Wuruk ke berbagai daerah di Jawa, memberikan gambaran langsung tentang kondisi daerah-daerah tersebut serta hubungan raja dengan rakyatnya.

Signifikansi Negarakertagama bagi studi sejarah Majapahit tidak dapat dilebih-lebihkan. Ia adalah sumber yang paling otoritatif dan terstruktur, memberikan informasi yang relatif akurat dan terperinci tentang struktur pemerintahan, geografi politik, budaya istana, dan kehidupan beragama. Meskipun demikian, sebagai sebuah karya yang bertujuan memuliakan raja dan kerajaan, ada kemungkinan bias positif dalam penyajiannya. Mpu Prapanca tentu saja ingin menunjukkan Majapahit dalam citra yang paling gemilang dan sempurna. Oleh karena itu, para sejarawan modern selalu membandingkan informasi dari Negarakertagama dengan sumber lain seperti prasasti atau Pararaton untuk mendapatkan gambaran yang lebih seimbang.

Gaya bahasa dalam Negarakertagama adalah gaya kakawin klasik yang sangat indah, penuh metafora, dan menggunakan bait-bait panjang. Keindahan sastranya menjadikan karya ini tidak hanya sumber sejarah tetapi juga mahakarya sastra Jawa Kuno. Warisan Negarakertagama terus hidup, tidak hanya sebagai rujukan akademis, tetapi juga sebagai inspirasi bagi identitas nasional dan kebudayaan Indonesia, terutama dalam memahami konsep persatuan dan keragaman.

Isi Detail dan Relevansi Negarakertagama

Negarakertagama dibagi menjadi beberapa pupuh (bab) yang masing-masing mengupas aspek berbeda dari Majapahit. Pada pupuh awal, kita disajikan silsilah raja-raja yang dimulai dari pendiri Singhasari, Ken Arok, hingga garis keturunan Raja Kertanegara, Raden Wijaya, hingga akhirnya Hayam Wuruk. Ini adalah bagian fundamental yang memberikan dasar kronologis dan geneologis bagi sejarah Majapahit.

Bagian yang sangat menonjol adalah penggambaran ibu kota Majapahit, Trowulan. Mpu Prapanca melukiskan keindahan istana raja dengan segala kemegahannya, balai-balai pertemuan, tempat persembahyangan, hingga pemandian dan taman-taman yang tertata apik. Jaringan jalan yang lebar dan bersih, serta pasar-pasar yang ramai, menunjukkan kehidupan perkotaan yang maju. Detail semacam ini memberi kita petunjuk berharga tentang kemajuan arsitektur dan urbanisme di Majapahit.

Selanjutnya, kakawin ini membahas wilayah-wilayah yang tunduk di bawah pengaruh Majapahit, dimulai dari pulau Jawa sendiri, kemudian ke Sumatra, Kalimantan, hingga Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku. Deskripsi ini, meski mungkin bersifat idealis dalam menggambarkan luasnya kekuasaan, memberikan indikasi tentang visi maritim Majapahit dan jaringan perdagangan serta pengaruh politiknya yang luas. Penggambaran tentang hubungan Majapahit dengan kerajaan-kerajaan tetangga dan negara-negara lain di Asia Tenggara juga memberikan konteks geopolitik yang penting.

Aspek kehidupan sosial dan budaya juga disorot. Negarakertagama mencatat berbagai perayaan keagamaan, festival, dan upacara yang menggambarkan keragaman seni pertunjukan, musik, dan tarian. Pentingnya ritual keagamaan, seperti upacara Sraddha yang diadakan untuk leluhur, menyoroti kuatnya sistem kepercayaan dan penghormatan terhadap tradisi. Dalam kakawin ini, kita dapat melihat bagaimana sinkretisme Hindu-Buddha bukan hanya konsep teologis tetapi juga praktik hidup sehari-hari yang meresap dalam segala aspek kehidupan istana dan masyarakat.

Mpu Prapanca juga menceritakan tentang perjalanan keliling Hayam Wuruk ke wilayah-wilayah di Jawa. Perjalanan ini memungkinkan raja untuk melihat langsung kondisi rakyatnya, berinteraksi dengan para pejabat daerah, dan mengunjungi tempat-tempat suci. Deskripsi perjalanan ini memberikan wawasan tentang struktur administrasi Majapahit yang terpusat sekaligus memiliki koneksi kuat dengan daerah-daerah. Ini juga menunjukkan bahwa raja tidak hanya berdiam di istana, tetapi juga aktif berinteraksi dengan rakyat dan wilayahnya.

Secara keseluruhan, Negarakertagama merupakan sebuah rekaman sejarah yang sangat berharga. Ia memberikan sudut pandang 'resmi' dari istana Majapahit tentang bagaimana mereka memandang diri sendiri, kekuasaan mereka, dan tempat mereka di dunia. Untuk para peneliti, kitab kerajaan Majapahit ini adalah pondasi utama dalam membangun narasi sejarah Majapahit, meskipun harus selalu diimbangi dengan sumber lain untuk memverifikasi dan menganalisis informasi yang terkandung di dalamnya.

Pararaton: Catatan Raja-Raja dan Legenda Heroik

Berbeda dengan Negarakertagama yang merupakan kakawin resmi istana, Pararaton, yang secara harfiah berarti "Kitab Para Raja", adalah sebuah kronik atau babad yang disusun dalam bentuk prosa. Pararaton lebih berfokus pada sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit, dimulai dari kisah mistis dan heroik Ken Arok, pendiri Singhasari, hingga raja-raja Majapahit di masa-masa awal dan pertengahan. Jika Negarakertagama memberikan gambaran Majapahit dari puncak kejayaannya, Pararaton cenderung menyoroti drama, intrik, dan konflik yang mengiringi perjalanan kekuasaan.

Salah satu ciri khas Pararaton adalah sifat narasinya yang seringkali bercampur aduk antara fakta sejarah, mitos, legenda, dan cerita rakyat. Misalnya, kisah kelahiran Ken Arok yang ajaib, perjalanan hidupnya yang penuh gejolak, perebutan kekuasaan melalui intrik dan pembunuhan, serta kutukan-kutukan yang diyakini menimpa keturunannya. Kisah-kisah seperti pembunuhan Tunggul Ametung oleh Ken Arok, penculikan Ken Dedes, dan balas dendam Anusapati merupakan bagian inti dari Pararaton yang menggugah imajinasi dan memperkaya khazanah cerita kepahlawanan di Jawa. Kitab ini tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga menanamkan pesan moral dan kepercayaan pada takdir atau kutukan.

Perbedaan yang paling mencolok antara Pararaton dan Negarakertagama terletak pada fokus dan gaya penulisannya. Negarakertagama ditulis untuk memuliakan dan menggambarkan kesempurnaan, dengan gaya bahasa sastra yang tinggi. Sementara itu, Pararaton ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan, lebih lugas, dan seringkali menyajikan peristiwa-peristiwa dramatis dan pertumpahan darah yang Negarakertagama hindari. Pararaton cenderung memberikan detail-detail mengenai intrik istana, ramalan, dan intervensi supranatural yang membentuk jalannya sejarah. Sebagai contoh, kisah Ken Arok dan keris Mpu Gandring adalah ikonik dalam Pararaton, yang tidak ditemukan dalam Negarakertagama.

Meskipun demikian, Pararaton memiliki peran yang sangat penting dalam historiografi Majapahit. Ia menjadi sumber alternatif yang melengkapi Negarakertagama, terutama dalam memberikan informasi mengenai periode awal Singhasari dan Majapahit, serta latar belakang personal para tokohnya. Meskipun banyak bagian Pararaton yang dipertanyakan akurasi historisnya karena unsur mitos yang kental, para sejarawan menggunakan kitab ini untuk memverifikasi atau mengisi kekosongan informasi dari sumber lain. Misalnya, informasi mengenai silsilah raja-raja dan beberapa peristiwa penting seringkali dapat dibandingkan dengan prasasti atau Negarakertagama untuk mencari kesesuaian atau perbedaan yang menarik untuk dianalisis.

Kritik dan interpretasi modern terhadap Pararaton mengakui pentingnya sebagai dokumen sejarah, namun juga menekankan perlunya kehati-hatian dalam menafsirkannya. Unsur-unsur legenda dan mitos yang kuat dalam Pararaton seringkali merefleksikan pandangan dunia masyarakat Jawa pada masa itu, termasuk kepercayaan akan takdir, karma, dan campur tangan dewa-dewa atau kekuatan gaib dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, Pararaton tidak hanya menjadi sumber sejarah politik, tetapi juga sumber penting untuk studi antropologi dan kebudayaan Jawa Kuno.

Analisis Struktur dan Konten Pararaton

Pararaton umumnya dibagi menjadi beberapa bagian utama. Bagian paling awal dan terkenal adalah kisah Ken Arok, yang diceritakan dengan detail yang luar biasa. Kisah ini mencakup kelahirannya yang misterius, pertemuannya dengan Brahmana Lohgawe, petualangan kriminalnya, hingga ia menjadi raja Singhasari setelah membunuh Tunggul Ametung dan akuisisi Ken Dedes. Bagian ini penting karena memberikan latar belakang mitis-historis bagi pembentukan dinasti yang akan berkuasa di Jawa Timur.

Setelah Ken Arok, Pararaton melanjutkan dengan kronik raja-raja Singhasari berikutnya, termasuk Anusapati, Tohjaya, Ranggawuni, dan Kertanegara. Cerita tentang Kertanegara, raja terakhir Singhasari, dan upaya perluasan pengaruhnya ke luar Jawa, serta kejatuhannya akibat serangan Jayakatwang, menjadi jembatan penting menuju pendirian Majapahit. Di sinilah Raden Wijaya, menantu Kertanegara, memainkan peranan penting dalam memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol dan mendirikan Majapahit.

Bagian Majapahit dalam Pararaton berlanjut dengan kisah Raden Wijaya sebagai raja pertama, disusul oleh Jayanegara, Tribhuwana Tunggadewi, dan Hayam Wuruk. Kisah-kisah pemberontakan di awal Majapahit, seperti pemberontakan Ranggalawe, Sora, dan Nambi, digambarkan dengan detail yang memberikan wawasan tentang tantangan politik internal yang dihadapi kerajaan baru ini. Pararaton juga menyebutkan Mahapatih Gajah Mada dan Sumpah Palapa-nya, meskipun dengan uraian yang lebih singkat dibandingkan narasi lain yang lebih fokus pada intrik istana.

Dibandingkan dengan Negarakertagama, Pararaton lebih bersifat anekdotal dan cenderung menyoroti konflik personal dan balas dendam. Gaya penulisannya yang cenderung lebih sederhana dan langsung membuatnya mudah dipahami oleh khalayak umum pada zamannya. Kitab ini, meskipun seringkali dianggap kurang akurat secara historis dibandingkan Negarakertagama, justru memberikan dimensi kemanusiaan dan drama yang lebih kuat pada tokoh-tokoh sejarah, membuat mereka lebih hidup dan kompleks dalam ingatan kolektif.

Penting untuk diingat bahwa Pararaton kemungkinan besar disusun di Bali setelah keruntuhan Majapahit, oleh para pengungsi dari Jawa yang melarikan diri dari konflik. Hal ini dapat menjelaskan mengapa narasi Pararaton seringkali berakhir dengan periode-periode yang lebih awal dari masa-masa terakhir Majapahit yang kaya akan gejolak politik. Dengan demikian, Pararaton adalah sebuah kitab kerajaan Majapahit yang tak ternilai harganya, bukan hanya karena informasi faktualnya, tetapi juga karena cerminan budaya dan pandangan hidup masyarakat Jawa Kuno.

Sutasoma: Toleransi dalam Kerangka Falsafah

Kakawin Sutasoma adalah permata lain dalam khazanah sastra Majapahit, ditulis oleh Mpu Tantular pada masa yang sama dengan Negarakertagama, yaitu pada era keemasan pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Berbeda dengan Negarakertagama yang berfokus pada sejarah dan politik, Sutasoma adalah sebuah karya epik filosofis yang mengusung tema universal tentang kebaikan, pengorbanan, dan toleransi beragama. Kakawin ini sangat terkenal dengan semboyannya yang melegenda: "Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa," yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua." Semboyan ini kemudian diangkat menjadi motto nasional Indonesia, menegaskan relevansinya yang abadi.

Inti ajaran Sutasoma adalah sinkretisme Hindu-Buddha, di mana Mpu Tantular dengan sangat cerdas menunjukkan bahwa pada hakikatnya, ajaran Siwa (Hindu) dan Buddha memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai kebenaran tertinggi. Konflik dan perbedaan adalah ilusi belaka, dan kebijaksanaan sejati terletak pada kemampuan melihat kesatuan di balik keragaman. Melalui kisah perjalanan spiritual Pangeran Sutasoma, Mpu Tantular menyiratkan pesan bahwa meskipun ada perbedaan dalam ritual, dogma, atau manifestasi dewa, esensi ilahi adalah satu dan sama. Ini adalah refleksi mendalam dari kondisi keagamaan di Majapahit yang secara resmi mengakui dan mendukung kedua kepercayaan besar tersebut.

Alur cerita Sutasoma berpusat pada Pangeran Sutasoma, reinkarnasi dari Buddha. Ia adalah seorang pangeran yang sangat saleh, menjunjung tinggi Dharma, dan menolak takhta kerajaan untuk mengejar kehidupan spiritual. Perjalanannya diwarnai oleh berbagai tantangan dan pertemuan dengan makhluk-makhluk mengerikan, termasuk raja-raja raksasa pemakan manusia seperti Prabu Kalmasapada, yang pada akhirnya ia taklukkan bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kekuatan welas asih dan ajaran Dharma. Sutasoma digambarkan sebagai figur yang penuh kasih, pemaaf, dan memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa untuk mengubah kejahatan menjadi kebaikan.

Salah satu episode paling terkenal adalah ketika Sutasoma bersedia mengorbankan dirinya untuk seekor harimau betina yang kelaparan agar tidak memakan anak-anaknya. Kisah ini mirip dengan Jataka Tales dalam tradisi Buddhisme, menekankan nilai pengorbanan diri yang tertinggi. Puncak dari kisahnya adalah ketika Sutasoma berhasil menaklukkan dan menyadarkan raja raksasa yang gemar memakan daging manusia, menunjukkan bahwa bahkan kejahatan paling ekstrem sekalipun dapat diubah melalui ajaran kebaikan dan kasih sayang.

Pengaruh Sutasoma terhadap kebudayaan dan identitas bangsa Indonesia sangatlah besar. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" telah menjadi pilar filosofis negara, melambangkan pluralisme dan persatuan di tengah keberagaman etnis, agama, dan budaya di Indonesia. Kakawin ini mengajarkan bahwa persatuan tidak berarti penyeragaman, melainkan kemampuan untuk menghargai dan merayakan perbedaan sebagai bagian integral dari satu kesatuan. Dengan demikian, Sutasoma adalah kitab kerajaan Majapahit yang melampaui batas-batas sejarah dan menjadi warisan filosofis yang relevan hingga hari ini.

Filosofi dan Konteks Sutasoma

Kakawin Sutasoma bukan sekadar cerita petualangan, melainkan sebuah wahana untuk menyampaikan ajaran filosofis yang kompleks. Mpu Tantular, melalui karakter Sutasoma, mengadvokasi jalan Bodhisattva, di mana individu yang telah mencapai pencerahan memilih untuk menunda Nirvana demi membantu makhluk lain mencapai pembebasan. Pangeran Sutasoma adalah personifikasi dari belas kasih (karuna) dan kebijaksanaan (prajna), dua pilar utama dalam Buddhisme Mahayana.

Konteks historis Majapahit pada masa penulisan Sutasoma sangat mendukung narasi toleransi ini. Majapahit adalah kerajaan multireligius, di mana Hindu (khususnya sekte Siwa dan Wisnu) dan Buddha berkembang berdampingan, bahkan seringkali berbaur. Para raja Majapahit seringkali memiliki penasihat dari kedua agama dan membangun candi untuk kedua kepercayaan. Fenomena ini menciptakan kebutuhan akan sebuah filosofi yang dapat merangkul keragaman tersebut, dan Sutasoma hadir sebagai jawaban yang elegan.

Ajaran "Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa" bukan hanya sebuah slogan; ia adalah ekspresi teologis dan politis yang cerdas. Secara teologis, ia menyatakan bahwa Siwa dan Buddha adalah manifestasi dari satu kebenaran yang sama. Secara politis, ia melegitimasi keberadaan kedua agama dalam lingkup kerajaan dan mempromosikan koeksistensi damai di antara para penganutnya. Hal ini sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial dan politik dalam sebuah kerajaan yang besar dan beragam seperti Majapahit.

Gaya bahasa Mpu Tantular dalam Sutasoma juga patut dikagumi. Ia menggunakan metrum kakawin yang indah, dengan narasi yang mengalir dan penuh kiasan. Meskipun temanya berat secara filosofis, penyampaiannya dalam bentuk cerita petualangan membuatnya mudah diakses dan menarik. Keindahan sastra ini memastikan bahwa pesan-pesan moral dan filosofis dapat disampaikan secara efektif dan mengena pada hati pembaca atau pendengar.

Melalui Sutasoma, kita tidak hanya belajar tentang Majapahit sebagai entitas politik, tetapi juga sebagai pusat peradaban yang menghasilkan pemikiran-pemikiran mendalam tentang kemanusiaan, etika, dan spiritualitas. Kitab ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan Majapahit tidak hanya terletak pada kekuatan militer atau kekayaan ekonominya, tetapi juga pada kemampuannya untuk mengelola keragaman dan mempromosikan nilai-nilai universal yang relevan hingga saat ini. Sutasoma adalah sebuah kitab kerajaan Majapahit yang membuktikan kedalaman intelektual dan spiritual masyarakat Nusantara di masa lalu.

Kitab Lain dan Prasasti: Mozaik Sejarah yang Lebih Luas

Selain tiga kitab agung yang telah dibahas, ada pula berbagai sumber tertulis lain yang tidak kalah penting dalam menyusun mozaik sejarah Majapahit. Kitab-kitab ini, meskipun mungkin tidak sebesar atau sepopuler Negarakertagama, Pararaton, atau Sutasoma, memberikan sudut pandang yang berbeda dan melengkapi celah-celah informasi yang ada. Bersama dengan ribuan prasasti yang ditemukan di berbagai penjuru Nusantara, mereka membentuk sebuah korpus data yang kaya bagi para peneliti sejarah.

Tantu Panggelaran: Kosmogoni dan Legenda Lokal

Tantu Panggelaran adalah sebuah teks prosa berbahasa Jawa Kuno yang sangat menarik karena isinya berfokus pada mitologi penciptaan Jawa (kosmogoni), legenda lokal, dan asal-usul tempat-tempat suci. Kitab ini menceritakan tentang pemindahan Gunung Mahameru dari India ke Jawa oleh para dewa untuk menstabilkan pulau Jawa yang mulanya terombang-ambing. Legenda ini bukan hanya fantastis, tetapi juga sarat makna simbolis tentang kosmologi Jawa dan hubungannya dengan India sebagai pusat agama.

Selain kisah Mahameru, Tantu Panggelaran juga memuat cerita tentang asal-usul gunung-gunung lain, danau, serta tempat-tempat keramat di Jawa. Kitab ini sangat berharga karena memberikan gambaran tentang kepercayaan animisme dan dinamisme yang masih kuat di kalangan masyarakat Jawa, bahkan setelah masuknya agama Hindu dan Buddha. Ia juga menunjukkan bagaimana tradisi lokal dan Hindu-Buddha berakulturasi dan menghasilkan sinkretisme yang unik. Tantu Panggelaran, dengan demikian, bukan hanya sekadar kitab kerajaan Majapahit, tetapi juga cerminan mentalitas dan pandangan dunia masyarakat Jawa Kuno.

Kidung-Kidung Sejarah: Narasi Peristiwa Lokal

Berbeda dengan kakawin yang berbobot sastra tinggi, kidung adalah bentuk puisi yang lebih sederhana, seringkali digunakan untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah lokal atau drama istana. Beberapa kidung penting yang berkaitan dengan Majapahit antara lain: Kidung Sorandaka, Kidung Harsawijaya, dan Kidung Rangga Lawe. Kidung Sorandaka mengisahkan pemberontakan Sora di awal Majapahit. Kidung Harsawijaya menceritakan perjuangan Raden Wijaya dan pasukannya melawan Jayakatwang dan pasukan Mongol untuk mendirikan Majapahit. Kidung Rangga Lawe menceritakan pemberontakan Rangga Lawe terhadap Raden Wijaya.

Kidung-kidung ini sangat berharga karena seringkali memberikan detail-detail peristiwa dan karakter yang tidak ditemukan dalam sumber-sumber resmi seperti Negarakertagama. Meskipun mungkin memiliki unsur dramatisasi, kidung-kidung ini memberikan gambaran yang lebih hidup tentang konflik internal, perebutan kekuasaan, dan intrik politik yang mewarnai sejarah Majapahit. Mereka melengkapi narasi besar dengan kisah-kisah yang lebih personal dan seringkali tragis, menunjukkan sisi lain dari kejayaan kerajaan.

Sastra Panji: Cerminan Nilai Masyarakat

Siklus cerita Panji adalah khazanah sastra yang sangat luas dan populer di Nusantara, terutama di Jawa, Bali, dan bahkan hingga Semenanjung Malaya serta Thailand. Meskipun tidak ada "Kitab Panji" tunggal yang ditulis oleh satu pujangga istana Majapahit secara spesifik, cerita-cerita Panji merupakan representasi penting dari kehidupan budaya dan nilai-nilai masyarakat pada masa Majapahit dan setelahnya. Cerita-cerita ini berkisah tentang Pangeran Panji, seorang pahlawan tampan dan bijaksana, serta kekasihnya, Candra Kirana. Petualangan mereka seringkali diwarnai dengan penyamaran, perjuangan melawan kejahatan, dan pencarian cinta sejati.

Sastra Panji merefleksikan idealisme kepahlawanan, kesetiaan, cinta, dan spiritualitas Jawa. Karakter Panji seringkali digambarkan sebagai perwujudan Dewa Wisnu, melambangkan keadilan dan kebaikan. Kisah-kisah ini, yang disebarkan melalui berbagai media seperti wayang beber, wayang topeng, dan teater, menjadi media penting untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan etika kepada masyarakat. Keberadaan sastra Panji yang begitu kaya menunjukkan vitalitas kebudayaan Jawa pada masa Majapahit, yang tidak hanya menghasilkan karya-karya serius, tetapi juga hiburan yang sarat makna.

Prasasti-Prasasti: Sumber Kritis dan Konkret

Selain kitab-kitab sastra, prasasti-prasasti batu dan lempeng tembaga adalah sumber sejarah Majapahit yang sangat penting dan seringkali dianggap paling objektif. Prasasti adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh raja atau pejabat kerajaan untuk mencatat peristiwa penting, penetapan sima (tanah bebas pajak), pemberian hadiah, atau pengesahan hak-hak tertentu. Keberadaan ratusan prasasti dari era Majapahit memberikan detail konkret tentang administrasi pemerintahan, sistem perpajakan, hukum, struktur sosial, nama-nama pejabat, dan kehidupan ekonomi.

Contoh prasasti Majapahit yang terkenal antara lain Prasasti Waringin Pitu, yang mencatat penetapan sejumlah desa sebagai sima dan memberikan gambaran tentang sistem pemerintahan daerah. Prasasti Sukamerta, Prasasti Kudadu, dan lain-lain memberikan informasi detail tentang awal mula Majapahit, pemberontakan, dan nama-nama tokoh penting. Prasasti seringkali memuat tanggal yang spesifik, nama-nama orang, dan lokasi geografis, menjadikannya alat verifikasi yang sangat baik untuk membandingkan informasi dari kitab-kitab seperti Negarakertagama atau Pararaton. Analisis paleografi dan epigrafi prasasti-prasasti ini memungkinkan para sejarawan untuk merekonstruksi aspek-aspek kehidupan Majapahit dengan tingkat akurasi yang tinggi.

Gabungan dari berbagai kitab kerajaan Majapahit, baik kakawin, kidung, babad, maupun sastra Panji, ditambah dengan kekayaan informasi dari prasasti, membentuk sebuah "perpustakaan" sejarah Majapahit yang luar biasa. Setiap sumber memiliki kekuatan dan keterbatasannya sendiri, tetapi ketika disatukan, mereka memungkinkan kita untuk melihat gambaran Majapahit dari berbagai sudut pandang, mulai dari yang agung dan idealis hingga yang realistis dan penuh intrik, dari yang bersifat kosmik hingga yang sangat lokal dan personal. Inilah yang membuat studi Majapahit begitu kaya dan menantang.

Seni Sastra dan Kehidupan Intelektual di Majapahit

Keberadaan begitu banyak kitab kerajaan Majapahit yang bernilai tinggi tidak lepas dari kehidupan intelektual dan tradisi sastra yang subur di istana. Majapahit adalah pusat kebudayaan dan pengetahuan, tempat para pujangga, cendekiawan, dan juru tulis mendapatkan dukungan penuh dari para raja dan bangsawan. Lingkungan istana menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan seni sastra, yang pada gilirannya menghasilkan mahakarya-mahakarya yang kita kenal sekarang.

Peran Para Mpu dan Kawi (Pujangga Istana)

Di balik setiap kakawin atau kidung agung, terdapat sosok-sosok pujangga besar yang dikenal sebagai "Mpu" atau "Kawi". Mereka adalah intelektual istana yang berpendidikan tinggi, menguasai berbagai disiplin ilmu mulai dari sastra, agama, filsafat, hingga astronomi. Mpu Prapanca dan Mpu Tantular adalah dua contoh paling menonjol dari para kawi Majapahit yang karyanya masih lestari. Para mpu ini tidak hanya menulis puisi; mereka juga bertindak sebagai penasihat spiritual, sejarawan, dan bahkan diplomat.

Peran mereka sangat vital dalam menjaga dan mengembangkan tradisi sastra lisan maupun tulisan. Mereka adalah penjaga memori kolektif kerajaan, yang merangkum peristiwa sejarah, ajaran agama, dan nilai-nilai budaya ke dalam bentuk-bentuk sastra yang indah dan abadi. Dukungan dari istana memungkinkan mereka untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada kegiatan intelektual, tanpa harus khawatir tentang kebutuhan materi. Hal ini menunjukkan bahwa Majapahit sangat menghargai pengetahuan dan kesenian sebagai bagian integral dari kekuasaan dan legitimasi kerajaan.

Bahasa Jawa Kuno (Kawi) sebagai Bahasa Sastra

Sebagian besar kitab kerajaan Majapahit ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, atau yang sering disebut sebagai bahasa Kawi. Bahasa ini merupakan cerminan dari perpaduan antara bahasa lokal Jawa dengan pengaruh Sansekerta yang kuat, terutama dalam kosakata dan struktur gramatika. Bahasa Kawi adalah bahasa yang kaya, ekspresif, dan memiliki kemampuan untuk menyampaikan konsep-konsep filosofis dan keagamaan yang kompleks. Ia adalah bahasa para pujangga, bahasa istana, dan bahasa ritual.

Penguasaan bahasa Kawi adalah indikator status sosial dan pendidikan. Para bangsawan dan intelektual diharapkan untuk memahami dan bahkan menciptakan karya dalam bahasa ini. Keberadaan bahasa Kawi yang berkembang pesat menunjukkan adanya sebuah masyarakat yang menghargai kecakapan berbahasa dan keindahan sastra. Meskipun tidak lagi menjadi bahasa sehari-hari, bahasa Kawi tetap dihormati sebagai akar linguistik dan kultural Jawa, serta sebagai media utama untuk memahami warisan Majapahit.

Sistem Pendidikan dan Pelestarian Pengetahuan

Untuk melahirkan para mpu dan kawi yang brilian, tentu saja harus ada sistem pendidikan yang kuat. Meskipun detailnya tidak banyak terekam, dapat diasumsikan bahwa ada pusat-pusat pembelajaran di sekitar istana atau di biara-biara (mandala) yang mendidik calon-calon pujangga. Mereka diajari tata bahasa, metrum puisi, filsafat Hindu-Buddha, sejarah, dan seni menulis. Pengetahuan ini diturunkan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan dan tulisan.

Selain pendidikan, upaya pelestarian pengetahuan juga sangat penting. Kitab-kitab kuno tidak hanya ditulis, tetapi juga disalin berulang kali oleh para juru tulis. Tradisi penyalinan ini memastikan bahwa karya-karya penting tidak hilang termakan waktu atau kerusakan. Meskipun naskah-naskah asli mungkin sudah musnah, salinan-salinan yang dibuat di masa Majapahit atau setelahnya, terutama di Bali, telah menyelamatkan banyak teks berharga ini hingga bisa kita pelajari di masa kini. Hal ini menunjukkan komitmen Majapahit terhadap pelestarian warisan intelektualnya.

Dengan demikian, kehidupan intelektual di Majapahit adalah salah satu pilar utama kejayaan kerajaannya. Ini bukan hanya tentang kekuatan militer atau kekayaan materi, tetapi juga tentang kecanggihan pemikiran, keindahan seni, dan kedalaman spiritual yang diabadikan dalam setiap kitab kerajaan Majapahit. Karya-karya ini adalah bukti nyata dari tingginya peradaban Majapahit sebagai sebuah kerajaan yang tidak hanya berkuasa secara fisik, tetapi juga mencerahkan secara intelektual.

Warisan Abadi Kitab-Kitab Majapahit

Setelah menelusuri berbagai kitab kerajaan Majapahit, menjadi jelas bahwa warisan mereka melampaui sekadar catatan sejarah belaka. Kitab-kitab ini telah memberikan kontribusi yang tak terhingga bagi pemahaman kita tentang masa lalu Nusantara, membentuk fondasi identitas nasional, dan terus menjadi sumber inspirasi bagi berbagai aspek kehidupan budaya hingga kini. Mereka adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan kebijaksanaan dan keagungan para leluhur.

Kontribusi Terhadap Pemahaman Sejarah Nusantara

Kontribusi paling langsung dari kitab-kitab Majapahit adalah dalam merekonstruksi sejarah Nusantara, khususnya periode klasik Hindu-Buddha. Tanpa Negarakertagama, Pararaton, dan berbagai prasasti, gambaran kita tentang Majapahit akan sangat samar. Mereka menyediakan kerangka kronologis, nama-nama raja dan tokoh penting, peristiwa-peristiwa krusial, hingga detail-detail kehidupan sehari-hari dan sistem pemerintahan. Para sejarawan modern sangat bergantung pada sumber-sumber ini untuk menyusun narasi sejarah yang komprehensif dan akurat.

Selain itu, kitab-kitab ini juga membantu kita memahami hubungan Majapahit dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dan di Asia Tenggara. Deskripsi wilayah taklukan dan jaringan perdagangan dalam Negarakertagama, misalnya, memberikan wawasan tentang peta geopolitik dan ekonomi regional pada masa itu. Mereka memungkinkan kita untuk melihat Majapahit bukan sebagai entitas terisolasi, tetapi sebagai bagian integral dari sebuah jaringan peradaban yang lebih luas.

Pengaruh Terhadap Identitas Nasional Indonesia

Mungkin warisan paling monumental dari kitab-kitab Majapahit adalah kontribusinya terhadap pembentukan identitas nasional Indonesia. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa" dari Kakawin Sutasoma telah diangkat sebagai motto resmi negara Indonesia. Semboyan ini secara kuat merefleksikan prinsip pluralisme, persatuan dalam keragaman, dan toleransi yang menjadi inti dari bangsa Indonesia modern. Dengan demikian, sebuah pemikiran filosofis yang lahir di Majapahit berabad-abad yang lalu, kini menjadi landasan moral dan etika bagi sebuah negara yang besar dan majemuk.

Selain itu, narasi tentang Majapahit sebagai imperium maritim yang luas, seperti yang digambarkan dalam Negarakertagama, juga memberikan inspirasi bagi konsep "Wawasan Nusantara" dan cita-cita Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat dan bersatu. Kisah-kisah kepahlawanan Gajah Mada, meskipun seringkali dibumbui legenda, telah menjadi simbol semangat perjuangan dan persatuan nasional.

Inspirasi Bagi Seni, Budaya, dan Spiritualitas Kontemporer

Pengaruh kitab-kitab Majapahit tidak berhenti pada sejarah dan politik. Mereka terus menjadi sumber inspirasi yang kaya bagi seni, budaya, dan spiritualitas kontemporer di Indonesia. Kisah-kisah dari Pararaton, Sutasoma, atau bahkan Kidung-kidung sejarah, seringkali diadaptasi dalam seni pertunjukan seperti wayang kulit, tari, drama, dan bahkan film. Karakter-karakter heroik dan filosofi mendalam yang terkandung di dalamnya terus membentuk imajinasi kolektif masyarakat.

Aspek spiritualitas dan sinkretisme Hindu-Buddha yang begitu kental dalam kitab-kitab ini juga memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana berbagai kepercayaan dapat hidup berdampingan secara harmonis. Hal ini relevan dalam konteks masyarakat modern yang multireligius, di mana nilai-nilai toleransi dan saling pengertian tetap krusial. Kitab-kitab kerajaan Majapahit menjadi penanda bahwa sejak dahulu kala, Nusantara telah memiliki tradisi intelektual yang mampu merangkul keragaman.

Tantangan Pelestarian dan Interpretasi di Masa Modern

Meskipun memiliki nilai yang luar biasa, pelestarian dan interpretasi kitab-kitab Majapahit di masa modern menghadapi tantangan. Banyak naskah kuno yang rapuh dan memerlukan perawatan khusus. Selain itu, bahasa Jawa Kuno yang digunakan dalam teks-teks ini semakin jarang dikuasai, sehingga diperlukan upaya penerjemahan dan studi yang berkelanjutan. Dibutuhkan peran aktif dari lembaga pendidikan, peneliti, dan pemerintah untuk memastikan bahwa warisan ini tidak hanya tersimpan dengan baik, tetapi juga terus dipelajari dan dipahami oleh generasi mendatang.

Digitalisasi naskah-naskah kuno, pembuatan kamus Jawa Kuno yang lebih lengkap, serta publikasi terjemahan dan interpretasi modern adalah beberapa langkah penting yang sedang dan perlu terus dilakukan. Dengan demikian, kitab-kitab kerajaan Majapahit dapat terus berbicara kepada kita, mengungkap rahasia masa lalu, dan memberikan pelajaran berharga untuk masa depan.

Menjelajahi Kekuatan Maritim dan Jaringan Perdagangan Majapahit

Majapahit sering digambarkan sebagai sebuah imperium maritim yang luar biasa, dan gambaran ini banyak diilhami oleh isi kitab-kitab kuno yang menjadi sumbernya. Negarakertagama, khususnya, memberikan petunjuk penting mengenai kekuatan bahari Majapahit serta jangkauan jaringan perdagangan mereka yang membentang luas. Pemahaman mendalam tentang aspek ini adalah kunci untuk mengapresiasi kebesaran Majapahit secara utuh.

Gambaran Kemaritiman dalam Kitab-Kitab

Meskipun Negarakertagama tidak secara eksplisit merinci kekuatan angkatan laut atau strategi maritim Majapahit secara teknis, ia secara implisit menunjukkan dominasi maritim melalui daftar wilayah-wilayah yang tunduk di bawah pengaruhnya. Dari "Nusantara" yang luas, yang mencakup pulau-pulau di seluruh kepulauan Indonesia modern hingga sebagian Semenanjung Malaya dan bahkan mungkin sebagian Filipina selatan, terbukti bahwa Majapahit memiliki kemampuan untuk memproyeksikan kekuasaannya melintasi lautan. Penguasaan jalur laut adalah prasyarat mutlak bagi sebuah kerajaan yang memiliki jangkauan geografis seperti itu.

Keberadaan pelabuhan-pelabuhan ramai di sepanjang pesisir utara Jawa, seperti yang dicatat dalam beberapa sumber dan juga tersirat dari kemakmuran Majapahit, menunjukkan aktivitas pelayaran yang tinggi. Armada kapal Majapahit, baik untuk tujuan dagang maupun militer, pasti telah beroperasi secara aktif untuk menghubungkan pusat kerajaan dengan wilayah-wilayah di seberang lautan. Kisah-kisah heroik Mahapatih Gajah Mada dan Sumpah Palapa-nya, meskipun lebih banyak dicatat dalam Pararaton, semakin menggarisbawahi ambisi dan realisasi Majapahit sebagai kekuatan maritim yang tak tertandingi di masanya.

Hubungan Dagang dengan Berbagai Wilayah

Negarakertagama juga secara tidak langsung menyoroti pentingnya perdagangan dalam ekonomi Majapahit. Meskipun tidak memberikan detail transaksi, disebutkan adanya berbagai komoditas yang diperdagangkan, serta kunjungan utusan dari berbagai negara asing. Hubungan dagang Majapahit membentang dari Asia daratan seperti Tiongkok dan Indochina, hingga India dan bahkan Timur Tengah melalui jalur rempah-rempah. Majapahit menjadi titik penting dalam jalur perdagangan global, di mana barang-barang berharga dari timur dan barat bertemu.

Komoditas ekspor utama Majapahit kemungkinan besar meliputi hasil bumi seperti rempah-rempah, beras, kayu, dan hasil hutan lainnya. Impornya mungkin berupa kain sutra, keramik, perhiasan, dan barang-barang mewah lainnya. Jaringan perdagangan yang luas ini tidak hanya membawa kekayaan materi bagi Majapahit, tetapi juga memfasilitasi pertukaran budaya dan penyebaran agama. Para pedagang, di samping barang dagangannya, juga membawa serta ide-ide, teknologi, dan kepercayaan baru, yang memperkaya peradaban Majapahit.

Dampak Ekonomi dan Politik dari Jaringan Maritim

Kekuatan maritim dan jaringan perdagangan Majapahit memiliki dampak ekonomi dan politik yang signifikan. Secara ekonomi, kekayaan yang diperoleh dari perdagangan memperkuat kas kerajaan, membiayai proyek-proyek pembangunan, dan mendukung kehidupan istana serta para seniman dan pujangga. Kemakmuran ini juga memungkinkan Majapahit untuk menjaga angkatan perangnya dan memelihara stabilitas dalam wilayah kekuasaannya.

Secara politik, dominasi maritim Majapahit memberikan kontrol atas jalur-jalur perdagangan penting, memungkinkan mereka untuk memungut pajak dari kapal-kapal yang melintas dan menjaga keamanan perairan. Hal ini memperkuat posisi Majapahit sebagai hegemon regional. Kemampuan untuk mengontrol perdagangan juga berarti kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan dan pengaruh politik ke wilayah-wilayah di luar Jawa, yang pada gilirannya memperluas cakupan "Nusantara" Majapahit. Dengan demikian, kitab-kitab kerajaan Majapahit memberikan bukti tak terbantahkan tentang Majapahit sebagai kekuatan ekonomi dan politik yang didukung oleh supremasi maritimnya.

Struktur Sosial, Ekonomi, dan Keagamaan Majapahit

Untuk memahami Majapahit secara menyeluruh, kita juga perlu menelaah struktur sosial, sistem ekonominya, dan corak kehidupan keagamaan yang tercermin dalam berbagai kitab kuno. Kitab-kitab ini, meskipun seringkali berfokus pada elite istana, tetap memberikan petunjuk berharga tentang bagaimana masyarakat Majapahit diorganisasikan, bagaimana mereka mencari nafkah, dan bagaimana mereka menjalani kehidupan spiritual mereka.

Hierarki Masyarakat Majapahit

Dari catatan dalam Negarakertagama dan prasasti-prasasti, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Majapahit memiliki struktur hierarkis yang jelas. Di puncak piramida adalah raja (Maharaja) dan keluarga kerajaan, yang dianggap memiliki legitimasi ilahi. Di bawahnya adalah para bangsawan (Bhre), kerabat raja yang memegang jabatan-jabatan penting di pemerintahan pusat dan daerah. Para bangsawan ini seringkali dipercaya untuk mengelola wilayah-wilayah tertentu dan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan raja.

Selanjutnya, ada golongan pendeta dari dua dharma utama, yaitu pendeta Siwa (Syiwa-Buddha) dan pendeta Buddha. Mereka memiliki status sosial yang tinggi dan berperan sebagai penasihat spiritual raja, pengajar, serta pelaksana ritual keagamaan. Keberadaan dua kelompok pendeta yang kuat ini menunjukkan pentingnya agama dalam kehidupan Majapahit dan bagaimana kedua agama tersebut diakomodasi dalam struktur sosial.

Di bawah golongan elite, terdapat para pejabat kerajaan, prajurit, seniman, dan pedagang. Golongan ini merupakan kelas menengah yang memiliki peran penting dalam menjalankan roda pemerintahan, mempertahankan keamanan, dan menggerakkan ekonomi. Mereka memiliki status yang lebih baik dibandingkan dengan rakyat biasa. Pada lapisan paling bawah adalah rakyat jelata, sebagian besar adalah petani yang menjadi tulang punggung ekonomi Majapahit. Mereka diwajibkan membayar pajak kepada kerajaan, baik dalam bentuk hasil bumi maupun tenaga kerja. Keberadaan struktur hierarkis ini menunjukkan kompleksitas organisasi sosial Majapahit.

Sistem Pertanian dan Perpajakan

Ekonomi Majapahit sebagian besar didasarkan pada sektor pertanian, terutama padi. Lembah-lembah sungai di Jawa Timur, yang subur, menjadi lumbung padi utama yang mendukung populasi besar kerajaan. Sistem irigasi yang maju memungkinkan pertanian padi basah (sawah) dapat dilakukan secara intensif. Kitab-kitab dan prasasti seringkali menyebutkan tentang tanah, hasil panen, dan pajak yang dikenakan atasnya.

Sistem perpajakan adalah mekanisme utama bagi kerajaan untuk mengumpulkan sumber daya. Pajak dapat berupa bagian dari hasil panen, upeti dari wilayah-wilayah taklukan, atau bea cukai dari perdagangan. Prasasti-prasasti memberikan detail tentang jenis-jenis pajak yang beragam dan cara pengumpulannya. Kekayaan yang terkumpul melalui sistem ini memungkinkan Majapahit untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pemeliharaan istana, dan kegiatan militer. Ekonomi yang stabil dan subur adalah fondasi bagi kekuasaan dan kemakmuran Majapahit.

Kehidupan Beragama dan Peran Upacara

Seperti yang telah banyak disinggung dalam analisis Sutasoma dan Negarakertagama, kehidupan beragama di Majapahit didominasi oleh perpaduan Hindu (terutama Siwa) dan Buddha. Sinkretisme ini bukan hanya fenomena teoritis, tetapi juga praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan istana. Raja seringkali dianggap sebagai manifestasi dari dewa Hindu atau Bodhisattva Buddha, yang semakin memperkuat legitimasi spiritual kekuasaannya.

Upacara dan ritual keagamaan memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga stabilitas sosial dan politik. Mereka adalah sarana untuk menghormati dewa-dewi, leluhur, serta untuk memohon keberkahan dan perlindungan bagi kerajaan. Negarakertagama secara rinci menggambarkan upacara Sraddha yang mewah, yang menunjukkan betapa pentingnya ritual keagamaan dalam kehidupan istana. Upacara-upacara ini juga berfungsi sebagai perekat sosial, menyatukan berbagai lapisan masyarakat dalam sebuah perayaan komunal. Selain Hindu-Buddha, kepercayaan-kepercayaan lokal dan animisme juga masih hidup dan berbaur dalam praktik keagamaan Majapahit, menunjukkan kekayaan spiritual yang luar biasa.

Dengan meninjau struktur sosial, ekonomi, dan keagamaan ini, kita mendapatkan gambaran Majapahit yang lebih multidimensional. Kitab-kitab kerajaan Majapahit telah memberikan detail yang sangat berharga untuk memahami kompleksitas sebuah peradaban besar yang mampu menyatukan berbagai elemen, baik dalam struktur masyarakatnya, sistem ekonominya, maupun dalam keyakinan spiritualnya.

Penutup: Jejak Tak Terhapuskan Kejayaan Nusantara

Menelusuri lembaran-lembaran kuno yang disebut kitab kerajaan Majapahit adalah sebuah perjalanan yang melintasi lorong waktu, membawa kita ke jantung sebuah peradaban agung yang pernah bersemayam di bumi Nusantara. Dari kakawin yang megah seperti Negarakertagama, kronik berbalut legenda seperti Pararaton, hingga karya filosofis yang mendalam seperti Sutasoma, setiap teks ini adalah potongan berharga dari sebuah puzzle besar yang kita sebut sejarah Majapahit. Mereka bukan sekadar peninggalan usang, melainkan sumber hidup yang terus berbicara, mengungkap kebijaksanaan, kekuatan, dan kompleksitas nenek moyang kita.

Kitab-kitab ini telah mengajarkan kita bahwa Majapahit bukan hanya tentang perang dan kekuasaan, melainkan juga tentang keindahan sastra, kedalaman filosofi, dan kemampuan luar biasa untuk mengelola keragaman. Konsep "Bhinneka Tunggal Ika", yang lahir dari rahim Majapahit, adalah bukti nyata dari pemikiran maju dan toleransi yang telah ada di Nusantara sejak dahulu kala. Nilai ini, yang kini menjadi pilar bangsa, menunjukkan betapa relevannya warisan Majapahit bagi kehidupan modern kita.

Setiap kitab kerajaan Majapahit adalah cerminan dari berbagai aspek kehidupan: politik istana yang dinamis, struktur sosial yang teratur, ekonomi yang berbasis pertanian dan perdagangan maritim, serta kehidupan keagamaan yang sinkretis. Mereka memberikan detail yang kaya tentang bagaimana sebuah kerajaan dapat tumbuh menjadi imperium, menghadapi tantangan internal maupun eksternal, dan meninggalkan jejak budaya yang tak terhapuskan. Kisah-kisah para raja, patih, pujangga, dan rakyat biasa yang terekam dalam teks-teks ini, meskipun seringkali dengan bias dan sudut pandang yang berbeda, tetap menjadi cermin bagi kita untuk memahami jati diri bangsa.

Pentingnya terus menggali, mempelajari, dan melestarikan kitab-kitab Majapahit tidak dapat diremehkan. Mereka adalah jembatan pengetahuan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana membangun dan menjaga sebuah peradaban yang makmur dan harmonis. Tugas kita adalah memastikan bahwa suara-suara dari masa lalu ini terus didengar, dipahami, dan dihargai oleh generasi-generasi mendatang.

Pada akhirnya, warisan kitab-kitab kerajaan Majapahit adalah pengingat abadi akan kejayaan Nusantara yang pernah ada. Mereka adalah saksi bisu dari kecerdasan, kreativitas, dan spiritualitas nenek moyang kita. Dengan terus merawat dan mengkaji harta karun ini, kita tidak hanya menghormati sejarah, tetapi juga memperkaya masa depan, menegaskan kembali bahwa Nusantara adalah tanah tempat peradaban besar lahir dan berkembang, meninggalkan jejak yang akan terus bersinar sepanjang masa.