Warisan Aksara Majapahit: Kitab-kitab Agung Nusantara

Pengantar ke Dunia Naskah Majapahit

Di jantung peradaban Nusantara, Kemaharajaan Majapahit tegak sebagai sebuah imperium maritim yang disegani. Kejayaan ini tidak hanya terpancar dari kekuatan militer atau luasnya wilayah kekuasaan, melainkan juga dari kekayaan intelektual dan spiritualnya yang terabadikan dalam berbagai naskah. Naskah-naskah kuno ini, seringkali disebut sebagai kitab Majapahit, merupakan jendela menuju pemahaman mendalam tentang pandangan hidup, sistem pemerintahan, kepercayaan, serta dinamika sosial dan budaya masyarakat di masa lampau.

Tulisan-tulisan ini adalah peninggalan berharga yang merekam perjalanan sebuah bangsa. Dari serat-serat yang mengisahkan sejarah raja-raja hingga kakawin yang menggali filsafat agung, setiap lembar naskah Majapahit adalah untaian kearifan. Naskah-naskah ini menjadi saksi bisu atas puncak pencapaian sastra dan kebudayaan Jawa Kuno, memberikan perspektif unik tentang bagaimana masyarakat pada masa itu memahami dunia dan menata kehidupannya.

Pemahaman terhadap naskah Majapahit memerlukan penelusuran yang cermat. Ada yang bersifat historis, mencoba merekonstruksi peristiwa masa lalu. Ada pula yang didominasi oleh unsur-unsur sastra dan spiritual, mengungkap nilai-nilai luhur yang dianut. Keberadaan naskah-naskah ini menjadi bukti nyata bahwa Majapahit bukan hanya pusat kekuasaan politik, tetapi juga pusat keilmuan dan kebudayaan yang melahirkan karya-karya abadi, relevan hingga kini.

Meskipun seringkali terpisah oleh rentang waktu yang panjang dan tantangan dalam interpretasi, esensi dari naskah-naskah ini tetap hidup. Ia terus menginspirasi para sarjana, budayawan, dan generasi penerus untuk menggali lebih dalam warisan leluhur. Mari kita telusuri bersama khazanah intelektual yang tak ternilai dari peradaban Majapahit ini, memahami setiap lembar yang menyimpan makna dan hikmah.

Ilustrasi lembaran lontar kuno terbuka, melambangkan naskah-naskah Majapahit yang berharga.
Simbol kearifan yang tertulis: lontar, media utama naskah Majapahit.

Berbagai jenis tulisan dari masa Majapahit mencakup spektrum luas, mulai dari kronik sejarah, karya sastra epik, hingga teks-teks keagamaan dan filosofis. Material penulisannya pun beragam, meski lontar menjadi media yang paling umum. Setiap naskah memiliki cerita dan tujuan tersendiri, namun secara kolektif, mereka membentuk mozaik lengkap yang merefleksikan kompleksitas dan kemegahan peradaban Majapahit. Melalui setiap kata yang terukir, kita diajak menembus batas waktu, merasakan hembusan napas kehidupan di pusat kemaharajaan yang pernah berjaya.

Upaya pelestarian dan penelitian terhadap naskah-naskah ini terus berlanjut. Banyak di antaranya yang kini tersimpan di berbagai perpustakaan dan museum, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Ilmu pengetahuan modern dengan berbagai teknologinya membantu mengungkap misteri-misteri yang tersembunyi di baliknya. Naskah-naskah ini tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah belaka, tetapi juga sebagai sumber inspirasi tak berhingga bagi seni, filsafat, dan identitas kebangsaan. Mempelajari mereka adalah jalan untuk memahami akar budaya Nusantara yang kaya dan mendalam.

Negarakertagama: Potret Kemaharajaan Gemilang

Di antara semua naskah Majapahit, Negarakertagama menempati posisi yang sangat istimewa. Karya agung ini ditulis oleh Mpu Prapanca, seorang pujangga istana yang memiliki akses langsung ke lingkaran dalam kemaharajaan. Naskah ini adalah sebuah mahakarya sastra dan historis yang menggambarkan puncak kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan seorang raja yang bijaksana. Negarakertagama bukan sekadar catatan peristiwa, melainkan sebuah puisi pujian yang dirancang untuk mengagungkan kemaharajaan dan rajanya, sekaligus memberikan gambaran ideal tentang tata negara dan kehidupan beragama.

Pujangga Mpu Prapanca dan Karyanya

Mpu Prapanca, penulis Negarakertagama, adalah seorang tokoh terpelajar dari kalangan biara Buddha yang kemudian menjadi pujangga istana. Pengetahuannya yang luas tentang sastra, agama, dan tata negara memberinya kemampuan untuk menghasilkan sebuah karya yang komprehensif dan artistik. Tujuan utamanya dalam menulis Negarakertagama adalah untuk merayakan kebesaran Majapahit, khususnya raja yang berkuasa saat itu, serta untuk mendokumentasikan pencapaian-pencapaian kemaharajaan bagi generasi mendatang. Dalam setiap baitnya, terasa betul kebanggaan Prapanca terhadap negerinya dan visinya tentang sebuah kemaharajaan yang makmur dan adil.

Proses penulisan Negarakertagama diyakini berlangsung dalam suasana yang tenang dan penuh inspirasi di lingkungan keraton. Mpu Prapanca dengan cermat mengumpulkan informasi, melakukan pengamatan, dan merangkai kata-kata menjadi sebuah kakawin yang indah. Karya ini menjadi cerminan dari tradisi sastra Jawa Kuno yang sangat kental, di mana keindahan bahasa dan kedalaman makna berjalan beriringan. Peran Prapanca sebagai pengamat sekaligus partisipan dalam kehidupan istana memberinya perspektif unik yang membuat Negarakertagama begitu berharga sebagai sumber sejarah dan sastra.

Struktur dan Isi Naskah

Negarakertagama tersusun dalam bentuk kakawin, yaitu puisi panjang dalam bahasa Jawa Kuno yang terikat pada aturan metrum tertentu. Naskah ini dibagi menjadi beberapa pupuh (bab) yang masing-masing mengisahkan aspek berbeda dari Majapahit. Bagian awal berfokus pada silsilah raja-raja dan leluhur penguasa, memberikan legitimasi atas kedudukan mereka. Kemudian, naskah ini memerinci kehidupan istana, upacara keagamaan, serta perjalanan raja ke berbagai daerah di wilayah kemaharajaan. Deskripsi perjalanan ini sangat berharga karena memberikan gambaran geografis dan demografis tentang daerah-daerah yang menjadi bagian atau tunduk pada Majapahit.

Bagian lain dari Negarakertagama menggambarkan sistem administrasi kemaharajaan, struktur pemerintahan, serta kehidupan sosial masyarakat Majapahit. Prapanca dengan detail menjelaskan tentang pejabat-pejabat kerajaan, sistem pajak, dan hukum yang berlaku. Gambaran tentang kehidupan religius juga sangat menonjol, menunjukkan harmoni antara penganut Hindu Siwa dan Buddha di Majapahit. Deskripsi tentang candi-candi, biara, dan praktik keagamaan memberikan pemahaman tentang spiritualitas yang kuat di masa itu. Keindahan alam, kebun-kebun istana, dan pesta-pesta kerajaan juga tak luput dari penggambaran Prapanca, menciptakan citra sebuah peradaban yang berbudaya tinggi.

Tidak hanya itu, Negarakertagama juga memuat daftar negara-negara bawahan dan wilayah yang memiliki hubungan diplomatik atau perdagangan dengan Majapahit. Informasi ini sangat penting untuk memahami luasnya pengaruh maritim kemaharajaan tersebut di Nusantara dan sekitarnya. Prapanca menyajikan data ini dengan gaya puitis, menunjukkan bahwa ia ingin tidak hanya mencatat fakta, tetapi juga menonjolkan kebesaran dan kewibawaan Majapahit di mata dunia.

Nilai Historis dan Kultural

Nilai historis Negarakertagama tak terbantahkan. Sebagai salah satu dari sedikit sumber primer yang berasal langsung dari Majapahit, naskah ini memberikan detail yang tidak ditemukan di sumber lain. Meski harus dibaca dengan kehati-hatian karena sifatnya yang berupa eulogi (pujian), informasi yang disajikannya telah banyak membantu para sejarawan dalam merekonstruksi gambaran Majapahit. Deskripsi tentang raja, istana, upacara, dan wilayah kekuasaan menjadi pondasi utama untuk memahami struktur dan skala kemaharajaan.

Secara kultural, Negarakertagama adalah monumen sastra yang menunjukkan kemahiran luar biasa dalam penggunaan bahasa Jawa Kuno. Penggunaan metrum, aliterasi, dan metafora yang kaya menjadikan naskah ini bukan hanya sumber informasi, tetapi juga karya seni yang memukau. Ia merefleksikan nilai-nilai estetika dan etika yang dianut oleh masyarakat Majapahit, termasuk konsep keadilan, kemakmuran, dan harmoni. Karya ini juga menjadi bukti kuat akan adanya tradisi kepujanggaan yang mapan di Majapahit, yang mampu menghasilkan karya-karya abadi.

Pengaruh Negarakertagama melampaui batas zamannya. Hingga kini, naskah ini menjadi rujukan utama bagi studi tentang Majapahit, dan potongan-potongan informasinya seringkali digunakan untuk memahami aspek-aspek lain dari sejarah dan budaya Nusantara. Peran naskah ini dalam membangun kesadaran sejarah dan identitas kebangsaan modern sangatlah besar. Keberadaannya mengingatkan kita akan kejayaan masa lalu dan kekayaan intelektual leluhur yang tak lekang oleh waktu.

Pararaton: Kronik Para Penguasa Jawa

Berbeda dengan Negarakertagama yang bersifat pujian dan istana sentris, Pararaton atau Kitab Raja-raja, menyajikan narasi yang lebih bersifat kronik dan seringkali dibumbui unsur-unsur mitos serta legenda. Naskah ini ditulis di masa yang berbeda, dengan gaya bahasa yang lebih sederhana, dan tampaknya ditujukan untuk khalayak yang lebih luas, atau mungkin sebagai catatan lisan yang kemudian dibukukan. Pararaton mengisahkan tentang raja-raja yang memerintah di Jawa Timur, dimulai dari tokoh legendaris Ken Arok, pendiri Kerajaan Singhasari, hingga raja-raja Majapahit. Kisah-kisahnya penuh dengan intrik, perebutan kekuasaan, peperangan, dan juga elemen-elemen supernatural yang memperkaya alur ceritanya.

Ciri Khas dan Perbedaan dari Naskah Lain

Salah satu ciri khas utama Pararaton adalah gayanya yang lugas dan naratif, cenderung lebih seperti cerita rakyat atau babad daripada kakawin yang formal. Struktur bahasanya tidak terikat oleh metrum ketat seperti Negarakertagama. Hal ini membuatnya lebih mudah dipahami, namun pada saat yang sama, memunculkan tantangan tersendiri dalam verifikasi historis. Informasi yang disajikan seringkali singkat, fokus pada suksesi penguasa dan peristiwa-peristiwa penting yang mengelilinginya, termasuk asal-usul, kematian, dan perselisihan yang melibatkan para pemimpin.

Perbedaan mencolok lainnya adalah adanya unsur-unsur magis dan legenda yang kental dalam Pararaton. Misalnya, kisah Ken Arok yang memiliki kesaktian luar biasa, atau ramalan-ramalan yang menentukan nasib para raja. Unsur-unsur ini, meski menarik, membuat para sejarawan harus sangat berhati-hati dalam memisahkan fakta historis dari mitos. Negarakertagama, di sisi lain, lebih realistis dalam menggambarkan peristiwa, meskipun tetap dalam konteks pujian terhadap kemaharajaan.

Pararaton juga seringkali mencatat hal-hal yang tidak diungkapkan dalam Negarakertagama, seperti intrik di balik layar istana, pembunuhan politik, atau skandal-skandal yang melibatkan anggota keluarga kerajaan. Informasi semacam ini memberikan dimensi lain pada pemahaman kita tentang Majapahit, menunjukkan bahwa di balik kemegahan, terdapat pula dinamika kekuasaan yang kompleks dan terkadang brutal. Naskah ini melengkapi gambaran yang disajikan oleh naskah-naskah lain, meskipun dengan perspektif yang berbeda.

Kisah Pendirian dan Perebutan Takhta

Narasi Pararaton dimulai dengan kisah Ken Arok, seorang anak angkat yang kemudian menjadi pendiri Kerajaan Singhasari. Kisah hidupnya digambarkan penuh liku, dari seorang berandal hingga menjadi raja. Ini termasuk cerita tentang bagaimana ia membunuh Tunggul Ametung untuk merebut kekuasaan dan memperistri Ken Dedes, serta kutukan-kutukan yang mengiringi. Cerita ini menekankan siklus karma dan takdir yang menjadi benang merah dalam sejarah para penguasa Jawa.

Setelah Singhasari, Pararaton melanjutkan dengan kronik raja-raja Majapahit, dimulai dari pendirinya, Raden Wijaya, hingga raja-raja penerusnya. Naskah ini mencatat peristiwa-peristiwa penting seperti pemberontakan, ekspedisi militer, dan juga perkawinan politik yang memperkuat ikatan antar keluarga bangsawan. Detail mengenai kejadian, meskipun tidak selalu akurat dalam pengertian modern, memberikan urutan waktu yang berharga untuk studi sejarah. Meskipun tanpa menyebutkan waktu spesifik, rangkaian peristiwa yang digambarkan memberikan kronologi yang bisa dipetakan secara relatif.

Perebutan takhta adalah tema sentral dalam Pararaton. Setiap suksesi seringkali diwarnai dengan konflik, pembunuhan, dan intrik politik. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan di masa itu adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan keras, dan seringkali dengan cara-cara yang kejam. Kisah-kisah ini, meski tragis, memberikan gambaran yang lebih manusiawi tentang para pemimpin Majapahit, dengan segala ambisi dan kelemahannya.

Relevansi untuk Pemahaman Sejarah

Meskipun unsur mitosnya kuat, Pararaton tetap menjadi sumber yang sangat penting untuk memahami sejarah Majapahit dan kerajaan-kerajaan pendahulunya. Para sejarawan menggunakan naskah ini dengan metode kritis, membandingkannya dengan sumber-sumber lain seperti Negarakertagama, prasasti-prasasti, dan data arkeologi untuk memverifikasi informasi. Informasi tentang silsilah raja-raja, durasi pemerintahan, dan peristiwa-peristiwa besar, jika disaring dengan cermat, dapat memberikan kerangka waktu dan detail penting.

Naskah ini juga relevan dalam konteks studi tentang mentalitas dan kepercayaan masyarakat Jawa Kuno. Kehadiran elemen-elemen magis dan supranatural dalam kisah-kisah raja menunjukkan bahwa pandangan dunia pada masa itu sangat dipengaruhi oleh kepercayaan akan kekuatan gaib dan takdir ilahi. Pararaton mencerminkan cara masyarakat Majapahit memahami dan menafsirkan sejarah mereka sendiri, bukan hanya sebagai rangkaian fakta, melainkan sebagai bagian dari suatu tatanan kosmis yang lebih besar.

Dalam konteks modern, Pararaton membantu kita memahami akar-akar budaya dan narasi historis yang membentuk identitas sebagian masyarakat Indonesia. Kisah-kisah dari Pararaton seringkali diadaptasi dalam seni pertunjukan, sastra, dan media lainnya, menunjukkan bahwa warisan ini tetap hidup dan relevan dalam membentuk ingatan kolektif bangsa. Pengkajian terhadap naskah ini terus berlanjut, mengungkap lapisan-lapisan makna yang semakin memperkaya pemahaman kita tentang masa lalu yang agung.

Sutasoma dan Arjunawijaya: Kakawin Penuh Makna

Di samping naskah-naskah historis, Majapahit juga menghasilkan karya sastra kakawin yang luar biasa indahnya, seperti Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawijaya. Kedua karya ini ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga ulung yang hidup di masa keemasan Majapahit. Berbeda dengan Negarakertagama yang fokus pada penggambaran istana dan pemerintahan, Sutasoma dan Arjunawijaya lebih menonjolkan aspek filosofis, spiritual, dan etika melalui kisah-kisah epik yang sarat simbolisme. Mereka adalah bukti nyata kecerdasan sastra dan kedalaman pemikiran yang berkembang di Majapahit.

Mpu Tantular dan Filsafat Persatuan

Mpu Tantular adalah salah satu pujangga terbesar dari era Majapahit, dikenal karena kemampuannya merangkai kata-kata menjadi puisi yang indah sekaligus penuh makna. Sebagai seorang Brahmana penganut Buddha, pemikiran Mpu Tantular sangat dipengaruhi oleh ajaran Buddha, namun ia juga sangat terbuka terhadap tradisi Hindu Siwa. Inilah yang menjadi dasar bagi konsep filsafat persatuan yang menjadi benang merah dalam karya-karyanya, terutama Sutasoma. Ia berusaha menyatukan berbagai ajaran dan kepercayaan dalam satu bingkai, sebuah cerminan dari semangat toleransi yang dijunjung tinggi di Majapahit.

Karya-karya Mpu Tantular tidak hanya dihargai karena keindahan sastranya, tetapi juga karena pesan moral dan spiritual yang disampaikannya. Ia menggunakan kisah-kisah mitologis dan epik untuk menyampaikan gagasan-gagasan kompleks tentang kebaikan, kejahatan, dharma, dan karma. Perannya sebagai seorang filsuf sekaligus penyair menjadikannya sosok yang sangat penting dalam sejarah intelektual Majapahit, memberikan sumbangsih besar bagi perkembangan pemikiran dan sastra.

Bhinneka Tunggal Ika dalam Sutasoma

Kakawin Sutasoma adalah karya Mpu Tantular yang paling terkenal dan paling berpengaruh, terutama karena memuat frasa "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa". Frasa ini berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua". Frasa ini kemudian diangkat sebagai semboyan negara Indonesia, menunjukkan relevansinya yang abadi.

Kisah Sutasoma sendiri adalah sebuah epos tentang Pangeran Sutasoma, reinkarnasi seorang Buddha, yang mengembara untuk mengajarkan dharma dan menumpas kejahatan. Dalam perjalanannya, Sutasoma menghadapi berbagai cobaan dan bertemu dengan berbagai makhluk, baik yang jahat maupun yang baik. Ia selalu menunjukkan belas kasih, keberanian, dan kebijaksanaan, bahkan terhadap musuh-musuhnya. Pesan utama dari kakawin ini adalah pentingnya toleransi, kasih sayang, dan upaya untuk mencapai keselarasan di tengah perbedaan. Sutasoma mengajarkan bahwa kebaikan sejati tidak membeda-bedakan latar belakang, dan bahwa perbedaan keyakinan seharusnya tidak menjadi penghalang bagi persatuan.

Konsep persatuan antara Hindu Siwa dan Buddha digambarkan secara indah dalam Sutasoma. Mpu Tantular dengan piawai menunjukkan bahwa kedua agama tersebut, meskipun memiliki ritual dan dewa yang berbeda, pada dasarnya memiliki tujuan spiritual yang sama untuk mencapai kebenaran. Ini adalah refleksi dari kebijakan toleransi beragama yang diterapkan di Majapahit, di mana penganut berbagai kepercayaan dapat hidup berdampingan secara harmonis. Nilai ini sangat relevan bagi masyarakat multikultural seperti Indonesia.

Kisah Heroik dalam Arjunawijaya

Selain Sutasoma, Mpu Tantular juga menulis Kakawin Arjunawijaya. Karya ini mengisahkan tentang tokoh Arjuna Sasrabahu, seorang raja perkasa yang memiliki seribu lengan. Berbeda dengan Arjuna dari wiracarita Mahabharata, Arjuna Sasrabahu adalah raja dari Kerajaan Mahespati. Kisah Arjunawijaya penuh dengan pertempuran heroik, penculikan, dan konflik antara dewa-dewa serta raksasa.

Puncak cerita Arjunawijaya adalah konflik antara Arjuna Sasrabahu dan Rahwana, raja raksasa dari Alengka, yang menculik istri Arjuna, Dewi Citrawati. Dalam pertempuran dahsyat ini, Arjuna Sasrabahu menunjukkan kekuatan dan kesaktiannya yang luar biasa. Namun, di balik kisah-kisah kepahlawanan dan pertempuran, Arjunawijaya juga mengandung pesan moral tentang kesetiaan, pengorbanan, dan pentingnya menggunakan kekuatan untuk kebaikan. Mpu Tantular sekali lagi menyoroti perjuangan antara dharma dan adharma, kebaikan melawan kejahatan, dan bagaimana seorang pemimpin harus bertindak dengan integritas.

Kakawin Arjunawijaya tidak hanya memberikan hiburan melalui alur cerita yang seru, tetapi juga berfungsi sebagai cermin etika kepemimpinan. Tokoh Arjuna Sasrabahu digambarkan sebagai seorang raja yang bertanggung jawab, membela kebenaran, dan melindungi rakyatnya. Meskipun memiliki kekuatan supranatural, ia tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Kedua kakawin karya Mpu Tantular ini, Sutasoma dan Arjunawijaya, adalah bukti kematangan sastra dan filosofi di Majapahit, yang berhasil meramu hiburan dengan ajaran-ajaran luhur yang abadi.

Naskah-naskah Lain dan Inskripsi Batu

Selain karya-karya monumental seperti Negarakertagama, Pararaton, Sutasoma, dan Arjunawijaya, masih banyak naskah Majapahit lain yang memberikan wawasan tentang kehidupan dan kepercayaan masyarakat pada masa itu. Meskipun mungkin tidak sepopuler empat naskah tersebut, keberadaan mereka sangat penting untuk melengkapi gambaran utuh tentang khazanah intelektual Majapahit. Beberapa di antaranya berbentuk narasi mitologis, ajaran keagamaan, atau bahkan teks-teks hukum dan administrasi. Selain itu, inskripsi atau prasasti batu juga berperan krusial sebagai sumber informasi primer yang tak kalah berharganya.

Tantu Panggelaran dan Kosmologi Jawa

Salah satu naskah penting lainnya adalah Tantu Panggelaran. Naskah ini berbeda dari kakawin atau kronik sejarah. Tantu Panggelaran lebih banyak berisikan cerita-cerita mitologis dan kosmologis yang menjelaskan asal-usul gunung-gunung di Jawa, penciptaan alam semesta, dan berbagai legenda yang berkaitan dengan dewa-dewi Hindu-Buddha. Naskah ini menggambarkan bagaimana gunung Mahameru dipindahkan dari India ke Jawa untuk menstabilkan pulau tersebut, memberikan landasan mitologis bagi geografi Jawa.

Isi Tantu Panggelaran sangat kaya akan gambaran kosmologi Jawa Kuno, yang memadukan elemen-elemen Hindu-Buddha dengan kepercayaan lokal. Naskah ini juga membahas tentang para resi, pertapa, dan tempat-tempat suci, mencerminkan kuatnya tradisi spiritual di masyarakat Majapahit. Dari Tantu Panggelaran, kita dapat memahami bagaimana masyarakat pada masa itu melihat hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi. Ini adalah jendela ke dalam pandangan dunia spiritual yang dianut, menjelaskan banyak tentang praktik keagamaan dan simbolisme yang terdapat pada candi-candi dan relief kuno.

Naskah ini juga menceritakan tentang asal-usul berbagai upacara, ritual, dan kepercayaan yang masih memiliki jejaknya dalam kebudayaan Jawa hingga saat ini. Meskipun tidak secara langsung mencatat peristiwa sejarah politik, Tantu Panggelaran sangat penting untuk memahami latar belakang kultural dan spiritual di mana kerajaan Majapahit berdiri dan berkembang. Ia memberikan konteks bagi pemahaman tentang nilai-nilai yang membentuk pola pikir masyarakat Majapahit.

Prasasti: Sumber Informasi Tambahan

Selain naskah-naskah lontar, prasasti atau inskripsi batu merupakan sumber informasi primer yang tak kalah vital. Prasasti adalah catatan resmi yang dipahat pada batu atau lempengan tembaga, dikeluarkan oleh raja atau pejabat tinggi untuk mengumumkan keputusan kerajaan, mengukuhkan pemberian tanah, atau mencatat peristiwa penting. Karena sifatnya yang dipahat pada media yang tahan lama, banyak prasasti yang bertahan hingga kini dan memberikan data yang sangat berharga.

Prasasti seringkali memuat informasi tentang penentuan waktu (yang para ahli dapat menentukannya), nama raja yang memerintah, pejabat-pejabat kerajaan, batas-batas wilayah, hak dan kewajiban penduduk, serta sanksi hukum. Beberapa prasasti juga mencatat pembangunan tempat-tempat suci, penetapan desa-desa sima (daerah bebas pajak), atau peristiwa-peristiwa penting lainnya. Informasi ini seringkali sangat detail dan spesifik, melengkapi gambaran umum yang diberikan oleh naskah-naskah sastra.

Salah satu keuntungan utama prasasti adalah sifatnya yang lebih objektif dibandingkan dengan kakawin yang kadang bersifat pujian. Meskipun tetap merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pihak berkuasa, prasasti cenderung mencatat fakta-fakta administratif dan hukum dengan presisi yang lebih tinggi. Dengan membandingkan informasi dari berbagai prasasti, para ahli dapat merekonstruksi genealogi raja-raja, struktur pemerintahan, dan kondisi ekonomi sosial di Majapahit dengan tingkat akurasi yang lebih baik.

Kajian terhadap prasasti juga membantu mengidentifikasi keberadaan nama-nama tempat kuno, sistem pengukuran, dan praktik-praktik keagamaan yang spesifik. Misalnya, dari prasasti kita bisa mengetahui tentang jenis-jenis profesi, mata uang yang digunakan, atau bahkan nama-nama dewa-dewi yang dipuja. Dengan demikian, naskah-naskah tertulis di lontar dan inskripsi batu saling melengkapi, memberikan kita panorama yang komprehensif tentang kehidupan di Majapahit, dari aspek spiritual, sosial, politik, hingga ekonomi.

Lingkungan Penulisan dan Pelestarian Naskah

Pembuatan naskah-naskah Majapahit adalah sebuah kegiatan yang terstruktur dan memerlukan keahlian tinggi. Naskah-naskah ini tidak muncul begitu saja, melainkan hasil dari sebuah lingkungan intelektual yang mendukung, melibatkan para pujangga, juru tulis, dan pelestari aksara. Lingkungan ini, yang berpusat di keraton dan biara, memainkan peran sentral dalam penciptaan dan pelestarian warisan tulisan yang begitu kaya. Memahami proses di balik terciptanya naskah-naskah ini memberikan apresiasi yang lebih mendalam terhadap nilai dan arti pentingnya.

Peran Keraton dan Biara

Keraton atau istana raja adalah pusat utama kegiatan intelektual dan sastra di Majapahit. Para pujangga seperti Mpu Prapanca dan Mpu Tantular adalah bagian dari lingkaran istana, di mana mereka mendapatkan patronase dan dukungan untuk menghasilkan karya-karya agung. Lingkungan keraton menyediakan sumber daya, keamanan, dan akses terhadap informasi yang diperlukan untuk penulisan naskah. Tujuan utama naskah-naskah istana seringkali adalah untuk mengagungkan raja, melegitimasi kekuasaannya, dan mendokumentasikan kejayaan kemaharajaan.

Selain keraton, biara-biara Hindu dan Buddha juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pelestarian ilmu pengetahuan. Para biksu dan pendeta di biara-biara ini adalah kaum terpelajar yang menguasai bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno, serta memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran agama dan filsafat. Mereka tidak hanya menyalin teks-teks suci, tetapi juga menciptakan karya-karya orisinal yang sarat dengan pemikiran spiritual. Biara-biara menjadi tempat di mana pengetahuan diwariskan dari generasi ke generasi, memastikan kelangsungan tradisi intelektual.

Keterlibatan keraton dan biara menciptakan sebuah ekosistem di mana sastra dan ilmu pengetahuan dapat berkembang subur. Kedua institusi ini saling melengkapi; keraton menyediakan dukungan politis dan finansial, sementara biara-biara menyediakan basis intelektual dan spiritual. Ini menunjukkan bahwa Majapahit adalah peradaban yang sangat menghargai pengetahuan dan seni, dan menyadari pentingnya abadi catatan tertulis.

Proses Penyalinan dan Media Tulis

Naskah-naskah Majapahit sebagian besar ditulis pada daun lontar. Daun lontar adalah media yang umum digunakan di Asia Tenggara untuk penulisan. Proses pembuatannya cukup rumit: daun lontar harus direbus, dikeringkan, dipotong sesuai ukuran, dan dihaluskan. Setelah itu, tulisan diukir menggunakan alat runcing yang disebut pengutik atau paku, kemudian goresan dihitamkan dengan jelaga agar tulisan terbaca jelas. Metode ini memerlukan ketelitian dan kesabaran yang luar biasa dari para juru tulis.

Penyalinan naskah adalah praktik yang sangat penting untuk pelestarian. Karena sifat bahan organik seperti lontar yang rentan terhadap kerusakan oleh kelembaban, serangga, dan usia, naskah asli tidak bisa bertahan selamanya. Oleh karena itu, para juru tulis secara berkala menyalin kembali naskah-naskah lama, sebuah proses yang memastikan bahwa pengetahuan tidak hilang. Setiap penyalinan adalah pekerjaan yang sakral, dan seringkali juru tulis menambahkan catatan atau kolofon yang memberikan informasi tentang waktu dan tempat penyalinan, serta nama penyalin.

Ilustrasi detail ukiran candi Majapahit dengan simbol matahari di tengah, melambangkan kemegahan peradaban.
Simbol peradaban yang teguh, serupa naskah-naskah agung.

Selain lontar, kadang-kadang digunakan pula media lain seperti daun nipah atau kulit kayu, meskipun tidak seumum lontar. Untuk catatan-catatan yang lebih permanen dan bersifat resmi seperti maklumat raja, digunakanlah lempengan tembaga atau batu (prasasti), seperti yang telah disebutkan. Pilihan media ini bergantung pada tujuan dan daya tahan yang diinginkan dari tulisan tersebut. Semua media ini memerlukan keterampilan khusus baik dalam penulisan maupun pelestariannya.

Berkat upaya gigih para juru tulis dan pelestari di masa lalu, banyak naskah Majapahit dapat bertahan hingga hari ini. Meskipun tidak sedikit yang hilang atau rusak, keberadaan ribuan fragmen dan naskah utuh yang ditemukan di berbagai tempat, termasuk Bali dan Lombok, menunjukkan keberhasilan tradisi pelestarian ini. Upaya ini memastikan bahwa warisan intelektual dan spiritual dari Kemaharajaan Majapahit tidak lenyap ditelan waktu, melainkan terus menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan bagi generasi-generasi selanjutnya.

Filsafat dan Kepercayaan dalam Naskah

Naskah-naskah Majapahit tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah atau karya sastra semata; lebih dari itu, mereka adalah wadah bagi ekspresi filsafat dan kepercayaan yang mendalam dari masyarakat pada masa itu. Mayoritas naskah Majapahit sangat dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Buddha, yang pada akhirnya memunculkan sintesis unik yang menjadi ciri khas spiritualitas Jawa. Pemahaman akan aspek ini krusial untuk menggali makna yang lebih dalam dari setiap tulisan, sekaligus memahami pandangan dunia yang dianut oleh penghuni kemaharajaan.

Sintesis Hindu-Buddha

Salah satu aspek paling menonjol dari kepercayaan di Majapahit yang tercermin dalam naskah-naskah adalah adanya sintesis antara Hindu Siwa dan Buddha. Konsep ini diekspresikan secara paling jelas dalam Kakawin Sutasoma dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", yang secara implisit menyatakan bahwa Siwa dan Buddha adalah satu kesatuan, manifestasi dari kebenaran yang sama. Ini bukan sekadar toleransi, melainkan sebuah upaya filosofis untuk menyatukan dua aliran agama besar yang hidup berdampingan.

Sintesis ini juga terlihat dalam relief candi-candi peninggalan Majapahit dan kerajaan-kerajaan sebelumnya, di mana figur-figur dewa Hindu dan Buddha seringkali ditemukan berdampingan atau bahkan menyatu dalam satu penggambaran. Naskah-naskah keagamaan dan sastra secara eksplisit membahas kemiripan ajaran, menekankan pada esensi spiritual daripada perbedaan ritualistik. Hal ini mencerminkan tingginya tingkat pemikiran teologis yang mampu mencari titik temu dan kesamaan di tengah pluralitas.

Penggabungan ini memungkinkan masyarakat Majapahit untuk hidup dalam harmoni spiritual, di mana perbedaan keyakinan tidak menjadi sumber konflik. Sebaliknya, ia menjadi fondasi bagi kekayaan budaya dan intelektual. Filosofi ini bukan hanya sekadar konsep abstrak, melainkan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara-upacara kenegaraan, serta dalam karya-karya seni dan sastra yang diciptakan para pujangga.

Konsep Dharma dan Tata Negara

Selain sintesis agama, konsep dharma memainkan peran sentral dalam naskah-naskah Majapahit. Dharma dapat diartikan sebagai kebenaran, kewajiban, moralitas, atau hukum alam semesta yang menopang tatanan kosmis dan sosial. Dalam konteks tata negara Majapahit, dharma adalah prinsip fundamental yang harus dijunjung tinggi oleh raja dan seluruh jajaran pemerintahannya.

Naskah-naskah seperti Negarakertagama dan bahkan Pararaton, meski dengan gaya berbeda, selalu menekankan pentingnya seorang raja untuk bertindak sesuai dharma. Raja yang adil dan bijaksana, yang memerintah berdasarkan prinsip-prinsip dharma, akan membawa kemakmuran dan kedamaian bagi rakyatnya. Sebaliknya, raja yang menyimpang dari dharma akan menghadapi kehancuran, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kerajaannya. Ini menunjukkan adanya kerangka etis yang kuat dalam praktik kenegaraan Majapahit.

Dharma tidak hanya berlaku bagi raja, tetapi juga bagi setiap individu dalam masyarakat. Setiap kasta dan profesi memiliki dharmanya masing-masing, yaitu kewajiban dan peran yang harus dilaksanakan untuk menjaga keseimbangan sosial. Konsep ini menciptakan sebuah masyarakat yang teratur dan saling bergantung, di mana setiap anggota memiliki tanggung jawab terhadap keseluruhan. Naskah-naskah kuno seringkali memberikan panduan atau contoh tentang bagaimana dharma harus diaplikasikan dalam berbagai situasi, baik dalam kehidupan pribadi maupun publik.

Dengan demikian, naskah Majapahit adalah lebih dari sekadar kumpulan tulisan; mereka adalah cerminan dari sebuah peradaban yang berpegang teguh pada nilai-nilai spiritual dan etika yang tinggi. Mereka menawarkan wawasan tentang bagaimana masyarakat masa lalu berusaha mencapai keseimbangan antara kekuasaan duniawi dan pencarian makna spiritual, sebuah pelajaran yang tetap relevan hingga saat ini dalam membangun masyarakat yang harmonis dan berkeadilan.

Pengaruh Jangka Panjang dan Warisan Naskah Majapahit

Naskah-naskah Majapahit adalah lebih dari sekadar relik dari masa lalu; mereka adalah pilar-pilar yang menopang struktur kebudayaan dan identitas Nusantara hingga kini. Pengaruhnya melampaui batas geografis dan waktu, terus membentuk cara pandang, bahasa, seni, dan bahkan sistem pemerintahan yang ada di Indonesia modern. Warisan intelektual ini menjadi jembatan yang menghubungkan masa lampau dengan masa kini, memberikan pelajaran berharga dan inspirasi yang tak terhingga.

Pembentukan Identitas Bangsa

Salah satu dampak paling signifikan dari naskah Majapahit adalah perannya dalam pembentukan identitas kebangsaan Indonesia. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang diambil dari Kakawin Sutasoma telah menjadi dasar filosofis persatuan di tengah keberagaman etnis, agama, dan budaya di Indonesia. Frasa ini mengajarkan bahwa meskipun berbeda-beda, bangsa Indonesia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, sebuah nilai yang sangat relevan dan fundamental bagi sebuah negara kepulauan.

Selain itu, kisah-kisah dari Negarakertagama dan Pararaton, meskipun diperlakukan secara kritis oleh sejarawan, telah menjadi bagian integral dari narasi sejarah nasional. Mereka memberikan gambaran tentang sebuah kerajaan maritim yang besar dan kuat, yang mampu mempersatukan wilayah-wilayah Nusantara. Kisah-kisah ini memupuk rasa bangga akan masa lalu yang gemilang dan menjadi inspirasi untuk membangun masa depan yang cerah. Para pemimpin dan pemikir bangsa telah berulang kali merujuk pada Majapahit sebagai simbol kejayaan dan persatuan.

Warisan Majapahit juga terlihat dalam berbagai bentuk kesenian tradisional, seperti wayang kulit, tari-tarian, dan musik gamelan. Banyak cerita dan karakter dari naskah-naskah kuno Majapahit yang diadaptasi dan diinterpretasikan ulang dalam seni pertunjukan, menjaga agar nilai-nilai dan kisah-kisah ini tetap hidup di tengah masyarakat. Bahasa Jawa modern pun masih memiliki jejak-jejak kuat dari bahasa Jawa Kuno yang digunakan dalam naskah-naskah ini, menunjukkan kesinambungan budaya yang mendalam.

Kajian Modern dan Relevansi Masa Kini

Naskah-naskah Majapahit terus menjadi objek kajian yang intensif oleh para sarjana di seluruh dunia. Filolog, sejarawan, antropolog, dan arkeolog berkolaborasi untuk menguraikan misteri-misteri yang terkandung dalam teks-teks ini. Penemuan-penemuan baru, metode penelitian interdisipliner, dan penggunaan teknologi digital telah membuka jalan bagi pemahaman yang lebih kaya dan nuansa yang lebih halus tentang Majapahit. Proses transliterasi, terjemahan, dan analisis mendalam terus dilakukan untuk membuat naskah-naskah ini lebih mudah diakses dan dipelajari oleh publik yang lebih luas.

Relevansi naskah-naskah ini tidak terbatas pada studi akademik. Ajaran-ajaran filosofis tentang kepemimpinan yang adil, toleransi beragama, dan pentingnya dharma masih sangat relevan untuk tantangan sosial dan politik masa kini. Naskah-naskah ini menawarkan perspektif historis tentang bagaimana masyarakat di masa lalu menghadapi isu-isu universal seperti pluralisme, kekuasaan, dan moralitas. Mereka menjadi sumber kearifan lokal yang dapat membimbing kita dalam mencari solusi untuk permasalahan kontemporer.

Di samping itu, naskah-naskah Majapahit juga mendorong kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan budaya. Banyak lembaga di Indonesia dan internasional yang berupaya menyelamatkan, merestorasi, dan mendigitalkan naskah-naskah kuno agar tidak punah. Upaya ini memastikan bahwa kekayaan intelektual ini dapat dinikmati dan dipelajari oleh generasi mendatang, menjaga cahaya kearifan Majapahit agar tidak pernah padam.

Tantangan Interpretasi dan Pelestarian

Meski sangat berharga, naskah-naskah Majapahit tidak luput dari tantangan, baik dalam hal interpretasi maupun pelestarian. Bahasa Jawa Kuno yang digunakan dalam sebagian besar naskah adalah bahasa yang kompleks, berbeda jauh dengan bahasa Jawa modern, sehingga memerlukan keahlian khusus dalam penerjemahan. Selain itu, beberapa naskah memiliki banyak versi atau salinan yang berbeda, terkadang dengan variasi isi yang signifikan, sehingga memerlukan kerja komparasi yang cermat untuk menentukan versi yang paling otentik atau untuk memahami evolusi ceritanya.

Tantangan lain adalah sifatnya yang seringkali non-kronologis dan penggunaan metafora atau alegori yang memerlukan pemahaman mendalam tentang konteks budaya dan spiritual Majapahit. Beberapa naskah mungkin juga mengandung bias penulisnya atau tujuan politik tertentu, yang harus dipertimbangkan oleh para sarjana saat menginterpretasikan informasi historis. Keterbatasan data arkeologi atau sumber-sumber pendukung lainnya juga bisa menjadi hambatan dalam merekonstruksi peristiwa secara lengkap.

Simbolisasi peta wilayah pengaruh Majapahit yang luas, disandingkan dengan naskah kuno, melambangkan jangkauan pengaruh tulisan-tulisan ini.
Jangkauan pengaruh Majapahit dan warisan tulisan-tulisan agungnya.

Meskipun demikian, dengan dedikasi para peneliti dan dukungan dari masyarakat luas, naskah-naskah Majapahit akan terus mengungkapkan rahasianya. Setiap lembar, setiap kata, setiap ukiran adalah potongan dari teka-teki besar yang jika disatukan, akan membentuk gambaran yang lebih utuh tentang sebuah peradaban yang pernah mencapai puncak kejayaannya, meninggalkan warisan intelektual yang abadi bagi seluruh Nusantara dan dunia.

Penutup: Cahaya Abadi dari Masa Lalu

Perjalanan menelusuri naskah-naskah Majapahit adalah sebuah eksplorasi ke dalam inti peradaban yang kaya dan mendalam. Dari Negarakertagama yang mengagungkan raja dan kemaharajaan, Pararaton dengan kronik raja-raja yang penuh drama, hingga Sutasoma dan Arjunawijaya yang mengajarkan filsafat luhur tentang persatuan dan kebaikan, setiap naskah adalah cahaya yang menerangi jejak langkah masa lalu. Bersama dengan berbagai naskah lain dan prasasti, mereka membentuk sebuah korpus pengetahuan yang tak ternilai harganya, menceritakan kembali kisah kejayaan, kearifan, dan kompleksitas kehidupan di Majapahit.

Warisan tulisan ini bukan hanya catatan sejarah mati, melainkan sumber inspirasi yang terus berdenyut. Mereka mengingatkan kita akan kekuatan kata-kata dalam membentuk peradaban, nilai-nilai yang dapat bertahan melintasi zaman, dan keindahan sastra yang abadi. Dari semboyan persatuan hingga ajaran tentang kepemimpinan yang berlandaskan dharma, naskah-naskah Majapahit menawarkan pelajaran universal yang tetap relevan untuk menghadapi tantangan di setiap era. Mereka adalah bukti bahwa jauh sebelum era modern, Nusantara telah memiliki tradisi intelektual yang matang dan mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran besar.

Melalui upaya pelestarian yang tak kenal lelah dan kajian yang mendalam, kita memastikan bahwa api kearifan Majapahit tidak akan pernah padam. Setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memahami warisan ini, agar cahaya dari masa lalu dapat terus membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Naskah Majapahit, dengan segala pesona dan kedalamannya, adalah pengingat abadi bahwa peradaban besar dibangun tidak hanya dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan kekuatan pemikiran dan jiwa yang tercerahkan.